Bisnis olahraga itu unik. Banyak yang memuja, banyak yang memimpikan. Tapi tidak banyak yang mampu melakukan. Lebih-lebih, pemahaman masyrakat luas tentang olahraga masih lebih banyak tentang keglamorannya, atlet-atletnya. Tidak paham tentang rumitnya di balik layar. Tidak paham kalau orang-orang di balik layar itu kadang bekerjanya jauh lebih keras daripada yang dilihat publik.
Bahkan orang media olahraga pun sering tidak punya wawasan bisnis, wawasan ekonomi, untuk melihat industri olahraga secara holistik. Sebagai mantan wartawan dan komentator, saya berani bilang kalau menulis dan mengoceh bisa jauh lebih gampang daripada melakoni!
Di tengah pandemi virus Covid-19 ini, organisasi-organisasi olahraga terbesar dunia sedang menghadapi tantangan terberatnya. Bagaimana menyelamatkan musim tahun ini, bagaimana menata untuk tahun-tahun selanjutnya.
Pandemi ini memaksa semua event/ajang olahraga berhenti. Yang mundur pun belum 100 persen yakin bakal berlangsung. Ada yang berharap Agustus/September sudah kembali normal. Ada yang bilang batalkan sekalian tahun ini demi mengamankan tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya.
Di basket, yang terbesar di dunia ya NBA. Mereka secara mendadak harus menghentikan musim 2019-2020 Maret lalu, begitu ada pemainnya yang terkena Covid-19. Commissioner NBA, Adam Silver, menyebut keputusan lanjut atau cancel baru akan dibuat paling cepat Mei nanti.
Mereka sudah membuat berbagai skenario. Mengkonsep playoff format baru. Main hanya di satu venue tanpa penonton. Kalau perlu di tempat jauh seperti Kepulauan Bahama. Tapi semuanya punya komplikasi. Kabar yang kuat: Musim akan di-cancel.
Beberapa pemain bintang, seperti LeBron James, sudah pernah bilang tidak ingin main kalau tanpa penonton.
Sebagai konsekuensi, NBA telah menyatakan bahwa 1 April lalu pemain NBA menerima gaji penuh terakhirnya. Gaji berikutnya pada 15 April (gajinya dua mingguan) belum ada jaminan. Masih dibahas. Bisa 50 persen. Bisa nol. Bisa angka lain. Dan yang pasti, ini akan berdampak pada gaji pemain tahun-tahun berikutnya.
Dalam hal pengaturan gaji, NBA termasuk paling top. Mereka menerapkan salary cap (pembatasan) tapi "soft cap" alias dengan catatan-catatan. Klub boleh melebihi batas, tapi bayar "pajak" yang dibagikan rata ke klub-klub pesaing. Jadi kalau A jorjoran, klub B, C, D, dan lain-lain dapat pemasukan tambahan. Kemudian, gaji pemain bisa naik-turun berdasarkan revenue dari liganya. Karena dihitung bukan berdasarkan angka dollar pasti, melainkan dari persentase salary cap. Kalau 2020 pemasukan turun, berarti gaji 2021 pasti akan turun, karena salary cap-nya turun. Dan bisa banyak!
Liga baseball terbesar, Major League Baseball (MLB), juga liga sepak bola Amerika, MLS, seharusnya memulai musim 2020-nya minggu-minggu ini. Semua pun mundur. Pihak MLB mengaku siap bertanding tanpa penonton. Yang penting ditayangkan televisi.
Ini catatan penting lagi dari liga-liga yang mapan. Bahwa pemasukan utamanya bukan dari sponsor atau dari penonton. Pemasukan utamanya dari hak tayang televisi (dan licensing dan lain-lain).
Rata-rata liga olahraga terbesar di dunia, pemasukan utama klub memang dari liganya sendiri. Penonton itu bonus. Liga mendapatkan pemasukan dari hak tayang atau hak licensing (atau yang lain).
Tidak ada sponsor bukan masalah. Karena pemasukan dari liga. Gaji pemain juga tidak khawatir meletus, karena ada regulasi ketat dari liga yang memastikan total gaji pemain tidak melewati batas kewajaran usaha.
Kalau business model-nya sudah jalan seperti ini, di tengah pandemi, mungkin masih bisa bikin pertandingan tanpa penonton. Yang penting ada tayangan televisi.
Ingat, KALAU business model-nya seperti itu dengan regulasi yang dikawal dengan baik.
Karena business model itu pun belum jaminan bakal aman. Contohnya di Eropa, yang banyak organisasi olahraganya cenderung menggunakan model "how high can you go." Khususnya arena balap.
