Setelah bertahun-tahun berkecimpung di dunia olahraga, setelah lebih lama lagi jadi peliput dan pengamat dunia olahraga, saya merasa urutan prioritas berikut ini wajib kalau sebuah liga profesional ingin sehat jangka panjang:
1. Liganya harus sehat.
2. Kalau liga sehat, klub-klub/tim-tim sehat.
3. Kalau klub/tim sehat, pemain nyaman.
Urutannya harus seperti itu. Tidak boleh dibolak-balik. Tidak bisa diacak-aduk. Liga-liga atau ajang-ajang olahraga terbesar di dunia rata-rata seperti itu. Kalau urutannya tidak seperti itu, maka akan terus terjadi pergolakan, terus terjadi pertikaian, dan harus gonta-ganti pengelola.
Plus, kalau kena krisis unprecedented seperti pandemi virus sekarang ini, bisa lebih bertahan hidup dan memikirkan program ke depan.
Banyak yang mulai bertanya ke saya, lalu liga di Indonesia seperti apa? Apalagi kalau melihat liputan-liputan olahraga sekarang ini, seolah-olah yang meliput bingung arah beritanya itu apa. Yang lebih menyebalkan, kalau intinya hanya ingin cari jumlah klik, bikin sensasi. Bahkan media paling kredibel pun rasanya tidak punya kemampuan analisis yang holistik.
Tentu, kalau saya mau gamblang menyampaikan, mungkin analisis saya tidak mengenakkan. Apalagi, selama ini liga olahraga kita mengalir begitu saja ikut arus, berharap tidak ada goncangan yang besar.
Pengelola liga sepak bola yang baru sudah punya niatan hebat. Memastikan jadwal berlangsung tanpa perubahan aneh-aneh. Dasar nasib, pandemi corona menerpa. Buyar semuanya, belum terbukti niatannya.
Saya berterima kasih kepada PSSI, ketika Ketua Umum mengeluarkan surat "luar biasa" untuk status Liga 1 dan 2. Sementara dihentikan hingga akhir Mei, dan kalau situasi membaik, liga dilanjutkan Juli. Kalau ternyata di akhir Mei masa darurat resmi diperpanjang pemerintah, maka akan ada pembahasan lebih lanjut, termasuk opsi pembatalan.
Dan selama tidak ada aktivitas apa-apa, klub-klub diberi keringanan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban. Termasuk bayaran pemain.
Saya juga berterima kasih kepada tim-tim Liga 1, yang bisa kompak bersama saling menjaga dan melindungi. Saya berbicara dengan bos-bos tim besar/mampu, yang sebenarnya mungkin tidak butuh diberi keringanan. Tapi, misi utama di sini bukanlah untuk menunjukkan siapa lebih kuat. Melainkan untuk saling melindungi, seluruh peserta liga.
Paling tidak, dalam hal ini, prioritas yang saya tulis di atas agak diterapkan. Kepentingan liga keseluruhan lebih baik dari klub, dan kepentingan klub masih di atas pemain.
Ketidakpuasan, ketidaksenangan, ketidaknyamanan, pasti ada. Tapi yang penting mengamankan dulu liga dan klub. Di seluruh dunia sedang terjadi. Liga-liga terbesar semua sedang menjalani ini. Bedanya, mereka fondasi komersialnya lebih kuat, urutan prioritasnya sudah terpenuhi.
Nah, karena sisa musim ini (dan situasi hingga akhir tahun) masih belum bisa dipastikan, mungkin sekarang ini bisa dijadikan momen untuk merenungi kondisi liga kita sekarang.
Ini momen untuk membahas ke depan harus bagaimana supaya liga kita lebih tahan banting. Lebih sehat. Lebih memuaskan. Ini momen untuk memikirkan opsi, bahkan mungkin momen untuk tekan tombol reset.
Khususnya bagaimana membuat liga lebih sehat.
Kerangka fondasi liga kita sekarang mungkin sudah di jalan yang benar. Tapi mungkin jalannya masih belum mulus. Semua hak siar atau pemasukan liga lain dikumpulkan jadi satu, lalu klub-klub mendapat pembagian hasil (salah kalau disebut subsidi).
Kalau di liga yang maju, pembagian hasil inilah yang jadi revenue utama klub. Bukan sponsor di jersey, bukan penjualan tiket pertandingan. Liga-liga besar, di banyak olahraga, pemasukan dari liga ini bisa jadi mayoritas, lebih di atas 50 persen.
Di negara kita, mungkin sudah bukan rahasia, tahun 2020 ini setiap klub mendapat pembagian hasil Rp 5,2 miliar. Banyak? Ya. Tapi sangat kecil kalau dibandingkan dengan pengeluaran klub. Apalagi yang punya ambisi papan atas dan juara, mungkin itu hanya sepuluh persen dari total biaya. Bisa tidak sampai sepuluh persen. Mungkin, hanya cukup untuk menggaji satu pemain megabintang saja.
Saya bersimpati pada pengelola liga. Karena masalah-masalah masa lalu, untuk kembali ke titik nol saja mungkin butuh waktu. Solusinya bukan sekadar mengeksplorasi business model baru. Itu butuh waktu. Jadi, solusinya mungkin ya cost control yang lebih kejam. Biaya-biaya liga itu lebih dicermati satu-satu, supaya uangnya bisa lebih ke klub, sebagai "pengisi acara."
