Lady Gaga menyatakan dukungannya terhadap Joe Biden dalam kampanye di Heinz Field, Pittsburgh, Pennsylvania, Senin (2/11) waktu Amerika Serikat.
Teman saya ini anak Surabaya asli. Lahir di Surabaya, besar di Surabaya sampai SMA. Baru kuliah dengan saya di Amerika, lulus hampir bersamaan. Banyak kelas kami ambil bersama. Saya paling banyak titip absen sama dia, atau pinjam dan memfotokopi catatan kuliahnya, ketika saya ada banyak "kesibukan" lain (ehm, pacaran misalnya).
Ketika kami lulus (dan saya menang nilai, wkwkwk), jalan kami berpisah. Saya pulang ke Indonesia, dia menerima pekerjaan yang begitu baik di sana. Dia lantas terus berkarir dengan baik di sana. Saya sempat iri sama dia. Ketika saya balik berkunjung dua tahun setelah wisuda, ternyata dia sudah punya kondominium sendiri, dan sudah punya mobil Mercy.
Dia lantas menikah dengan orang Indonesia juga, punya anak di sana. Kemudian jadi warga negara di sana.
Dia ini termasuk teman saya yang paling baik, paling alim. Saya tidak pernah mengakui ini langsung ke dia. Tapi saya merasa dia sebagai salah satu teman saya yang paling rajin dan tertib hidupnya. Jadi wajar bila hidupnya baik di kemudian hari.
Dia ini benar-benar tidak pernah ndablek. Saya ingat betul, setiap saya mengajak dia hangout, saya sering ditelepon oleh kakak laki-lakinya yang juga tinggal di sana. Sang kakak selalu mengingatkan, sambil setengah mengancam: "Azrul, adikku jangan kamu ajak nakal lho ya!".
Wkwkwkwk...
Kata sang kakak, dia ini benar-benar "anak" paling dijaga di keluarga. Ketika di Surabaya, tidak pernah menonton bioskop. Rajin ke gereja. Sangat taat kepada orang tua. Tapi untunglah dia bergaul dengan saya, yang tidak terlalu nakal-nakal amat....
Sampai hari ini, walau tidak rutin, kami masih bertegur sapa. Walau lewat pesan telepon. Kadang dia bertanya tentang situasi di Indonesia, atau khususnya Surabaya. Kadang saya iseng tanya tentang suasana di sana.
Belakangan, di saat Amerika sedang ramai soal pemilihan presiden, saya iseng bertanya dengan dia. Sepaham apa pun kita tentang negeri orang, serajin apa pun kita membaca tentang negeri orang, tetap tidak bisa mengalahkan pemahaman di saat kita benar-benar tinggal di sana. Benar-benar berada di tengah-tengah dinamikanya. Saya memang pernah tinggal tujuh tahun di sana, tapi itu lebih dari 20 tahun lalu.
Kepada teman saya itu, saya memancing dengan sebuah pesan. Bahwa Amerika sedang aneh, sedang tidak seimbang.
Ternyata, jawabannya langsung panjang. Dan langsung menunjukkan sikapnya terhadap Amerika sekarang, dan prospek pemilihan presiden 2020.
"Sedihnya, kalau Demokrat menang November nanti, kita semua bisa mengucapkan selamat tinggal pada ekonomi yang luar biasa. Lebih banyak pajak untuk semua orang, pendatang ilegal akan diterima karena Demokrat butuh suara mereka. Amerika akan seperti Venezuela, dulu salah satu negara terkaya yang kemudian hancur karena sosialisme," tulisnya.
"Sedihnya lagi, inilah mindset orang muda Amerika. Mereka maunya yang gampang, maunya serba disediakan. Mereka adalah produk di mana prioritas utama mereka hanyalah supaya tidak sakit hati. Benar-benar menyedihkan. Negara ini dirusak dari dalam..." tambahnya.
Wow! Saya terhenyak juga mendengar tanggapan panjang itu.
Saya bukan warga Amerika. Tapi kalau iya, saya ini mungkin condong ke Demokrat. Mungkin karena lingkungan. Saya dulu memang SMA di negara bagian Kansas, yang jelas-jelas Red State alias negara bagian Republik. Tapi keluarga angkat saya termasuk moderat. Tidak baku ke Biru maupun Merah. Mereka memilih tergantung siapa figurnya.
Kemudian, saya bertahun-tahun di California, yang jelas-jelas Blue State. Jadi, saya mungkin condong "biru" karena itu. Tapi sekali lagi, ini tidak penting, karena saya tidak ikut memilih!
Nah, teman saya ini juga bertahun-tahun di California. Dengan lingkungan yang sama dengan saya. Tapi kemudian karirnya menanjak dan dia dalam beberapa tahun terakhir tinggal di negara bagian Texas, yang dalam sejarahnya adalah Red State (walau tahun ini ketat).
Saat saya menulis catatan ini, saya mengecek status profil teman saya itu. Tulisannya: "I Voted." Berarti dia sudah ikut "mencoblos." Dan saya kira dia jelas memilih siapa...
Semula, saya pikir teman saya ini saja yang begitu. Ternyata dia tidak sendirian. Beberapa hari lalu, saya berdiskusi dengan seorang pengusaha. Kakaknya juga tinggal di Amerika, dan sudah menjadi warga negara di sana.
Sang kakak ternyata juga seperti teman saya di atas. Tahun ini, sang kakak untuk kali pertama akan ikut memilih di Amerika. Dan dia memastikan diri akan ikut memilih. Dan dia akan memilih Trump.
Alasannya mirip dengan teman saya di atas. Kalau Demokrat menang, maka pajak akan bertambah. Hidupnya bisa jadi lebih susah.
Setelah saya pikir-pikir, hidup ini seru juga ya. Hampir semua teman bule saya di Amerika mengaku memilih Biden. Tapi dua orang Surabaya yang saya tahu, yang kini jadi warga negara di sana, memilih Trump.
Saya memang pernah tinggal lama di sana, dan praktis setiap tahun mampir ke sana. Tapi saya tidak lagi "hidup" di sana. Sehingga saya tidak mau membuat judgment, mana yang benar. Hanya mereka yang hidup di sana yang tahu, apa yang mereka butuhkan. Seramai apa pun media, seheboh apa pun media sosial, semua itu hanya pucuk gunung es. Kalau kita tidak benar-benar di sana, kita tidak akan tahu seperti apa yang benar-benar terjadi di bawahnya.
Rabu hari ini, siang ini, tanggal 4 November WIB, kita mungkin sudah tahu siapa pemenang pemilihan presiden Amerika Serikat 2020. Mungkin teman-teman bule saya akan senang, karena Biden menang. Mungkin dua orang asal Surabaya yang saya tahu itu yang akan senang, karena Trump menang lagi...(Azrul Ananda)