Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Ketika pandemi virus ini berakhir, hidup pasti akan berubah. Kita pun seharusnya banyak berubah. Dan bukan sekadar lebih menjaga kebersihan, lebih rajin mencuci tangan. Saya punya resolusi buat diri sendiri: Sangat mengurangi makan daging, jenis apa pun. Lebih menuju plant-based diet.

Alasan saya murni dari pribadi sendiri: Logika. Common sense alias akal sehat. Bukan karena idealisme berlebih atau yang lain.

Saya pernah jadi vegetarian. Pernah bertahap. Sebulan, lalu berhenti. Kemudian ketika akan mencoba dua bulan, harus berhenti di tengah jalan karena kena demam berdarah (wkwkwk...).

Kemudian, secara berkala saya menerapkannya. Khususnya kalau sedang serius menurunkan berat badan, meningkatkan performa menghadapi even-even sepedaan serius.

Tapi saya tidak strict. Terus terang saya pecinta daging sapi, penikmat steak. Juga rendang, burger, dan lain-lain. Wkwkwk...

Abah saya lebih serius. Beberapa tahun belakangan ini dia praktis vegetarian, walau sesekali nyentuh daging kalau sedang kangen. Saya on dan off, sedangkan Abah saya konstan sambil sesekali "libur."

Namun, masa-masa banyak di rumah ini membuat saya jadi semakin serius berpikir bakal hengkang ke plant-based. Saya bilang ke istri, seandainya saya masih tinggal di negara maju seperti dulu, saya sekarang pasti sudah full vegan. Alasannya sederhana, karena di negara-negara maju arah masyarakatnya memang ke sana. Makanan plant-based sangat mudah didapat, sangat tinggi kualitasnya, dan harganya sama dengan makan biasa. Bahkan bisa lebih murah.

Di Indonesia, ucap saya ke istri, masih susah. Makanan vegan yang ada menurut saya belum ideal. Masih terlalu berbasis gluten/tepung, dan rasa lapar masih harus dikompensasi dengan ekstra karbo. Kalau mau yang ideal, masih terlalu mahal karena harus impor.

Harus dibedakan antara vegetarian dan vegan. Kalau vegan sudah benar-benar murni plant-based, meninggalkan segala produk binatang. Termasuk susu dan telur.

Perlu saya tegaskan lagi, saya ingin menuju ke plant-based bukan murni karena idealisme. Tapi karena logika. Banyak orang mencoba meyakinkan saya untuk jadi vegan karena efek kesehatan dan lain-lain, tapi saya tidak mendengarkannya seratus persen. Saya cinta steak, wkwkwk...

Saya setuju, efek kesehatannya dahsyat. Saya sudah merasakan kok. Namun, ada alasan lebih kuat kenapa saya ingin menuju plant-based.

Karena di masa depan, bumi mungkin membutuhkan kita untuk mengurangi konsumsi daging. Dan masa depan itu sudah sangat dekat. Sama dekatnya dengan kepunahan mobil berbahan bakar bensin, yang mungkin sudah akan terjadi pada 2030-2040.

Saya sangat suka dengan argumen ini: Bahwa daging hanyalah "makelar" (middleman) protein. Binatang makan tanaman, lalu binatang dimakan manusia. Ini proses yang sangat tidak efisien, proses yang membuat Bumi stres.

Jumlah manusia terus bertambah, bahkan berlipat ganda dalam 50 tahun terakhir. Untuk memenuhi keinginan (bukan kebutuhan) makan daging, maka industri peternakan harus berlipat pula. Itu berarti, jumlah lahan yang dibutuhkan berlipat-lipat. Untuk ditempati manusia, juga untuk ditempati peternakan/binatang yang akan dikonsumsi manusia.

Nah, manusia butuh air, butuh nutrisi, butuh sarana pembuangan. Binatang yang akan dimakan manusia juga butuh air, butuh nutrisi, dan sarana pembuangan pula.

