Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Pagi itu saya dapat WA bertanya soal sepeda. Mungkin dia tahu kalau saya hobi sepeda serius, dan dalam delapan tahun terakhir banyak mengoleksi sepeda aneh-aneh. 

Dia mengirimkan foto sebuah sepeda. Lalu dia bertanya: "Ngapunten, mau tanya. Sepeda kayak gini seharga 489 juta. Masuk akal tidak ya?".

Saya buka foto itu. Saya zoom. Saya perhatikan baik-baik. Merek terkenal, legendaris. Inggris juga, tapi bukan Brompton. Termasuk sepeda kecil, tapi bukan sepeda lipat. 

Jawaban saya: "Wkwkwkwk..."

Yang bertanya ini benar-benar penasaran. Kita semua tahu sepeda sedang booming. Walau mungkin bersifat sebagai "fad," alias sesaat. Bukan tren yang lebih panjang.

Dia bertanya, apa yang bikin ini begitu mahal. Atau jangan-jangan aslinya tidak semahal itu. Jangan-jangan yang punya hanya sekadar menyombongkan diri dan berbohong. Jangan-jangan, yang punya dibohongi oleh yang jual.

Saya menjawab lagi dengan tidak langsung: "Orang kaya kan belum tentu pintar. Lulusan Amerika juga bukan jaminan pintar."

Sebelum kita menjelaskan, berapa harga sepeda di atas sebenarnya, saya sebenarnya sudah sangat gatal bicara soal ramenya sepeda ini, dan melambungnya harga beberapa jenis sepeda.

Pertama, soal fad ini. Saya sudah membahasnya di Energi DI's Way Podcast, saat Abah saya ikut penasaran soal ramenya sepeda.

Saya juga membahasnya beberapa kali di podcast Main Sepeda saya bersama Johnny Ray di channel YouTube Mainsepeda

Juga pernah saya bahas saat diminta grup Tribun dalam wawancara online mereka beberapa waktu lalu, bersama beberapa tokoh sepeda lain di Indonesia. Plus, saya juga pernah bahas sepeda di kolom Rabu ini beberapa pekan lalu.

Secara global, tren sepeda memang sudah mendapat momentum naik sebelum pandemi. Beberapa tahun lalu, market research sebuah merek ternama Amerika bilang, tren sepeda sebagai olahraga naik 20 persen, sementara golf turun 20 persen.

Sepeda sebagai transportasi aktif juga terus dipromosikan. Semakin gencar lagi di masa pandemi ini. Di Italia, orang diberi subsidi pemerintah hingga 500 Euro untuk beli sepeda. Di Prancis, orang diberi subsidi pemerintah 50 Euro untuk menservis sepedanya.

Di masa pandemi ini, memang melonjak luar biasa. Secara global. Mayoritas, sebagai transportasi aktif atau alat olahraga dengan semakin meningkatnya kesadaran untuk hidup lebih aktif dan sehat.

Tentu saja, sesuatu yang melonjak dibarengi dengan "bumbu"-nya. Bagi sekelompok orang, kebutuhan untuk eksis dan jaga gengsi ikut mengiringi.

Ini tentu bukan hal baru. Sebelum ini, orang sudah seperti itu dalam banyak hobi lain. Misalnya mobil, pakaian, bahkan batu akik. Kebutuhan eksis di dunia sepeda juga sudah agak lama ada. Khususnya di dunia medsos. "Atlet medsos" sudah bukan hal baru. Demi eksistensi, rela pura-pura balapan dan mengedit fotonya, sehingga yang melebar jadi kelihatan singset.

Kebetulan, belakangan, "bumbu" ini jadi makin panas saja.

Keinginan tampil keren, kebutuhan eksis, tidak mau kalah gaya, membuat orang-orang yang niatnya bukan olahraga ikut memburu sepeda. Tanpa mereka, harga sudah naik karena demand bisa jauh melebihi supply. Berkat mereka, harga pun melambung memasuki ranah illogical buying.

Yang jual sepeda saja jadi mengejutkan. Toko sepatu jualan sepeda. Toko baju jualan sepeda. Toko tas jualan sepeda! Mumpung harga melambung.

