Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Selama sekolah, kalau ujian, kita sering mendapatkan ujian memilih. Biasanya pilihannya ada empat. Pilih A, B, C, atau D. Kalau sudah tahu jawabannya, dengan cepat kita akan melingkari atau menyilang. Kalau tidak tahu jawabannya, kita akan "bonda bandi" dan berharap tebakan kita benar. Kemungkinan benarnya 25 persen.

Dalam kehidupan nyata, ternyata pilihan sering tidak sebanyak itu. Dalam ujian massal menentukan masa depan kota, bangsa, dan negara, ternyata pilihannya sering tidak sampai empat.

Bahkan, semakin sering hanya dua pilihan.

Bahkan, kadang pilihan yang satunya adalah kotak kosong.

Dan hebatnya, kotak kosong pun bisa menang!

Bagi bangsa kita, memilih hanya dua itu termasuk baru. Memaksa kita untuk semakin menentukan sikap. Ikut kanan, atau ikut kiri. Tidak ada tengah. Kalau pun bersikap tengah, kita harus memutuskan untuk geser ke kanan atau geser ke kiri.

Bisa jadi ini konflik batin yang luar biasa. Di saat hidup ini tidak ada lagi yang hitam atau putih, kita justru tidak bisa abu-abu saat memilih.

Ketika pilihan hanya dua, kemungkinan benar atau salahnya sama-sama 50 persen. Repotnya, dalam memilih masa depan ini, tidak ada buku contekannya.

Mau mencontek mana? Amerika? Negeri Paman Sam yang sudah puluhan kali disuruh memilih di antara dua saja masih sering dianggap "tidak pas."

Luar biasa bukan, negara yang sudah begitu terbiasa dengan memilih saja sampai hari ini masih terus seru. Menuju pemilihan presiden Amerika 2020 ini misalnya, masyarakatnya masih akan berkutat seru.

Sekitar separo mungkin akan masih akan memilih Trump. Partai Republik tampaknya masih akan mengusung Trump.

Yang separo lagi masih bingung, siapa yang bisa mengalahkan Trump. Ingat, bingung siapa yang "bisa mengalahkan," bukan siapa yang "lebih baik." Konvensi Partai Demokrat tahun ini benar-benar seru diikuti.

Ironis, di saat Demokrat punya banyak pilihan, sepertinya justru tidak ada yang benar-benar "sreg." Mungkin Bernie Sanders, mungkin Pete Buttigieg, mungkin yang lain?

Nah, itu negara yang masyarakatnya sangat berpendidikan, sangat kritis, sangat "pintar" dalam menilai dan menentukan masa depan. Masyarakat yang tidak peduli kehebohan sepele apa yang dilakukan kandidat, lebih mengutamakan pemikiran dan gebrakan kandidatnya.

Kalau masyarakatnya belum seperti Amerika? Waduh.

Komedian Richard Jeni, yang meninggal pada 2007, pernah punya materi luar biasa tentang pilihan ke kanan dan ke kiri ini. Dia menyampaikannya di saat pemerintahan George W. Bush, di saat orang di sana benar-benar terpecah ke kanan dan ke kiri. Dia bilang, orang bisa sangat ekstrem dalam urusan politik. Bisa begitu yakin terhadap pilihan dan keyakinannya. Bisa sangat ke kanan, bisa sangat ke kiri.

Tapi kata dia, kalau sampai seperti itu, maka ada yang tidak beres. "Kalau Anda terlalu ke kanan atau ke kiri, berarti Anda telah bergeser terlalu jauh. Karena di ujung-ujung itulah Anda akan bertemu dengan orang-orang gila yang ekstrem."

Dia lantas memberi contoh (secara humor, tolong jangan ditanggapi serius).

Setelah kejadian 9/11 (serangan WTC New York), dia merasa marah, dan akan bergabung ke garis keras sebelah kanan di kubu Partai Republik. Tapi yang dia temui justru orang-orang munafik pemburu uang, berkedok agama, suka perang, perusak alam, dan lain sebagainya.

Jeni pun bergeser ke sisi kiri, bersama orang-orang "unik" liberal. Orang-orang munafik pemakai narkoba, pengejek negara sendiri, yang selalu mengaku membela hak asasi dan berbicara orang lain, kecuali di saat dirinya sendiri dihina.

Jadi, yang benar yang mana? Yang moderate? Yang di tengah? Belum tentu! Karena yang di tengah adalah: "Segerombol orang-orang plin-plan, tidak mau berbuat, setengah-setengah, ogah memilih supaya bisa mengejek siapa pun yang menang!"

Ha ha ha...

Terus terang saya ikut merasa tersindir. Karena saya pernah menjadi yang tengah-tengah itu. Menolak ikut pemilihan apa pun, untuk menjaga hak saya untuk mengejek siapa pun yang menang!

Tentu saja saya kemudian berubah. Menjadi warga negara yang baik dan ikut memilih. Benar-benar bukan hal yang mudah. Karena begitu ikut memilih, kita sudah ikut prosesnya. Sudah ikut "bertanding." Kalau kalah, sudah tidak boleh protes. Move on. Let it go. Berharap yang meraih suara terbanyak tidak ngawur dan langit tidak runtuh.

Dan pertandingan tidak pernah berakhir. Akan terus ada pilihan-pilihan lagi. Walau makin sering harus memilih satu di antara dua.

Kita harus semakin pintar. Bukan hanya menilai permukaan, tapi juga mengira-ngira dampak ke depan. Indah di permukaan belum tentu baik ke depan.

Tidak ada pelajarannya di sekolah. Karena waktu di sekolah, pilihan ada dua hanya untuk pertanyaan benar atau salah. Saat pemilihan masa depan bangsa dan negara, tidak ada yang benar atau salah.

Semoga kita semua makin pintar. Karena terlalu ke kanan tidak baik, terlalu ke kiri tidak baik, dan tengah-tengah pun bisa salah! (azrul ananda)

 

Comments (27)

Catatan Rabuan

Baik atau Senang

Membuat keputusan. Alangkah mengerikannya. Apalagi kalau menyangkut nasib orang banyak. Apalagi kalau tidak banyak ora...

Presiden Milenial (Asli)

Sekarang ini, ngomongin soal milenial itu seperti penting banget. Kalau pergi ke forum marketing, temanya bagaimana mena...

Wali Kota Bukan untuk Saya

Saya bersyukur. Saya ini manusia beruntung. Pada 2009, saya mendapat undangan spesial dari pemerintah Australia. Sakin...

Menghina Presiden

Ada satu kategori merchandise yang sepertinya populer dijual di tempat-tempat wisata kondang di Amerika Serikat. Baik it...