Andai manusia tidak makan binatang, tapi langsung makan tanaman, maka bisa separo lahan Bumi terselamatkan. Atau kalau manusia mengurangi saja makan binatang, maka banyak lahan Bumi terselamatkan.

Maka saya setuju sekali kalau daging itu middleman. Dan dalam ilmu bisnis apa pun, proses berusaha akan jadi lebih efisien kalau middleman-nya dikurangi atau dieliminasi.

Dan sudah ada banyak studi membuktikan, kita bisa mendapatkan pengganti protein dari tanaman. Tidak harus lewat daging.

Plus, risiko penyakit dan lain-lain akan semakin berkurang. Penyakit-penyakit seram dunia muncul dari binatang (makanan). Pandemi "Flu Spanyol" 1918 asalnya dari peternakan babi di Kansas, Amerika. Pandemi sekarang kabarnya juga dari binatang (makanan). Dan lain-lain.

Ini murni tidak bicara efek dampak kesehatan. Kalau mau bicara efek kesehatan, pandemi yang sekarang pun lebih berbahaya untuk orang-orang yang sudah punya masalah kesehatan. Khususnya hipertensi dan diabetes. Masalah kesehatan akibat gaya hidup!

Segala penjelasan di atas itu bukanlah ilmu baru. Kebetulan semakin populer saja belakangan. Film dokumenter yang paling "ekstrem" anti-konsumsi daging ini sudah muncul pada 2018. Judulnya The Game Changers.

Seorang atlet MMA (tarung bebas), James Wilks, memilih jadi vegan untuk mempercepat pemulihan operasi lutut. Lalu merasakan efek lebih lagi. Ayahnya kena serangan jantung, lalu setelah pulih ikutan jadi vegan, dan dampaknya lebih baik lagi.

Dia pun keliling menemui atlet-atlet elite dunia, yang semuanya vegan, dan semuanya merasa jadi vegan bukan sekadar memperpanjang karir, tapi juga meningkatkan performa di usia yang lebih tua.

Sebut saja: Superstar NBA Chris Paul. Juara dunia Formula 1 Lewis Hamilton. Superstar tenis Novak Djokovic. Semua ikut jadi produser film ini.

Tidak ketinggalan nama-nama besar lain: Jackie Chan (aktor), dan Arnold Schwarzenegger (bodybuilder, aktor, mantan gubernur California). Semua adalah vegan, dan menyebut gaya hidup ini membuat hidup mereka jauh lebih berkualitas di usia lebih lanjut.

Produser utama dokumenter ini adalah James Cameron, sang sutradara film Titanic dan Avatar. Dia juga vegan dan aktivis vegan.

Dalam film ini, bukan sekadar lebih sehat dan lebih kuat, jadi vegan juga membantu meningkatkan performa seksual laki-laki. Dan itu ditunjukkan dalam sebuah eksperimen sederhana. Sebagai orang yang pernah berkala mengikuti gaya hidup ini, saya termasuk setuju he he he...

Film ini memang ekstrem. Film ini termasuk vegan "garis keras." Bukan sekadar mempromosikan gaya hidup plant-based, tapi juga termasuk menyerang industri daging. Bahkan, film ini menyebut industri daging itu seperti industri rokok. Yang mengabaikan aspek-aspek kesehatan dalam berpromosi.

Ya, film ini tentu berdampak buat saya. Minimal menambah wawasan. Tapi semua yang kenal saya pasti tahu, saya paling tidak suka opini ekstrem. Saya suka "middle way," bahwa yang terbaik pasti adalah keseimbangan di tengah.

Dari semua argumen yang disampaikan di film ini, argumen tentang bagaimana tuntutan konsumsi daging membahayakan Bumi adalah yang paling saya sukai. Bahwa daging hanyalah makelar protein.

Karena itulah, saya punya resolusi. Bahwa saya ingin mengadopsi gaya hidup plant-based ini secara lebih serius. Mungkin masih akan bertahap, on dan off seperti selama ini.