Mungkin, itu saja tidak cukup dan mungkin sudah tidak bisa lagi. Saking sulitnya masalah di liga. Kalau begitu, berarti harus ada regulasi cost control yang lain. Dan ini mungkin kurang mengenakkan. Karena regulasi ini akan menuntut klub-klub jadi lebih disiplin dan menginjak bumi. Yaitu regulasi gaji pemain. Toh, ini bukan hal baru. Dan liga-liga terbesar banyak melakukan ini (baca: Corona Olahraga Seri 2).
Paling baik kalau menetapkan berapa gaji maksimal pemain berdasarkan sistem yang baik (masa bermain, statistik, dan lain-lain). Sekarang ini di Indonesia masih tidak rasional, masih sangat "how high can you go" dan itu tidak sehat sama sekali.
Saat ini, di atas 70 persen pengeluaran klub adalah gaji pemain. Ribuan penonton, yang mungkin gajinya paspasan, mau mengeluarkan uang untuk menonton pertandingan, dan kebanyakan uangnya lantas ke gaji pemain. Klub hanya jadi tempat "lewat." Padahal, kalau ada apa-apa, yang disalahkan justru klub. Jadi, wajar kalau bicara soal cost control, gaji pemain ada di atas.
Tapi, tidak harus ekstrem menegaskan total gaji maksimal berapa. Misalnya bisa dengan melakukan beberapa pembatasan. Misalnya, berapa jumlah pemain muda (sudah dilakukan tapi lebih tegaskan), berapa maksimal total jumlah anggota tim (baik pemain, pelatih, maupun staf), dan --yang ini mungkin punya efek terbesar-- mengurangi total jumlah pemain asing. Kalau sekarang empat asing, ya jadi dua atau tiga.
Selain mengurangi biaya signifikan, ini juga menurut saya bisa punya dampak positif untuk prestasi nasional. Sekarang ini, klub-klub Liga 1 sangat bergantung pada pemain asingnya. Khususnya pada posisi kunci. Striker, playmaker, bek tengah. Hampir semua.
Jadi, kalau ingin jadi pemain Indonesia di liga profesional, sejak kecil jangan latihan jadi striker, jangan latihan jadi playmaker. Percuma, tidak akan dapat pekerjaan utama. Jadi sayap saja. Jadi bek kanan-kiri saja. Jadi kiper saja.
Jangan-jangan, karena ini pula tim nasional kita tidak lagi punya striker handal? Atau punya playmaker yang benar-benar game changer alias difference maker? Sehingga kesulitan mengejar prestasi internasional?
Mohon maaf, saya akan ambil contoh pengalaman saya mengelola, jadi commissioner, National Basketball League (NBL) Indonesia, 2010-2015. Waktu itu, saya termasuk keukeuh tidak mau ada pemain asing dulu. Kalau ada, harus bertahap dengan sistem paling adil. Khususnya soal biaya.
Alasannya, waktu 2010, ada krisis pemain di liga basket kita. Ada banyak yang senior di atas 30, tapi sedikit di kisaran usia 25-30 yang seharusnya usia matang. Kalau ada pemain asing, maka tidak ada regenerasi berjalan. Begitu pula liga perempuan yang saya pegang sejak 2012, WNBL Indonesia.
Alhamdulillah, selama lima tahun, bintang-bintang itu muncul. Jumlah penonton juga tidak pengaruh. Terus tumbuh. Bahkan mungkin terbanyak dalam sejarah basket Indonesia sampai sekarang. Tanpa pemain asing.
Dan, prestasi timnas ikut konsisten. Perak di SEA Games, baik putra maupun putri. Mungkin karena jam terbang pemain kita tinggi. Di semua posisi.
Belakangan, pemain asing kembali masuk basket Indonesia. Akhirnya, pemain Indonesia jadi pelengkap lagi. Pokoknya berdiri di pinggir lapangan atau di sekitar keyhole. Pokoknya kalau dapat bola siap tembak atau siap kembalikan lagi ke pemain asing.
Pemain basket Indonesia akhirnya seperti pemain sepak bola Indonesia. Semua di posisi sayap. Jadi pion pelengkap. Medali dan prestasi nasional sepertinya juga kembali menurun.
Entahlah. Saya mungkin salah. Di saat masa "nganggur" pandemi ini, terlalu banyak hal berseliweran di kepala. Dan masih banyak uneg-uneg di kepala saya. Tapi mungkin sebaiknya ini jadi pembahasan lebih internal. Yang pasti, ini benar-benar momen untuk menata lagi masa depan.
Liganya harus sehat. Supaya klub-klubnya sehat. Supaya pemain-pemainnya bisa lebih nyaman. Kalau semua ingin kembali melihat pertandingan bola di lapangan, prioritas yang diselamatkan harus jelas seperti itu.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip ucapan Christian Seifert, CEO Bundesliga Jerman, yang dia sampaikan pada New York Times baru-baru ini.
Kata dia, apa pun yang terjadi beberapa bulan ke depan, ada satu hal yang pasti: Pasar transfer pemain (sepak bola) global, yang bernilai total USD 7 miliar, akan kolaps.
Seifert bilang: "Untuk jangka pendek, saya pikir transfer market (tengah tahun) ini tidak akan eksis, akan kolaps. Para agen tiba-tiba harus sadar kalau mereka harus kerja lebih keras, atau paling tidak kerja. Beberapa liga akan jadi sadar kalau uang itu bukan sesuatu yang datang secara otomatis tiap bulan dari surga." (azrul ananda/habis)