Ayah saya pernah puluhan tahun berkecimpung di arena sepak bola. Salah satu kutipannya yang paling kondang bunyinya begini: "Kalau Anda sudah keluar dari sepak bola, tandanya Anda sudah waras."
Saya tahu, ia agak terkejut ketika saya mengambil keputusan terjun di sepak bola, pada awal 2017 lalu. Sebelum itu, ia selalu bilang, "Kamu mau bikin olahraga apa saja terserah, pokoknya bukan sepak bola. Cukup Abah saja."
Tapi, di sisi lain, saya tahu dia sangat senang saya ikut terjun mengelola klub sepak bola legendaris di Surabaya ini. Karena ketika saya mengabarinya tentang keputusan itu, ia menjawab singkat tapi jelas: "Abah senang."
Saya tahu dia percaya saya. Walau saya tahu dia juga siap kalau saya ternyata membuat kesalahan besar. Itulah ia, selalu percaya kepada yang muda, memberi ruang sebesar-besarnya untuk membuat kesalahan. Asal jangan diulang-ulang!
Ketika mengakhiri 2017 dengan gelar juara, mengembalikan klub ini ke liga tertinggi, Abah ada di tribun menonton di Bandung. Ia tidak bilang banyak ke saya. Ia hanya mengirim pesan lewat WA. Bunyinya: "Sepak bola di Indonesia ini hal paling sulit untuk dikelola. Tapi ternyata Ulik bisa."
Sudah. Begitu saja. "Ulik" adalah penggilan saya di keluarga.
Tidak terasa, sudah hampir empat tahun saya basah di sepak bola. Saya tetap optimistis. Saya tetap yakin. Masa depan sepak bola --dan olahraga lain di Indonesia-- sangatlah cerah. Ini negara terlalu besar, penduduknya terlalu banyak, untuk gagal. Dalam hal apa pun. Kalau tidak bisa berhasil, berarti yang salah ya dirinya sendiri.
Syarat sukses sebuah industri kan sangat gampang. Syarat nomor satu adalah: Penduduknya banyak. Itu market-nya. Itu customer-nya.
Masak penduduk begitu banyak lebih mengkonsumsi produk asing. Lebih mengkonsumsi produk olahraga asing. Lebih menonton panggung olahraga asing? Kalau iya, sekali lagi, ya salah olahraga itu sendiri.
Australia saja, yang penduduknya tidak banyak (hanya se-Jabodetabek), punya olahraga sendiri merajai negara sendiri. Sekitar 80 persen perputaran uang olahraga di Negeri Kanguru adalah untuk A-League, Aussie Rules Football. Bukan sepak bola, bukan rugby. Sepak bola gaya Aussie sendiri.
Secara jangka panjang, saya masih optimistis.
Jangka pendek dan menengah, saya mulai galau. Ternyata konsisten itu susah. Ternyata berpikir jangka panjang itu tidak mudah. Maunya gampang cepat.
Mungkin niatnya baik, tapi saya punya feeling niatan baik itu bisa berdampak buruk untuk jangka pendek. Lebih parah lagi, niatan baik bisa menjadi preseden buruk untuk jangka panjang. Karena niatan baik tidak dibarengi dengan pemikiran yang komplet dan mendetail. Kata pengusaha: Seperti tanpa manajemen.
Saya jadi ingat dulu ketika ditawari seorang pengusaha besar untuk memegang sebuah cabang olahraga besar di Indonesia (bukan sepak bola). Waktu itu, pengusaha besar itu bilang olahraga kita ini butuh CEO, bukan ketua umum.
Perkembangan olahraga kita, khususnya sepak bola, memang selalu bikin geleng-geleng kepala. Seorang pelatih asing yang sangat pintar (bukan dari klub saya) pernah bertanya kepada saya: "Kenapa bisa begini ya. Bukankah pemilik-pemilik klub itu orang sukses semua. Yang tahu bagaimana mencapai kesuksesan. Kenapa kok liganya bisa seperti ini?"
Ha ha ha, saya sulit menjawabnya. Karena saya sendiri merasa belum layak menjawab, merasa belum cukup teruji untuk bisa menjawabnya. Di luar meraih juara, saya baru akan merasa sukses kalau klub saya sudah sustainable, sudah matang, dan komplet struktur organisasi dan pengembangan komersialnya.
Saya tidak mau mengkritik orang kalau saya sendiri masih belum benar. Lebih baik fokus mengurus dapur sendiri daripada ikut keruwetan orang.
Meski demikian, pertanyaan pelatih asing itu benar juga. Memang ada banyak orang politik, bukan pengusaha, berada di dalam dunia sepak bola kita. Namun, ada beberapa pula pengusaha hebat ikut terjun di sepak bola kita.
Dengan berbagai ketidakpastian, dan pemaksaan di tengah ketidakpastian belakangan ini, saya jadi kembali berpikir. Saya jadi ingat ucapan Ayah saya. Ada apa dengan sepak bola kita? Yang seharusnya waras kok rasanya jadi tidak waras. Apakah saya juga sudah ikut tidak waras?
Saya mencoba menarik napas panjang. Banyak orang seharusnya marah dengan situasi ini. Begitu banyak sumber daya dihabiskan untuk hal yang tidak pasti, yang seharusnya bisa digunakan untuk kebaikan lain. Apalagi di tengah situasi pandemi (dan sebenarnya resesi) ini.
Tapi saya tidak mau marah-marah dan teriak-teriak. Tidak ada gunanya. Tidak bisa mengulang waktu. Tidak bisa mengubah situasi.
Sebagai orang baru, dan relatif masih muda, di dunia yang unik ini, saya akan berusaha positif. Saya akan berusaha selalu optimistis. Siapa tahu, teman-teman lain di dunia sepak bola ini semakin belajar untuk mengedepankan akal sehat. Pelan-pelan tidak apa-apa lah. Yang penting jangan selalu mengulangi kesalahan yang sama (walau sebenarnya mungkin sudah).
Masa depan tetap menjanjikan. Walau jalan ke sana terlalu zig-zag.
Apakah sikap saya ini menunjukkan kalau saya juga sudah tidak waras? Semoga tidak. Tuhan, tolong bantu kami. Supaya yang waras tetap waras... (azrul ananda)