"Kita yang di dunia bisnis burem ke depan kayak gimana. Gugus tugas penanggulangan Covid ada tapi yang penanggulangan ekonomi kagak ada. Memang orang sakit aja yang dipikirin. Orang yang nggak (sakit) tapi usahanya bangkrut kagak dipikirin. Yang ujung-ujungnya pengangguran dan akhirnya kelaparan dan mati juga..."
Komentar itu disampaikan ke saya dari seorang CEO perusahaan kondang di Indonesia. Baru-baru ini. Saat diskusi (via WA) tentang situasi/iklim usaha sekarang ini.
Yang namanya pengusaha memang harus selalu memikirkan what's next. Bersiap mengantisipasi apa pun yang bisa terjadi ke depan. Jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang.
Seorang rekan, seorang bonek, berkomentar terkait lewat WA terpisah: "Paman saya pernah bilang, kita pengusaha Indonesia ini pemberani. Kita berani berusaha di tengah keputusan yang tidak pernah pasti..."
Bagi yang terus berpikir what's next, efek paling ditakutkan dari pandemi ini bukan hanya korban jiwanya. Melainkan dampak ekonominya. Kita semua sibuk atau disibukkan oleh angka pertumbuhan penderita, yang sembuh, dan yang meninggal setiap hari.
Tapi, tidak pernah ada laporan harian, mingguan, atau bulanan yang menyebut berapa jumlah orang kehilangan pekerjaan. Seperti jadi omerta. Jadi rahasia umum, tapi tidak boleh disampaikan secara resmi.
Angka pengangguran dan dampak ekonomi itu bisa menakutkan untuk mayoritas populasi yang sehat. Sekarang mungkin masih oke. Namun takutnya, nantinya punya korelasi langsung dengan tingkat kejahatan, kerusuhan, dan lain sebagainya.
Lihat saja negerinya Donald Trump.
Berita paling besar dari sana sekarang bukan lagi besarnya penderita dan korban virus, yang jumlah meninggalnya sudah lebih dari 100 ribu orang. Melainkan berita kerusuhan, penjarahan, perusakan, dan lain sebagainya.
Ya, pemicu utamanya adalah police brutality terhadap warga kulit hitam. Puncaknya saat George Floyd meninggal setelah dikerasi oleh polisi di Minneapolis, negara bagian Minnesota.
Namun, itu mungkin hanya pemicu akhir. Panasnya sudah lama.
Ada teman yang kalau pesan makanan di restoran, selalu bilang ke pelayannya untuk bekerja cepat. "Semua kerusuhan dimulai dengan perut lapar," katanya.
Sudah bukan rahasia, ekonomi di Amerika lagi menghadapi tantangan terbesar sejak Great Depression 1930-an. Dalam sepuluh pekan terakhir, 40 juta orang kena PHK. Itu kurang lebih sama dengan total penduduk Jawa Timur atau Jawa Barat!
Negara bagian California misalnya, yang menerapkan lockdown ketat, tingkat penganggurannya disebut sudah 20 persen. Khusus kota Los Angeles, yang hidup utamanya dari dunia heboh (sport, entertainment, wisata), penganggurannya disebut mencapai 24 persen.
Kebanyakan upaya para pemimpin di sana sekarang sedang memikirkan langkah-langkah ekonomi ke depan. Jangka terpendeknya, setiap pengangguran baru mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar USD 1.200 per orang, atau lebih dari 15 juta. Bantuan untuk usaha kecil dan lain-lain terus dibahas.
Tapi, segala kerusuhan ini adalah tantangan tambahan.
Cilakanya, pucuk pimpinan negara, Presiden Trump, terasa seperti terus menyiramkan minyak ke kobaran api. Dan berkaitan dengan kerusuhan ini, Trump tampaknya sudah ikut berperan memupuk cikal bakalnya sejak kali pertama terpilih jadi presiden.
Pada 2016, seorang bintang NFL (American Football) dari tim San Francisco 49ers, Colin Kaepernick, bikin heboh. Saat lagu kebangsaan Amerika dikumandangkan, dan bendera Amerika dikibarkan sebelum pertandingan, dia menolak berdiri hormat seperti semua yang ada di stadion.
Dia terus begitu saat pertandingan. Kalau bukan tetap duduk, maka dia akan berlutut. Pokoknya tidak berdiri.