Teman saya, Baron Martanegara, founder Brompton Owner Group Indonesia (BOGI), sampai capai menjelaskan kalau harga sepedanya sebenarnya tidak semahal itu. Bahwa di Indonesia ini "harga gorengan"-nya luar biasa. "Yang di Inggris Rp 9 juta di sini bisa jadi Rp 40 juta," jelasnya dalam diskusi Tribun bersama saya.

Dan yang beli memang benar-benar bernafsu. Teman saya di Surabaya baru beli Brompton edisi khusus, seharga Rp 55 juta. Memang edisi terbatas, tapi harga ini sudah mahal karena pajak di Indonesia juga tinggi. 

Baru tiga bulan memakai, ada yang menawarnya di atas Rp 90 juta. Ya dia lepas saja. Kapan lagi dapat untung sebanyak itu. Wong deposito aja gak sebanyak itu bunganya. Tidak lama kemudian, dia menyadari kalau sepeda itu lantas dijual lagi. Harganya naik lagi jadi Rp 125 juta!

Dia hanya bisa geleng-geleng kepala. "Ngapain memaksakan segitu. Toh tidak lama lagi akan keluar lagi edisi bagus. Dan harganya akan kembali normal," ucapnya, logis.

Tentu saja, hak mereka untuk membeli sepeda semahal mungkin. Toh mereka mau, dan mereka mampu. Kita mengkritisi bisa saja, tapi jangan sampai menyenggol ranah iri dan dengki.

Daripada uangnya dipake aneh-aneh. Minimal sepeda mengajak mereka mau bergerak lebih banyak. Mungkin, karena pandemi, anggaran liburan mereka tidak terpakai. Jadi ya dihabiskan untuk sepeda. 

Di sisi lain, saya juga gatal dan geli. Karena tiba-tiba banyak yang teriak pajak sepeda. Ini saya agak khawatir. Karena di negara kita ini memang ada kesenjangan sosial yang cukup lebar. Di situasi pandemi, dan sebenarnya resesi ini, memang rasanya kurang sopan membeli sepeda yang harganya terkesan illogical itu.

Tapi, sebagai kolektor sepeda, saya harus menjelaskan juga. Kalau sepeda bermerek di Indonesia lebih mahal salah satunya ya karena pajak itu. Harga aslinya di luar negeri, bahkan di negara-negara tetangga, tidak sampai segitu.

Di negara lain, sepeda dimasukkan kategori alat olahraga. Di Indonesia, kadang masih bisa kena pajak barang mewah. Adil? Tergantung sudut pandangnya. Menurut saya sih harus ditegaskan betul apa itu "barang mewah."

Kalau sepeda high end disebut barang mewah, wah, berarti sulit bagi atlet-atlet sepeda untuk berkembang karena tunggangannya barang mewah.

Apalagi, di luar negeri, sepeda --semahal apa pun-- tetap lebih dihargai daripada kendaraan bermotor. Karena --kembali lagi ke atas-- itu adalah alat transportasi aktif yang menyehatkan, dan mengurangi "ongkos" polusi.

Tolong benar-benar dipahami dan dipisahkan, komentar mencibir itu kritikan yang logis atau sekadar bentuk ungkapan kecemburuan sosial.

Dan harus ditegaskan, harga-harganya sudah mahal salah satunya karena pajak. Kemudian, semakin melambung karena illogical buying. Bukan karena harga aslinya.

Ya, tulisan ini saya akui ada partisannya. Karena saya sudah delapan tahun ini koleksi sepeda aneh-aneh. Kebetulan, saya memang tidak beli mobil aneh-aneh. Teman-teman saya beli mobil mewah, sementara saya menganggap mobil sebagai sarana transportasi saja, jadi tidak perlu aneh-aneh.

Teman saya suka koleksi jam mewah. Saya tak pakai jam.

Kebetulan, saya olahraganya gowes. Semenjak lutut kanan saya hancur karena main sepak bola, sehingga sudah tidak bisa lagi lari dan olahraga lain yang ada larinya.