Formula 1 selama ini dikenal paling kaya dan paling kebal kemiskinan. Ada tim bangkrut? No problem. Ada yang gantikan. Berantemnya dari dulu tentang pembatasan biaya, tidak pernah berhasil. Dan yang kaya akan berani jorjoran, menciptakan inflasi gaji. Bukan hanya dalam menggaji pembalap, tapi juga menggaji insinyur dan mekanik.
Saat krisis keuangan 2008-2009, F1 sebenarnya sudah merasakan dampak dari "adu kaya" itu. Banyak pabrikan mundur, seperti Honda, BMW, dan Toyota. Akibatnya jumlah peserta sempat turun hanya sembilan tim. Harus ada pertolongan khusus untuk membuat tim kesepuluh. Tapi begitu kondisi keuangan membaik lagi, "adu kaya" kembali terjadi.
Di bawah pemilik baru, Liberty Media yang asal Amerika, F1 belakangan dipaksakan untuk lebih "sadar pengeluaran." Eh, belum sempat terjadi, datanglah pandemi Covid-19.
Tim-tim F1 pemasukan utamanya adalah dari F1 itu sendiri. Kemudian, F1 dapat uangnya dari hak menyelenggarakan lomba, hak tayang televisi (makanya streaming-nya sangat dibatasi).
Sekarang? Tidak ada lomba, tidak ada tayangan televisi. Dan belum jelas kapan musim 2020 akan berlangsung. Mungkin, tim-tim masih dapat uang dari "bagi hasil" 2019. Tapi prospek 2021 jadi sangat buruk. Mereka sudah mulai mengantisipasinya sekarang.
Dua tim legendaris, McLaren dan Williams, sudah memutuskan untuk merumahkan karyawannya April ini. Pembalap-pembalapnya pun potong bayaran. Zak Brown, bos McLaren sekarang, mengingatkan kalau di akhir 2020 ini bisa ada empat tim bangkrut.
Dan ternyata, F1-nya sendiri juga mulai siap-siap. Formula 1 sebagai organisasi juga mulai merumahkan karyawannya.
Semuanya menggunakan undang-undang Inggris, yang mengizinkan perusahaan untuk merumahkan karyawan dengan gaji yang ditentukan angka maksimalnya. Dan angka itu jauh di bawah gaji normal di F1.
Sebagai penggemar berat dan mantan komentator F1 sepuluh tahun di televisi, saya akan mengikuti detail "perjuangan" ajang balap terkaya ini ke depan. Sekarang, bos-bos F1 sedang intens meeting (teleconference) bagaimana mengantisipasi kelangsungan tahun-tahun ke depan. Bahkan ada tim raksasa yang juga siap menerima kesepakatan pembatasan ongkos lebih ekstrem.
Yang paling kaya pun tidak mau menabrak tembok!
Kalau itu terjadi di F1, maka ajang balap lain bisa sama. MotoGP misalnya. Situasinya sama dengan F1. Namun, secara skala uang, MotoGP (dikelola Dorna dari Spanyol) masih jauh di bawah F1. Dan kebanyakan tim-tim MotoGP adalah independen dengan kemampuan terbatas.
Sekali lagi, ini enaknya kalau tim-tim (klub-klub) mendapatkan pemasukan utama dari liga. Demi menyelamatkan kelangsungan anggotanya, Dorna dalam tiga bulan ke depan akan mengucurkan lebih dari 9 juta Euro. Untuk tim-tim independen, bukan tim pabrikan.
Sedangkan para pabrikan besar sekarang juga meeting-meeting untuk mengontrol biaya, menjaga kelangsungan MotoGP pada tahun-tahun ke depan.
Memang, hebat betul ini pandemi Covid-19. Sesuatu yang belum pernah dihadapi dunia modern, yang menghantam semua lini kehidupan manusia. Sampai yang besar-besar pun harus bertindak ekstrem.
Beruntunglah organisasi-organisasi itu saat liga/induknya matang dan sehat. Mereka akan punya kans lebih kuat untuk tetap eksis. Pemotongan gaji, penghapusan gaji, tetap akan terjadi. Tapi belum tentu masa depannya suram.
Saya dari dulu memang yakin, bahwa kalau sebuah liga olahraga profesional mau kuat, harus ada urutan yang konkret. Satu, liganya harus sehat. Kalau liganya sehat, klub-klubnya bisa sehat. Kalau klub-klubnya sehat, baru pemain-pemainnya bisa nyaman. Urutannya harus seperti itu. Tidak bisa dibolak-balik.
Nah, yang di Indonesia sekarang, ujiannya lebih seram! (azrul ananda/bersambung besok)
Seri 1: Corona Olahraga (Seri 1) - Kreatif Hadapi Krisis