Masjid dan gereja non-aktif. Rumah-rumah hiburan dan judi non-aktif. Ada gurauan: Ketika surga dan neraka sama-sama berhenti, berarti situasi ini benar-benar serius. Apalagi kalau kompak di seluruh penjuru dunia seperti sekarang.
Muncullah pertanyaan-pertanyaan bersifat eksistensial. Ada apa dengan dunia? Mengapa semua ini terjadi?
Ada yang bilang, ini cara bumi "membersihkan diri." Sudah ada terlalu banyak manusia. Waktunya sebagian dieliminasi. Sekarang sakit, nantinya baik. Toh, dengan berkurangnya aktivitas manusia di berbagai penjuru, langit kota-kota padat jadi biru. Sungai jadi lebih jernih.
Orang juga jadi seperti lebih peduli kesehatan. Sudah puluhan tahun sekolah mengajarkan anak untuk rajin cuci tangan. Tapi karena tidak ada "ancaman," ya tetap tidak maksimal. Sekarang ada ancaman, semua jadi lebih rajin cuci tangan.
Orang jadi lebih rajin bersih-bersih. Setelah ada ancaman, baru sadar kalau hidup bersih itu lebih sehat.
Orang jadi lebih rajin olahraga. Sekarang rasanya makin banyak orang aktif berjemur, jalan kaki, jogging, atau aktivitas gerak lain yang outdoor.
Orang jadi lebih menjaga makan. Lebih bersih, lebih sehat.
Dua yang terakhir itu (olahraga dan makan), semoga bisa menjadi dampak permanen ketika dunia sudah melewati krisis Covid-19 ini.
Terus terang, saya tidak suka melihat angka soal virus ini. Apalagi angka di Indonesia, yang banyak celah pertanyaan mengapa angkanya segitu. Apakah karena jumlah tesnya kurang? Dan lain-lain.
Tapi, ada angka menarik, yang saya dapatkan dari USA Today, berdasarkan angka di New York yang di-update pada 7 April lalu. Bukan angka terbaru, tapi angkanya cukup besar untuk dijadikan patokan.
Pada saat artikel itu diterbitkan, sebanyak 321 ribu orang sudah menjalani tes Covid-19 di negara bagian New York. Banyak yang positif, mencapai 41 persen. Berarti hampir 132 ribu positif. Dari jumlah itu, sebanyak 4.758 orang meninggal dunia waktu itu (sekarang sudah lebih banyak). Jadi, dari yang positif, sekitar 3 persen meninggal dunia.
Angka paling menarik bukan dari berapa yang meninggal. Ini lemahnya media-media kita di Indonesia. Semua hanya bisa mengutip angka, tidak bisa membuat analisis yang meninggal itu seperti apa saja.
Nah, dari artikel USA Today 7 April itu, data menarik bisa didapat dari mereka yang meninggal. Mengutip Departemen Kesehatan di New York, kebanyakan yang meninggal adalah laki-laki (61 persen).
Lebih lanjut, 63 persen yang meninggal sudah berusia 70 tahun atau lebih tua. Hanya 7 persen yang meninggal berusia 49 atau lebih muda.
Lebih detail lagi: Berusia lanjut juga bukan berarti mudah meninggal. Karena dari 4.758 yang meninggal itu, sebanyak 4.089 sudah lebih dulu punya masalah kesehatan.
Masalah kesehatan apa? Paling banyak (55 persen) adalah hipertensi (tekanan darah tinggi). Setelah itu, sebanyak 37 persen mengidap diabetes. Sisanya semua berkaitan dengan kegemukan atau masalah jantung.
Statistik yang sangat menarik, buat orang seperti saya yang suka statistik. Karena data besar itu menunjukkan kalau selama kita sehat, virus ini seharusnya tidak mengancam. Tapi, kita bisa membawa virus ini ke orang-orang yang terancam itu.
Akan sangat menarik kalau kita bisa dapat data konkret. Kalau di Indonesia, seperti apa statistik yang meninggal karena Covid-19 ini. Jangan-jangan --dan kemungkinan-- sama, karena awalnya sudah tidak sehat.
Kembali lagi ke pertanyaan eksistensial. Apakah virus ini diedarkan untuk mengeliminasi mereka-mereka yang tidak sehat itu? Apalagi tidak sehatnya karena pola hidup sendiri, yang sebenarnya bentuk dari kemalasan, ketidakpedulian? Inikah perjalanan dari teori evolusi survival of the fittest?
Saat pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul, saya biasanya mencari "pencerahan intelektual" dari sumber yang paling saya suka. Bukan politikus, bukan tokoh agama. Melainkan standup comedian. Khususnya idola saya, George Carlin, yang sudah meninggal pada 2008 lalu di usia 71 tahun.
