Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Waktu itu masih kelas 4 SD. Hari itu berseragam Pramuka. Saya sudah berkacamata tebal, paling tebal satu sekolah. Kalau tidak salah sudah minus 4,5 (sekarang minus 10 dan 8).

Lensa kacamata saya kotor sekali, habis lari-lari bersama teman. Secara reflek, saya mengelapnya dengan hasduk merah-putih yang melingkar di leher saya.

"Asrul!" bentak guru saya waktu itu, melafalkan huruf "z" pada nama saya dengan bunyi huruf "s."

Kemudian, dia melanjutkan peringatannya. "Jangan kamu gunakan hasduk itu untuk mengelap kacamata. Itu sama saja dengan tidak menghormati bendera kita," ucapnya dengan nada marah.

Saya ya diam saja. Walau dalam hati sempat berpikir hasduk kan bukan bendera, dan tidak ada yang lain yang bisa saya gunakan untuk mengelap. Pakai kemeja waktu itu saya anggap tidak praktis, karena posisinya dimasukkan ke dalam celana.

Tapi saya paham konteks marahnya guru saya. Bahwa kita harus menghormati bendera merah putih. Menghargai betapa beratnya perjuangan memperoleh kemerdekaan dan lain sebagainya.

Walau saya bukan anak dan orang paling "lurus," konteks menghormati simbol-simbol negara itu saya bawa sampai dewasa. Bahkan ketika kali pertama mengawali liga basket SMA bernama DBL pada 2004, prosesi lagu kebangsaan dan penghormatan bendera merupakan salah satu poin utama.

Waktu itu tidak banyak event olahraga lain yang seperti itu, mengawali pertandingan dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bahkan, sampai kali terakhir pada 2020 pun, lagu kebangsaan Indonesia Raya tidak dikumandangkan sebelum pertandingan liga profesional sepak bola Indonesia.

Setiap kali pertandingan DBL dimulai, di mana pun di Indonesia, lagu kebangsaan selalu kami putar. Sebagai tanda hormat, semua penonton kami minta berdiri. Melepas topi (kalau mengenakan), melepas kacamata hitam (kalau mengenakan).

Semua pertandingan DBL, dari Aceh sampai Papua.

Awal-awalnya ternyata tidak mudah. Seringkali saya benar-benar menunggu sampai semua penonton benar-benar berdiri. Kalau masih ada yang duduk, saya tidak akan memulai pertandingan. Sampai terjadi kebiasaan, semua penonton saling mengingatkan mereka yang ada di sekeliling untuk berdiri. Kalau tidak, pertandingan tidak akan dimulai.

Kadang, kami harus berbuat lebih "keras" untuk memastikan semua penonton berdiri. Pernah, pada 2008, di sebuah kota di Sulawesi, kami harus meminta tolong kepada para petugas kepolisian untuk naik ke atas tribun, memastikan para penonton mau berdiri. Kalau tidak, pertandingan tidak akan dimulai.

Setelah sekian tahun melakukan itu, kami merasakan kalau memutar lagu kebangsaan bukan sekadar memberi penghormatan. Lagu itu memberi perasaan bangga bagi tim-tim yang bertanding. Bahwa tidak semua anak basket punya kesempatan masuk tim sekolah, dan tidak semua tim sekolah bisa ikut pertandingan formal.


Beginilah kondisi sebelum pertandingan di DBL dimulai. Video ini diambil dan diunggah oleh penonton, bukan tim DBL Indonesia

Suasana jadi terasa lebih "sakral." Pertandingan jadi lebih "wah." Saya yakin, atmosfer dan kualitas pertandingan jadi lebih baik. Skor mungkin tetap tidak imbang, tapi nuansa megah semakin terasa berkat Indonesia Raya.

Terus terang, saya terinspirasi dari pengalaman saya jadi wartawan sekolah, meliput tim SMA saya keliling bertanding waktu di Kansas. Di sana, lagu kebangsaan Star Spangled Banner selalu dikumandangkan sebelum pertandingan atau perlombaan apa pun.

Semua selalu berdiri, melepas topi. Banyak ikut bernyanyi.

Waktu bikin DBL, sesuatu yang baik tentu baik pula untuk diikuti bukan?

Belakangan ini, masalah hormat bendera ini malah menjadi isu besar di Negeri Paman Sam. Mencuat sejak 2016 dan mungkin akan berlangsung hingga beberapa tahun ke depan. Bahkan mungkin akan menghasilkan pergeseran, apa itu "hormat bendera."

