Dunia akan berubah. Secepat apa pun krisis virus ini berhenti, dunia akan berubah. Seperti seorang teman, seorang diplomat asing, berucap kepada saya: "Ini adalah perjuangan yang belum pernah kita hadapi. Bagaimana orang tua kita yang belum pernah hadapi. Bagaimana mungkin kakek-nenek kita belum pernah hadapi."
Karena ini sesuatu yang benar-benar baru, dan berlangsung secara global, kelak pasti ada yang berubah. Bisa kecil. Bisa besar. Saya sendiri sudah membayangkan satu hal akan berubah: Soal berjabat tangan alias bersalaman.
Rasanya, hampir semua budaya ada elemen. Jika kita, bukan izin jabat tangan biasa. Kadang dilanjut dengan cium tangan ke yang lebih dituakan.
Dan jabat tangan bukan sesuatu yang biasa. Sampai-sampai, saat saya kuliah jurusan marketing di Amerika, ada kelas yang mengatur etiket jabat tangan yang baik. Bukan untuk keperluan pribadi, juga untuk kebutuhan bisnis.
Cara mendorong tangan yang baik bisa menjadi senjata luar biasa.
Saking luar biasanya, itu termasuk senjata politik.
Pada 1998, ada film berjudul Primary Colours. Cerita fiksi, tapi berdasarkan perjalanan kampanye Bill Clinton menuju kursi Presiden Amerika Serikat. Di film itu, John Travolta memerankan Jack Stanton, seorang gubernur di sebuah negara bagian di selatan, yang jelas-jelas menghargai Clinton.
Film itu sangat tentang politik. Sangat tentang bagaimana perjalanan seseorang menuju kursi presiden. Digarap ringan oleh sutradara Mike Nichols, berdasarkan buku berjudul sama karya Joe Klein. Sang penulis buku adalah seorang jurnalis yang mengikuti perjalanan karir politik Clinton.
Film itu dibuka dan ditutup dengan jabatan tangan.
Di awal film, digambarkan betapa Clinton, eh, Stanton, sangatlah jenius dalam menggunakan tangannya untuk berjabatan tangan. Seorang manajer kampanyenya menjelaskan itu saat dia sedang berkampanye di sebuah sekolah.
"Saya sudah melihatnya melakukan (jabat tangan) itu jutaan kali, tapi sampai sekarang saya masih takjub. Kalau jabat tangan kanan sudah biasa. Tapi yang dia lakukan dengan tangan kiri adalah bukti kejeniusannya.
Kalau dia meletakkan tangan kirinya di siku, atau sedikit naik di bicep. Itu tandanya dia tertarik padamu. Dia merasa terhormat bertemu denganmu.
Kalau dia meletakkan tangan kiri lebih tinggi lagi, seperti di pundak, tandanya itu tidak seintim sebelumnya. Mungkin dia mau berbagi tawa, berbagi rahasia ringan, walau mungkin bukan rahasia beneran.
Nah, kalau dia belum kenal denganmu, tapi ingin berbagi sesuatu yang emosional denganmu, maka dia akan menggenggam tanganmu dengan kedua tangan..."
Urusan jabat tangan itu, dan kemampuan menjalin ikatan emosional dengan orang lain, merupakan salah satu kunci perjalanan sukses kampanye Clinton, eh, Stanton.
Pada adegan penutup film, Clinton, eh, Stanton, lantas menggunakan lagi salah satu "jenis" jabatan tangannya... Kali ini sebagai seorang presiden Amerika Serikat.
Sekarang, kehadiran virus membuat saya bertanya-tanya tentang masa depan bersalaman. Sebelum ini saja, saya sering enggan berjabat tangan, karena kadang ragu tangan orang di seberang itu habis dari mana.
Bahkan orang paling mentereng dengan dandanan paling mewah pun belum tentu bersih tangannya. Secara harfiah. Masih sering saya di hotel bintang lima, atau di pusat perbelanjaan papan atas, melihat orang "mewah" tidak mencuci tangan setelah menunaikan kebutuhan di toilet.