Materi-materi Carlin banyak yang menyenggol urusan eksistensial ini. Salah satu materinya yang sekarang sangat relevan, adalah soal manusia yang berupaya menjadi terlalu bersih, terlalu steril. Lebih dari 20 tahun lalu, dia bilang ini bisa jadi sumber awal musnahnya manusia. Karena sistem ketahanan (imun) manusia tidak cukup terlatih menghadapi ancaman. Dan ketika virus super muncul, manusia bakal kelabakan...
Itu satu. Yang satu lagi, Carlin mengomeli orang-orang yang "sok cinta lingkungan." Orang-orang yang selalu getol meneriakkan "Save The Earth." Apalagi kalau orang-orang itu munafik, mencari keuntungan dari hal-hal yang rajin mereka teriakkan. Karena menurut Carlin, kita tak perlu khawatir dengan Bumi. Planet ini akan selalu baik-baik saja. Kita yang harus hati-hati, karena Bumi belum tentu peduli dengan kita.
"Menyelamatkan Bumi? Kita saja belum tentu tahu bagaimana cara merawat diri kita sendiri. Kita belum bisa saling peduli terhadap satu sama lain. Lalu kita ingin menyelamatkan Bumi? Saya capek dengan itu," ucapnya.
Di bawah ini, saya akan menerjemahkan transkrip lanjutan omongan Carlin. Saya coba sederhanakan, dan akan saya "bersihkan" sedikit bahasanya. Karena tentu dia menggunakan banyak umpatan yang tidak sopan ditulis di sini (kalau ingin dengar dan lihat langsung, banyak videonya di YouTube).
Berikut transkripnya:
"Tidak ada yang salah dengan planet ini. Sama sekali tidak ada. Bumi baik-baik saja. Justru manusia yang terancam. Kalau dibandingkan dengan manusia, Bumi justru sedang luar biasa.
Bumi sudah ada selama lebih dari 4,5 miliar tahun. Sedangkan manusia? Mungkin 100 ribu tahun, atau mungkin sedikit lebih dari 200 ribu tahun. Selain itu, kita baru menerapkan industri berat sedikit lebih dari 200 tahun.
Coba bandingkan. Dua ratus tahun melawan 4,5 miliar tahun. Dan kita justru merasa bahwa kita adalah ancaman untuk Bumi?
Planet ini telah merasakan hal-hal jauh lebih buruk dari manusia. Gempa bumi, gunung meletus, pergeseran benua, pijaran matahari. Lalu bombardir komet, asteroid, dan meteor selama ratusan tahun. Belum lagi banjir, kebakaran, erosi, dan lain-lain.
Lalu kita pikir, (mendaur ulang) kantong plastik dan kaleng aluminium akan bisa membuat perbedaan?
Planet ini tidak akan pergi ke mana-mana. Kitalah yang akan hilang. Jadi berkemaslah dari sekarang. Kitalah yang akan pergi. Kita juga belum tentu akan meninggalkan bekas. Mungkin meninggalkan sedikit styrofoam.
Planet ini akan terus ada di sini, dan kita akan lama hilang. Menjadi bagian dari kegagalan mutasi. Menjadi satu lagi kesalahan biologis, kegagalan evolusi. Planet ini akan membuang kita seperti kutu yang mengganggu di permukaannya.
Planet ini akan terus berada di sini lama setelah kita semua pergi. Planet ini akan membersihkan dirinya sendiri. Karena itulah yang selalu dia lakukan. Planet ini punya sistem untuk mengoreksi diri sendiri. Udara dan air akan kembali normal, tanah akan memperbarui diri.
Kalau benar plastik tidak bisa dihancurkan, maka Bumi akan langsung memasukkan plastik dalam paradigma baru: Bumi plus plastik. Bumi tidak akan berlaku jahat pada plastik. Karena plastik awalnya juga dari planet ini. Bumi mungkin akan menganggap plastik sebagai salah satu anaknya sendiri.
Jangan-jangan, itulah alasan Bumi membiarkan manusia tumbuh dan berkembang. Untuk menciptakan plastik. Karena Bumi tidak bisa membuatnya sendiri. Dan itu bisa menjawab pertanyaan yang begitu lama dipertanyakan oleh umat manusia: Untuk apa kita diciptakan
Jawabannya: Untuk membuat plastik!
Dan begitu kita bisa membuat plastik, maka tugas kita berakhir. Sudah waktunya kita dieliminasi. Dan sepertinya, proses itu sudah dimulai. Ya tidak?
Jujur, Bumi mungkin melihat kita sebagai ancaman level menengah. Untuk mengatasinya, planet ini akan melindungi diri seperti sebuah organisme besar. Jadi apa yang bisa dia lakukan? Mungkin dengan virus. Ya, virus mungkin senjata bagus. Manusia sepertinya lemah melawan virus. Selain itu, virus itu tricky, selalu bermutasi dan membentuk strain baru setiap kali ada vaksin dikembangkan..." (azrul ananda)
PS: George Carlin kali pertama menyampaikan materi Save The Earth ini dalam acara spesial Jammin' in New York pada 1992. Rekaman show ini mendapatkan penghargaan Grammy Award pada 1993 sebagai Best Spoken Comedy Album.