Saya percaya, dalam beberapa tahun ke depan, akan semakin mudah bagi kita semua untuk mengadopsi gaya hidup ini. Karena seperti kebanyakan gaya hidup lain, semuanya dimotori oleh masyarakat negara maju.

Andai saya masih tinggal di Amerika seperti dulu, saya sekarang pasti sudah jadi full vegan. Karena di sana sudah begitu mudah. Industrinya pun sudah mengarah ke sana.

Burger King sudah menawarkan opsi Impossible Whopper, burger Vegan. Bahkan KFC sudah menawarkan "ayam" vegan, Beyond Fried Chicken, hasil kerja sama dengan Beyond Meat. McDonald's di Kanada sudah ada opsi burger pakai "daging" dari Beyond Meat.

Seperti pernah saya tulis, gerai cepat saji di Amerika itu seperti warung pecel kalau di Pulau Jawa. Opsi makan paling terjangkau untuk masyarakat umum.

"Daging-daging" vegan itu pun sudah gampang ditemukan di supermarket negara maju. Waktu berlibur dengan keluarga di Australia akhir 2019 lalu, Abah saya hampir tiap hari belanja "daging" vegan lalu memasaknya di apartemen. Termasuk di antaranya Beyond Burger yang diimpor dari Amerika.


Beyond Burger sangat mirip daging beneran saat dimasak

Melihat kiprah Impossible Foods dan Beyond Meat, plus banyak yang lain, sudah kelihatan arah kalau perusahaan masa depan adalah yang seperti mereka. Mengalahkan era perusahaan teknologi 20 tahun terakhir.

Perusahaan-perusahaan yang menyediakan solusi pengganti peternakan, menghasilkan "daging" dari bahan tanaman lewat pabrik.

Mereka tidak mengklaim "daging" mereka lebih sehat dari daging beneran, tapi mereka menawarkan solusi masa depan tanpa peternakan. Tanpa merusak Bumi lebih jauh lagi.

Dan "daging" mereka 100 persen dari tanaman, bukan sekadar dari gluten atau tepung atau yang lain. Dengan tekstur seperti daging, bahkan "berdarah" seperti daging (saya pernah tulis di Happy Wednesday 21: Ayo Selingkuhi Daging Sapi).

Salah satu alasan kenapa orang enggan meninggalkan daging adalah suka tekstur dan rasanya. Termasuk saya. Sekarang, sudah ada solusinya dari perusahaan-perusahaan seperti di atas.

Jadi bisa makan sayur-sayuran dan kacang-kacangan yang lebih sehat, lalu "kangen dagingnya" diselesaikan oleh "daging vegan."

Yang membuat saya sedih, adakah pemikiran ke arah industri itu di Indonesia? Atau jangan-jangan, ketika era "daging tanaman" itu sudah tiba (dalam waktu dekat), kita akan terus menjadi negara yang bergantung pada impor dan teknologi negara orang...

Jujur, saya akan lebih merasa tenang makan "daging vegan" daripada daging bebek atau ayam beneran, yang bebek atau ayamnya pertumbuhannya dikebut sehingga sudah siap potong dalam waktu tak sampai tiga minggu! (azrul ananda)

Comments (57)

Catatan Rabuan

Menunggu Kesehatan Menjaga Kita

Sekarang makin sering menemui teman yang mengalami masalah kesehatan serius. Rasanya baru kemarin saya dan teman-teman l...

Terlambat Tiga Tahun

Gemetar rasanya. Pesan itu ternyata sudah dikirim hampir tiga tahun lalu. Baru pekan lalu saya mengetahuinya. Secara keb...

Schadenfreude Anda Level Apa?

Belakangan saya merasa kekurangan asupan. Bukan makanan, melainkan “asupan intelektual.” Gara-gara sudah sangat jarang b...

Menunda Hepi, Melawan Boring

Ah, betapa sulitnya menulis kolom Happy Wednesday di tengah situasi global seperti ini. Di saat semua orang (seharusnya)...