Apakah itu menghormati benderanya? Ataukah lebih menghormati konteks atau esensi dari bendera tersebut, sambil berani mengabaikan wujud fisik bendera tersebut.

Cerita ini harus saya ulangi lagi. Pada 2016, pemain American Football (NFL) dari klub San Francisco 49ers, Colin Kaepernick, memilih berlutut saat lagu kebangsaan dikumandangkan dan bendera ditampilkan.

Dia melakukan itu sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan sosial, khususnya terhadap warga kulit hitam. Dia merasa telah terjadi kemunafikan di balik esensi bendera dan lagu kebangsaan. Buat apa menghormati sesuatu yang seharusnya sangat sakral, kalau di balik itu masih ada banyak masalah yang bertentangan, dan masalah-masalah itu dibiarkan begitu saja oleh sistem!

Reaksi waktu itu panas. Banyak menghujat Kaepernick. Termasuk Donald Trump, yang baru terpilih sebagai presiden. Semua hujatan mengabaikan konteks asli dari protes yang dilakukan Kaepernick. Semua menuduhnya tidak patriotis. Bahkan Trump bilang sebaiknya pindah negara saja kalau tidak mau menghormati simbol negara.

Pihak pengelola liga ikut diberi tekanan. Alhasil, selama hampir empat tahun ini, Kaepernick tidak punya klub. Tidak ada yang merekrutnya.

Kemudian, kejadian George Floyd "meledak." Segala yang diteriakkan Kaepernick jadi perhatian utama dunia. Sekarang angin berbalik, mereka yang dulu diam berbalik teriak membelanya.

Bahkan NFL kini berbalik haluan. Roger Goodell, commissioner NFL, mengeluarkan pernyataan resmi, mengucapkan maaf karena tidak mendengarkan protes-protes para pemain dalam hal keadilan sosial ini. Dia tidak menyebut langsung nama Kaepernick, tapi pada dasarnya ke sana.

Liga terbesar di dunia (dalam hal perputaran uang) itu juga memberi indikasi kalau para pemain akan dibiarkan menunjukkan sikap protes saat prosesi bendera dan lagu kebangsaan.

Donald Trump? Halo politik! Ketika angin berbalik, sikapnya ikut bergeser. "Kalau dia memang layak, dia (berhak dapat kesempatan main lagi)," kata Trump. 

"Saya akan mendukung (Kaepernick main di NFL). Mengenai urusan berlutut, saya ingin melihat dia dapat kesempatan lagi. Tapi tentu saja dia harus bermain dengan baik," lanjut Trump, yang maju pemilihan lagi pada November nanti.

Ya itulah politik. Lihat arah angin. Trump memang tetap tidak setuju bila orang tidak bersikap benar dalam prosesi lagu kebangsaan dan bendera. Tapi pernyataan dia sudah sangat beda dengan waktu Kaepernick protes dulu.

Musim NFL 2020-2021 belum dimulai. Rencananya September dimulai, walau pandemi masih berpeluang menunda atau menghentikannya sama sekali. Apalagi, baru-baru ini beberapa pemain di beberapa klub telah positif kena Covid-19.

Liga-liga lain, seperti NBA, juga belum dimulai. Jadi, masih harus ditunggu seperti apa sikap-sikap para bintang olahraga itu saat Star Spangled Banner dan bendera Amerika ditampilkan sebelum pertandingan.

Ajang olahraga besar yang sudah jalan duluan salah satunya adalah NASCAR, ajang balap mobil terbesar di Amerika. Di ajang itu, kontroversi bendera sudah terjadi. Namun, bukan untuk bendera Star and Stripes. Melainkan bendera Stars and Bars, bendera simbol Confederate States of America.

Pada 1861-1865, terjadi perang sipil di Amerika. Negara-negara bagian di Utara, yang sekarang kita kenal dengan United States of America (USA), melawan negara-negara bagian di Selatan, yang tergabung dalam Confederate States of America.

Ada perbedaan ideologi, yang utama adalah tentang perbudakan. Yang Utara anti-perbudakan (kulit hitam), menyatakan kesetaraan untuk semua. Sedangkan yang Selatan pro-perbudakan, yang merupakan komponen esensial ekonomi, yang bergantung pada perkebunan.

Utara menang, makanya jadi "USA." Tapi, bendera Confederate berjulukan Stars and Bars itu masih banyak berkibar di kawasan Selatan. Dalihnya, yang dihormati adalah nilai sejarah dari bendera itu. Karena bendera itu dianggap bukan sekadar melambangkan sikap setuju pada perbudakan. Masih banyak yang lain.

