Dunia, mungkin, belum waktunya punya pimpinan milenial. Paling tidak, kalau melihat persaingan perebutan nominasi presiden di negara "empunya demokrasi," Amerika Serikat. Dan ironisnya, kandidat milenial justru mundur karena gagal merebut hati pemilih usia di bawah 30 tahun!
Tahun 2020 ini, persaingan menuju kursi presiden Amerika Serikat memang seru sekali. Dari sisi Partai Republik, Donald J. Trump, tampaknya masih akan melenggang aman sebagai kandidat. Di usia 73 tahun, dia akan maju lagi mempertahankan kursinya.
Di kubu lawan, Partai Demokrat, persaingannya supersengit. Sempat ada 29 kandidat berebut kursi nominasi dari partai yang cenderung lebih liberal ini. Para kandidatnya pun dari berbagai latar belakang dan usia. Ada dua jagoan lama. Seperti Bernie Sanders, yang empat tahun lalu kalah di final dari Hillary Clinton. Lalu ada Joe Biden, mantan wakil presiden era Barrack Obama.
Di luar dua nama itu, ada begitu banyak variasi kandidat. Ada Andrew Yang, kandidat berdarah Tionghoa. Ada beberapa perempuan, yang kuat adalah Elizabeth Warren dan Amy Klobuchar.
Dan, yang dalam beberapa bulan terakhir paling menggemparkan, adalah Pete Buttigieg. Seorang mantan wali kota South Bend, negara bagian Indiana, yang kini baru berusia 38 tahun. Seorang veteran perang Afghanistan. Seorang lulusan Harvard. Seseorang yang dalam berbagai wawancara dan debat sangat menonjol.
Dan, orang pertama yang secara terbuka mengakui dirinya sebagai gay, dan telah menikah dengan bahagia dengan suaminya, Chasten (seorang guru SMP).
Para kandidat itu pun bersaing dalam merebut suara di 50 negara bagian di AS, plus wilayah-wilayah teritori lain. Bukan sekadar merebut suara pemilih terbanyak (popular count), melainkan merebut jumlah delegate terbanyak.
Di Amrik, pemilihan presiden memang tidak tergantung pada suara terbanyak. Melainkan dari jumlah electoral vote. Setiap negara bagian punya jatah angka beda-beda, tergantung bobotnya (jumlah representatif tiap negara bagian di senate dan house of representatives).
Pemilihan kandidat dari partai, kurang lebih memakai sistem sama. Para kandidat harus merebut suara delegate terbanyak.
Untuk Partai Demokrat, pemilihan itu berlangsung bertahap, mulai Februari lalu hingga Juni mendatang. Sambil berjalan, siapa yang kuat semakin terlihat. Satu per satu kandidat mundur.
Februari lalu, sempat terjadi kehebohan luar biasa. Pemilihan pembuka di negara bagian Iowa begitu ketatnya, hingga harus dilakukan penghitungan ulang. Hasilnya: Pete Buttigieg jadi pemenang (tipis) atas Bernie Sanders.
Ini adalah hasil bersejarah. Seorang milenial, gay, memimpin pemilihan kandidat presiden untuk kali pertama. "Ini luar biasa. Saya berharap, ini juga memberi arti khusus bagi banyak orang. Yaitu mereka yang berbeda, mereka yang merasa tidak yakin diterima oleh masyarakat, atau oleh keluarga sendiri. Ini adalah bukti bahwa kita tetap bisa percaya pada diri sendiri, dan percaya pada negara kita sendiri," tuturnya seperti dilansir CNN.
Dan ini seperti penanda pembuka, bahwa seorang milenial siap berebut kursi pimpinan "negara nomor satu" di dunia.
Sayangnya, itu hanya penanda pembuka. Bernie Sanders lantas menang di pemilihan selanjutnya di New Hampshire. Lalu di Nevada. Lantas, di South Carolina, giliran Joe Biden menang.
Selasa pekan ini (3 Maret), atau Rabu ini WIB, seharusnya jadi hari yang sangat penting. Total 14 negara bagian menentukan pemenangnya. Peta kekuatan utama diperkirakan akan langsung terlihat usai "Super Tuesday" ini. Siapa kandidat utama presiden dari Partai Demokrat.
Sebelum Super Tuesday, muncul berita heboh.
Pete Buttigieg mengundurkan diri dari pemilihan.
Lalu, Amy Klobuchar --yang sempat punya momentum-- juga mengundurkan diri.
Khusus dari Buttigieg, ini cukup mengejutkan. Tapi, mungkin juga sudah diperhitungkan. Rupanya, hasil riset/survei menunjukkan kalau kansnya belum cukup kuat. Dan ironisnya, sang kandidat milenial justru gagal meraih dukungan dari kalangan 30 tahun ke bawah (sesama milenial).
Milenial, rupanya, belum cukup dipercaya oleh milenial.
Persaingan Partai Demokrat pun mengerucut ke dua kandidat lama. Bernie Sanders, usia 78 tahun, melawan Joe Biden, usia 77 tahun. Tampaknya, salah satu dari keduanya lah yang akan mencoba menantang Donald J. Trump, yang nantinya menjadi kandidat lebih muda di usia 73 tahun.
Kalau pun ada kuda hitam dari sisi Partai Demokrat, dia mungkin adalah mantan wali kota New York, Michael Bloomberg. Seorang superkaya yang telah menghabiskan ratusan juta dolar AS untuk kampanye. Termasuk pasang iklan seharga Rp 50 miliar lebih per 30 detik di Super Bowl LVI lalu.Dan, dia juga sudah berusia 78 tahun!
Sebelum Super Tuesday ini, Sanders --seorang "democratic socialist" masih memimpin. Modal kampanyenya sederhana: Pelayanan kesehatan untuk semua, serta penghapusan hutang biaya sekolah/kuliah.
Namun, peta bisa berubah banyak setelah mundurnya kandidat lain. Buttigieg dan Klobuchar sama-sama akan pindah ke kubu Biden, ikut kampanye mendorong mantan wakil presiden itu.
Bagi yang suka mengamati hal-hal seperti ini, persaingan menuju kursi kandidat ini tampaknya bakal seru sampai akhir. Namun, kandidatnya tidak lagi membuat penasaran. Kembali yang tua lawan yang tua, untuk menantang incumbent yang juga tua.
Atau mungkin, di era dunia yang penuh ketidakstabilan ini, memang masih dibutuhkan yang tua-tua dan berpengalaman matang? Mereka yang sudah kenyang segalanya, sudah meraih segalanya, sudah kaya luar biasa, sehingga tidak butuh mencari jabatan dan kekayaan tambahan dari sebuah jabatan?
Paling tidak, di Amerika sudah terjadi. Di negara yang tingkat pendidikannya begitu tinggi, yang demokrasinya begitu matang, ternyata yang muda pun masih belum percaya terhadap sesama yang muda. (azrul ananda)