Jadi, anggaran hobi saya lari ke sepeda. Saya tidak akan munafik. Ya, saya punya sepeda yang harganya aneh-aneh. Tapi saya rasa saya masih masuk tahap logis. Sepeda yang saya beli memang benar-benar harus ada "cerita" dan nilai khusus yang membuatnya layak dikoleksi.

Misalnya, pembuatnya seniman beneran, dan karyanya seperti lukisan. Nilai sepeda saya kemudian naik banyak, karena pembuatnya di Italia meninggal dua tahun lalu.

Atau, sepeda yang dibuat secara terbatas, berkolaborasi dengan tim Formula 1, dan mendapatkannya memang harus ada "perjuangannya."

Kadang, saya membeli secara impulsif. Tapi rasanya saya tidak sampai ke ranah illogical buying. Apalagi, pengalaman beli (dan salah beli) itu kemudian saya terapkan ke dunia usaha, ketika saya dan rekan saya John Boemihardjo membuat merek sepeda Wdnsdy (baca: Wednesday). Supaya orang bisa merasakan sepeda yang high end, tanpa membayar merek high end.

Buat merek lain jangan khawatir, saya masih koleksi semua merek kok. Wkwkwk...

Dan sebagai penegasan: Semua sepeda yang saya punya pasti pernah saya hajar di jalan atau tanjakan. Bukan sekadar dipajang. Sebagai seorang cyclist saya harus menegaskan itu. Saya cyclist. Bukan cyclist-cyclist-an. Saya berusaha gowes 400 km seminggu. Minimal 300 km seminggu. Saya berusaha gowes 20 ribu km setahun. Beberapa tahun lalu pernah mencapai 26 ribu km setahun. Kalau tidak percaya silakan tanya banyak orang, atau lihat akun Strava saya. Wkwkwk...

Nah, kembali ke sepeda yang harganya hampir Rp 500 juta di awal tulisan ini. Benarkah harganya segitu? Dengan mudah dan lantang saya bisa menjawabnya: Tidak!

Entah yang beli itu bohong, atau dibohongi, atau tidak peduli harga, harga sepeda itu tidak sampai segitu.

Kebetulan saya punya teman di Jakarta yang punya sepeda serupa. Seorang kolektor senior, tapi juga cyclist beneran, bukan cyclist-cyclist-an. Dia bilang, sepeda itu memang edisi khusus. Dia membelinya seharga Rp 280 juta.

Dia menegaskan, rasanya berlebihan kalau harganya melambung hingga hampir Rp 500 juta. Dia ikut tertawa mendengarnya. "Pernah sih ada toko yang menjualnya Rp 375 juta. Mungkin yang beli itu menjualnya lagi jadi Rp 500 juta. Ha ha ha..." tuturnya.

Kata dia, daripada beli semahal itu, mending beli langsung saja di Inggris. Harganya tidak jauh dari harga pas dia beli dulu. Malah justru lebih murah kalau beli tiket ke Inggris, beli di sana, membawanya pulang. Termasuk dengan biaya pajak yang harus dibayar pun (yang tinggi itu), harga totalnya tetap lebih murah daripada Rp 489 juta.

Itu sudah dapat sepeda, dan jalan-jalan di Inggris.

Memang, totalnya masih mahal. Tapi lebih logis bukan?

Makanya itu, kadang orang punya uang juga tidak pintar...(azrul ananda)

Comments (23)

Catatan Rabuan

Angin Kansas

Tahun ini saya kembali lagi ke Kansas. Sebuah negara bagian yang terletak pas di tengah-tengah daratan Amerika Serikat....

Obrigado Ayrton Senna, 25 Tahun Kemudian

Tepat 1 Mei, 25 tahun lalu, salah satu peristiwa terbesar dalam hidup saya terjadi. Peristiwa yang sampai hari ini masih...

15 Tahun Tetap Tanpa Ujung

Tulisan ini seharusnya sudah keluar beberapa hari lalu. Karena pada 4 Juli lalu, ada ulang tahun yang sangat penting. Te...

Sepatu Merdeka

Waktu masih kecil, keluarga saya belum punya banyak uang. Saat SD, ibu saya hanya mau membelikan sepatu harga di bawah R...