Saat ditanya mengapa. Ini jawabannya: "Saya tidak akan berdiri menunjukkan rasa bangga terhadap bendera sebuah negara yang menekan orang kulit hitam atau ras berwarna. Bagi saya, ini lebih penting dari football. Saya tidak ingin jadi orang yang egoistis dengan membiarkan semua ini terjadi. Ada banyak korban di jalanan, sementara yang bertanggung jawab justru diberi cuti atau dibebaskan dari pembunuhan."
Dengan tegas, Kaepernick memprotes police brutality. Menanggapi kasus-kasus ala Floyd yang sudah terjadi sebelum 2016 itu.
Kemudian apa yang terjadi? Orang tidak pernah membahas konteks dari protes sang bintang. Orang justru fokus pada tindakannya tidak mau berdiri saat penghormatan bendera dan pemutaran lagu kebangsaan.
Dia dicap tidak patriotis. Dia dicap tidak menghargai orang-orang yang berjuang untuk negara. Orang langsung punya penilaian absolute. Hitam atau putih. Tidak berdiri berarti tidak hormat. Tidak peduli alasannya apa.
Donald Trump yang waktu itu baru terpilih ikut meramaikan.
"Anda harus berdiri bangga untuk lagu kebangsaan, atau Anda tak usah bertanding, Anda tak usah ada di situ. Mungkin Anda juga tidak usah ada di negara ini," komentar Trump.
Sekali lagi, konteks protesnya tidak ditanggapi.
Karena tekanan politik, Kaepernick pun terdepak dari NFL. Tidak bisa dapat kontrak sampai hari ini. Padahal statusnya termasuk bintang, pernah membawa 49ers sampai laga final sebagai jenderal lapangan.
Kaepernick --dan orang-orang sepemahaman-- mungkin masih marah. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Sekarang, empat tahun setelah kali pertama protes damai, Kaepernick jadi relevan lagi. Apa yang terjadi dengan George Floyd, serta kehebohan Amy Cooper sebelumnya (silakan googling atau cari di YouTube), menunjukkan apa yang selama ini diprotes oleh Kaepernick masih terjadi. Dan terjadi lebih parah. Dan terjadi sangat parah di tengah situasi orang sedang tidak bahagia.
Dan yang mengikuti berita mungkin juga sudah tahu, Trump ikut meramaikan lagi protes ini hingga menjadi rusuh. Mengeluarkan komentar yang membuat para demonstran makin panas.
Sekarang, tiba-tiba saja makin banyak orang berbicara lantang tentang keadilan untuk warga kulit hitam. Para bintang olahraga terbesar ikutan berkomentar. Sampai selebriti yang bukan orang Amerika ikut-ikutan berkomentar. Anak saya yang masih SD pun sekarang tahu siapa itu George Floyd.
Empat tahun lalu, Kaepernick sudah protes. Dengan cara duduk dan berlutut. Tidak dengan membakar, tidak dengan merusak. Bahkan tidak teriak-teriak. Tapi tidak ada yang menanggapi. Sekarang?
Coba kalau dulu konteks protes Kaepernick lebih diperhatikan. Perubahan terjadi secara damai. Tidak harus lewat kerusuhan seperti sekarang.
Mungkin benar kata orang selama ini. Kehebatan baru akan terlihat di tengah situasi krisis, di tengah situasi buruk. Kehebatan tidak akan terlihat di tengah situasi enak dan nyaman. Sebaliknya, segala keburukan juga bisa muncul di tengah situasi krisis, di tengah situasi buruk.
Sejarah menunjukkan, segala kehancuran bisa menimbulkan kebaikan. Pasti akan ada banyak perubahan baik muncul dari kerusuhan ini. Pemimpin hebat bisa muncul. Pemimpin bisa kelihatan hebatnya.
Atau sebaliknya.
Amerika kayaknya apes, presidennya suka bikin panas. Untungnya presiden mereka dipilih tiap empat tahun. Mereka punya pemilihan lagi tahun ini, jadi bisa memilih perubahan kalau memang warganya mau demikian.
Semoga saja kita di Indonesia tidak ikutan apes... Dan semoga saja Indonesia tidak sekadar mengandalkan keberuntungan... (azrul ananda)