Mungkin karena sejak muda saya termasuk "bersihan." Dan waktu muda dan tinggal sendirian di negeri orang dulu, punya tempat tinggal bersih dan rapi adalah senjata kuat gampang dapat "teman spesial."
Keluarga saya sendiri termasuk yang paling "fasih" soal mencuci tangan ini. Apalagi setelah 2007, setelah Abah saya menjalani operasi ganti hati. Saat itu, kami sekeluarga diberi penekanan khusus tentang kebersihan tangan. Demi melindungi keselamatan Abah pasca operasi.
Virus, paling mudah, salah satunya dipindahkan lewat jabat tangan.
Jadi, waktu itu, kami harus membuka pintu dengan cara-cara khusus. Kalau ada orang mengajak salaman, kita balas dengan menawarkan fist bump (salam tinju). Itu pun harus tetap sesering mungkin cuci tangan.
Dan sekarang, virus itu memaksa miliaran orang sedunia untuk lebih rajin cuci tangan! Rasa takut terhadap virus itu mampu mengalahkan kampanye cuci tangan model apa pun.
Sama seperti kebanyakan orang, saya belakangan juga mencoba mencari sebanyak mungkin informasi tentang virus ini. Tapi berkali-kali sudah saya menegaskan, saya menyeleksi sumber informasinya. Ada begitu banyak informasi aneh-aneh dan tidak benar. Bahkan teman-teman yang saya kira pintar pun bisa terkecoh oleh berbagai informasi itu.
Beberapa hari ini, saya hanya mau mendengar ucapan dari Dr. Anthony Fauci, yang sekarang jadi "idola" dan pegangan hidup orang-orang Amerika. Pria 79 tahun ini adalah penasihat urusan penyakit menular untuk enam presiden Amerika. Dan belakangan sering "berseberangan" dengan Trump.
Dr. Fauci mampu menjelaskan segalanya dengan begitu sederhana. Dan dia sekarang banyak menggunakan/digunakan jalur-jalur komunikasi populer untuk menjelaskan tentang virus ini dan ke depannya bagaimana.
Wawancara dia dengan komedian favorit saya, Trevor Noah, termasuk yang paling jelas dan sederhana. Tentang bagaimana menghadapi virus ini, dan bagaimana ke depannya.
Salah satu pertanyaan paling sederhana dari Noah, bagaimana cara kita terhindar dan mengatasi virus ini, dijawab pula dengan sederhana.
"Kalau Anda benar-benar ingin hati-hati, selain melakukan social distancing sedikitnya jarak 6 kaki (sekitar 1,8 meter), jangan pernah lagi berjabatan tangan dengan orang lain! Hilangkan kebiasaan itu untuk beberapa waktu ke depan. Dan jangan lupa cuci tangan sesering mungkin, karena Anda mungkin secara tidak sengaja telah menyentuh sesuatu," kata Dr. Fauci.
Sampai kapan? Dr. Fauci menegaskan, virus itu yang menentukannya ("The virus is the clock"). Setiap daerah bisa beda, setiap masyarakat bisa beda. Harus melihat kurva penularannya. Harus menunggu sampai kurvanya mendatar, lalu mulai menurun. Dr. Fauci pun yakin, kalau virus ini seperti virus-virus lain, maka orang yang sudah terkena dan sembuh, maka dia akan memiliki imunitas, tidak akan terinfeksi lagi. Dia menegaskan ini tidak 100 persen, tapi dia berani bertaruh.
Tentu saja, semua berharap ini semua segera berakhir. Yang melonjak, semoga segera menurun. Yang kurvanya merangkak, semoga tidak sampai melonjak dan segera turun.
Sampai bertemu lebih normal, lupakan dulu berjabatan tangan. Tapi, siapa tahu, kelak yang terjadi adalah "normal yang baru." Yaitu pemikiran normal di mana berjabatan tangan tetap menjadi sesuatu yang menakutkan ... (azrul ananda)