(freepik)
Mungkin karena saya pernah lama di industri media. Belakangan, banyak teman bertanya soal rekomendasi sumber bacaan yang bisa dipercaya. Wajar, gara-gara virus itu, banyak yang cari referensi harus ngapain sekarang, dan harus bagaimana nanti.
Belum lagi ada begitu banyaknya hoax. Begitu banyaknya berita tidak jelas. Tidak peduli itu era lukisan di gua, era cetak, maupun era digital, kepercayaan tetap tidak mudah didapatkan.
Jujur, saya sulit memberi jawaban. Saya dulu tidak sempurna. Saya juga pernah bikin salah. Dan saya sekarang tidak ingin jadi sok tahu dan sok pintar. Tapi sekarang memang sulit memilih sumber referensi yang bikin puas. Apalagi bikin tambah pintar.
Baca berita apa saja, sudah sulit menemukan 5W 1H diterapkan dengan baik. Who? What? Where? When? Why? How?
Kalau baca berita, sekarang malah sering tambah bingung melengkapi sendiri kekurangan dari kebutuhan 5W 1H itu.
Padahal, sekarang ini 5W 1H saja sudah tidak cukup. Bahkan dari dulu sebenarnya juga sudah tidak cukup. Apalagi zaman sekarang ini, di saat situasi sebulan ke depan, dua bulan ke depan, enam bulan ke depan, atau setahun ke depan penuh tanda tanya.
What's next? Itu yang paling ditunggu dan dibutuhkan.
Saya termasuk didikan jurnalistik campur aduk. Lewat jalur darah, lewat jalur lokal, lewat jalur negeri lain. Dan waktu di sana dulu, bacaan utama saya selalu USA Today. Yang terkenal menerapkan 6W 1H. Tambahan "W"-nya ya "what's next" itu.
Dan sekarang, informasi tentang "what's next" itu seperti terlupakan di kebanyakan media-media di Indonesia. Termasuk media-media utama.
Akhirnya, kalau diskusi dengan teman-teman, juga dengan keluarga, yang terjadi adalah mencoba melihat situasi di luar sana. Kemudian mengira-ngira interpretasinya di kondisi Indonesia.
Karena, media-media di luar sana sejak awal selalu memikirkan what's next-nya apa. Sekarang, tiap hari saya membaca USA Today dan New York Times, selain media-media lain yang dari dulu saya sukai. Beruntung saya dari dulu bukan pembaca media sosial, jadi saya malah tidak update soal hoax-hoax terbaru yang bikin heboh.
Sekarang lockdown, lalu nantinya bagaimana?
Sekarang tutup bisnis sementara, lalu nantinya bagaimana?
Ada hampir 40 juta pengangguran baru di Amerika, terburuk sejak Great Depression 1930-an, lalu nantinya bagaimana?
Apa dampaknya ke kehidupan sehari-hari? Khususnya nanti?
Banyak kabar what's next itu memang bikin tidak enak hati. Misalnya, satu dari empat restoran yang tutup sekarang tidak akan buka lagi. Department store besar-besar, JC Penney dan Neiman Marcus, bangkrut. Dan itu akan berdampak ke bisnis-bisnis department store serupa.
Bioskop sedang menyiapkan Plan A, B, C, mungkin sampai Z untuk mengantisipasi "normal baru" nonton film nanti. Lucunya, dalam hal ini Indonesia mungkin lebih mudah dari Amerika. Karena di sini kita terbiasa booking nomor kursi, yang bisa diatur untuk memenuhi kebutuhan physical distancing. Sedangkan di Amerika tradisi nonton bioskop adalah dulu-duluan masuk dan rebutan tempat duduk.
Dan nonton bioskop di drive-in theater, yang ngetop di era 1950-an, sekarang mungkin kembali ramai. Wong di Jerman saja sudah ada pesta rave model drive-in (di dalam mobil masing-masing).
Soal transportasi juga bisa berubah. Toko-toko sepeda di Eropa dan Amerika melaporkan penjualan meroket. Orang mulai pindah transportasi menggunakan sepeda. Demi menghindari mass rapid transit seperti subway dan bus. Sekaligus membuat badan lebih aktif dan fit.
"Saya belum pernah melihat yang seperti ini," kata Ryan Zagata, presiden Brooklyn Bicycle Company, yang menyebut via New York Times bahwa jualannya naik 600 persen.
Mau lebih personal, seperti apa kelak tradisi jabat tangan, atau bahkan cara ciuman pasca corona!
Satu hal yang pasti, masker adalah perangkat fashion utama. Ke mana-mana, masker bakal jadi yang paling diwajibkan. Nonton bioskop, masuk ke toko, menginap di hotel, masuk bandara, semua akan seperti masuk ke rumah sakit!
Saya jadi ingat betapa ketatnya prosedur keamanan bandara sedunia setelah serangan 9/11 di New York. Sekarang sudah banyak berita resmi what's next menyebutkan seperti apa rasanya masuk bandara pasca corona ini.
Oh ya, bahkan mau masuk klub tari telanjang (strip club) pun wajib pakai masker. Sebuah berita di USA Today baru-baru ini bikin saya setengah terpingkal. Bagaimana ketika akhirnya boleh buka lagi, sebuah strip club di Cheyenne, Wyoming, menerapkan aturan ini. "Masks on, clothes off," kata mereka!
Seru juga memperhatikan bagaimana pemerintah-pemerintah menyiapkan what's next itu. Apalagi di negara seperti Amerika, yang pemerintah negara bagian (state) serta kota punya otonomi lebih kuat dalam membuat kebijakan. Presidennya boleh bikin keputusan atau kehebohan apa saja, gubernurnya --atau wali kotanya-- tetap bisa kuat hati membuat keputusan apa saja.
Walau pemerintah pusat (federal) ingin lebih longgar, ada yang tetap ingin paling ketat. Seperti California. Gubernurnya, Gavin Newsom, termasuk paling kuat membatasi pergerakan warganya. Wajar, mengingat California termasuk negara bagian paling besar, paling banyak penduduk, dan salah satu pintu masuk utama ke Amerika.
Kawasan-kawasan di California termasuk lockdown lebih dulu dari yang lain. Dan mungkin akan buka paling terakhir. Saking ekstremnya, kelompok perguruan tinggi California State University, di kota mana pun, sudah menegaskan tidak akan ada kelas pada semester musim gugur (sampai akhir tahun) nanti! Ini perguruan tinggi negeri, jadi lebih ikut aturan state.
Tapi, ada pula yang berani ekstrem lebih melonggarkan aturan. Dengan berbagai alasannya. Sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Termasuk salah satunya Wyoming, yang memang kasus Covid-19-nya termasuk paling rendah di Amerika.
Tidak ada tunggu-tungguan keputusan. Tidak ada saling lempar tanggung jawab. Bikin keputusan sendiri. Sesuasi kondisi sendiri. Yang penting tegas dan konsekuen dengan keputusannya sendiri.
Toh, faktanya sama: Virus ini akan menjadi bagian dari hidup kita dalam waktu dekat --dan menengah-- ke depan. Bahkan mungkin selamanya.
Jadi, lebih baik kita sekarang fokus bicara what's next di dunia masing-masing. Cuekin berita-berita yang gak jelas ngomongin situasi sekarang, apalagi yang potensi besar hoax. Ramai-ramai bicarakan what's next yang konstruktif. Dorong pemberitaan dan komunikasi yang bersifat what's next, yang konstruktif.
Kita semua masih ingin punya masa depan bukan? (azrul ananda)