Selama hampir 200 tahun sejak perang sipil berakhir, masalah bendera itu seolah tidak terlalu dipusingkan. Kebetulan, NASCAR itu bermula dan berbasis di Selatan. Pemandangan bendera Confederate di tengah-tengah sirkuit NASCAR sudah jadi pemandangan biasa. Bahkan ada stan-stan yang menjualnya.

Sejak kejadian George Floyd, masalah bendera ini jadi ramai. Karena protes sekarang ramai menyerang simbol-simbol masa lalu Amerika yang dianggap tidak sesuai dengan norma sekarang.

Patung-patung tokoh Selatan banyak minta diturunkan. Patung-patung presiden masa lalu yang dianggap rasialis juga diminta diturunkan. Tidak peduli jasanya apa, pokoknya kalau ada rasisnya, harus diturunkan.

Bahkan patung Theodore Roosevelt di depan Museum of Natural History di New York juga akan diturunkan. Padahal presiden itu bukanlah seseorang yang rasis, dan termasuk pionir cinta lingkungan. Alasan patung itu akan diturunkan? Karena menggambarkan Roosevelt duduk gagah di atas kuda, dengan orang kulit hitam dan orang suku asli Amerika (native American, yang sebelumnya kita kenal dengan istilah "Indian") berdiri di kanan-kirinya.

Penggambaran itu dianggap tidak lagi pantas. Bahkan keluarga Roosevelt pun setuju penggambaran itu tidak lagi pantas untuk zaman sekarang ini.

Kembali ke bendera, banyak tuntutan agar bendera Confederate itu dilarang berkibar di Amerika. Ironis juga, karena sosial media bebas berteriak bilang itu tidak benar. Di sisi lain, para pembela bendera menyebut bahwa mengibarkan bendera itu adalah bukti adanya kebebasan berbicara dan berpendapat di Amerika.

Nah, NASCAR termasuk yang memutuskan melarang dikibarkannya bendera itu di dalam sirkuit. Berlaku mulai balapan di Talladega, Alabama, Minggu yang baru berlalu (21 Juni).

Apa yang terjadi? Penonton menghormati kebijakan itu. Tapi, di luar sirkuit, ada pawai mobil mengibarkan bendera Confederate. Sebelum lomba dimulai, ada pesawat terbang keliling sirkuit, mengibarkan bendera Confederate plus tulisan yang artinya kurang lebih "Bubarkan NASCAR."

Debat di media sosial? Tentu sangat ramai.

Ke mana kelanjutan semua ini? Entahlah. Apakah akan terjadi "overcorrection" di Amerika? Di mana langkah menyikapi ketidakadilan justru melangkah terlalu jauh, menciptakan ketidakadilan yang baru?

Semua ini masih akan sangat seru berjalan, puncaknya mungkin berdekatan dengan pemilihan presiden November nanti. Trump sudah jelas-jelas semakin memancing terjadinya polarisasi, karena sepertinya hanya itu strategi yang bisa dia lakukan kalau ingin menang lagi.

Kalau dia kalah, maka akan ada beban besar bagi penggantinya. Bagaimana menenangkan lagi segala masalah sosial yang terjadi di Amerika saat ini. Plus terus berupaya segara mengakhiri masalah pandemi.

Negara itu akan terus "seru" sampai 2021, mungkin 2022, mungkin setelahnya.

Terbang kembali ke Indonesia, ke kita sendiri. Syukurlah, tidak ada masalah hormat bendera dan lagu kebangsaan yang berarti di Indonesia saat ini. Paling ribut kalau ada tokoh publik yang salah lirik saat menyanyikannya. Walau mungkin, dalam kenyataan kehidupan, masih ada banyak penyimpangan dari nilai-nilai yang seharusnya disimbolkan oleh bendera dan lagu kebangsaan kita itu... (azrul ananda)

Comments (23)

Catatan Rabuan

Welcome To Happy Wednesday 2.0

Sudah lebih dari setahun saya tidak menulis Happy Wednesday, sebuah kolom hari Rabu di mana saya bisa menulis sesuka hat...

20 Tahun Cinta Namie Amuro

Entah ini tulisan sudah terlambat 20 tahun, atau mungkin hanya terlambat setengah tahun. Yang jelas ini dekat dengan mom...

Shazam dan Tom Hanks

Maklum, sudah lama tidak pacaran. Sabtu malam lalu (30 Maret), istri saya seret pergi ke bioskop. Nonton Midnight. Tapi,...

Tergila-gila BlackPink

Yap. Tergila-gila K-Pop. Yap. Tergila-gila BlackPink.