AWAY DAY - Pendukung Buffalo Bills mendukung timnya di kandang Arizona Cardinals, saat musim reguler. (Reuters)
Olahraga populer memang dilematis di tengah pandemi ini. Di satu sisi, menyelenggarakannya memberikan risiko besar buat banyak orang. Di sisi lain, menyelenggarakannya bisa memberikan hiburan penting di tengah masa-masa tidak enak ini.
Pro mana? Liga dilanjutkan atau tidak dilanjutkan.
Sebenarnya, jawabannya gampang: Tergantung nilai dan skala ekonominya! Seperti kebanyakan hal lain di dunia ini, jawaban dari semuanya adalah uang. Saya selalu terngiang ucapan salah satu sahabat saya waktu kuliah dulu: "Emang hidup pakai cinta?"
Dalam hal penyelenggaraan liga di tengah pandemi ini, saya paling memperhatikan National Football League (NFL) di Amerika. American Football di sana sama "religiusnya" dengan sepak bola di Indonesia. Menjadi sumber perdebatan penting, harus dijalankan atau tidak. Boleh ada penonton atau tidak. Dan lain sebagainya.
Karena senjatanya adalah uang, bagi NFL dari awal bisa dilawan. Seperti kebanyakan liga maju, business model-nya sudah matang. Pemasukan terbesar semua tim adalah dari liga, dari hasil pembagian hasil hak siar, merchandising, dan lain-lain. Bukan dari sponsor. Dan tidak ada penonton bukan masalah.
Dan NFL uangnya paling banyak dalam hal ini. Bisa dua kali lebih besar dari liga olahraga terbesar berikutnya. Entah itu liga sepak bola Inggris atau yang lain.
Dengan kekuatan ekonomi itu, protokol mereka termasuk paling hebat. Para pemain dites Covid-19 setiap hari. Teknologi digunakan untuk contact tracing. Kalau ada yang melanggar, dendanya sampai ratusan ribu dollar. Pelatih Las Vegas Raiders kena denda lebih dari 200 ribu dolar AS karena tidak mengenakan masker di pinggir lapangan!
Memang sempat ada masalah. Beberapa pertandingan sempat ditunda karena pemain yang positif. Tapi ada pula yang dipaksakan jalan, walau timnya ada yang kekurangan pemain. Dengan alasan, salah tim itu tidak menjalankan protokol dengan baik!
Januari ini, NFL hampir "lulus." Mereka sudah melewati seluruh musim reguler. Dari total 32 tim, sekarang hanya sisa empat tim berjuang menjadi juara, memperebutkannya di Super Bowl, 7 Februari mendatang.
Dalam penyelenggaraan playoff dua pekan terakhir, ada satu hal yang membuat saya sangat kagum. Yaitu tentang pengelolaan penonton di stadion. Khususnya laga playoff di Buffalo, New York, Sabtu lalu (16 Januari).
Sepanjang musim reguler, ada penonton atau tidak memang tergantung kebijakan negara bagian masing-masing. Ada yang boleh penonton, dibatasi maksimal 25 persen dengan penataan duduk dan protokol khusus. Banyak juga yang sama sekali tanpa penonton.
Salah satu yang paling ketat aturannya adalah New York. Kebetulan, negara bagian ini termasuk yang paling terpukul pandemi ini. Padahal, ada tiga tim bermarkas di sana. New York Giants, New York Jets, dan Buffalo Bills.
Sepanjang musim reguler, tiga tim itu bertanding home tanpa penonton. Tapi kemudian Buffalo Bills lolos ke playoff. Sudah dua pekan ini mereka berlaga di kandang sendiri. Menang lawan Indianapolis Colts pada 10 Januari, lalu menang lagi lawan Baltimore Ravens 17 Januari lalu.
Dua laga itu bersejarah. Sudah sangat ditunggu-tunggu. Karena kali terakhir Bills menang playoff adalah 25 tahun lalu!
Salah satu pendukung Buffalo Bills ketika menyaksikan pertandingan melawan Baltimore Ravens, 17 Januari lalu. (AFP)
Warga kota Buffalo (perbatasan Kanada, tempat Niagara Falls berada), sangatlah fanatis mendukung timnya. Bills Mafia, julukan suporter tim itu, mungkin seperti Bonek atau Bobotoh di Indonesia. Mendukung mati-matian apa pun kondisinya.
Pemerintah kota, sekaligus pemerintah negara bagian New York, sadar betul pentingnya memberi kesempatan bagi warga Buffalo untuk mendukung langsung. Kalau tidak, bisa muncul masalah sosial lain. "Pendukung Buffalo Bills itu tidak seperti yang lain. Mereka benar-benar sangat tabah menunggu," kata Gubernur Andrew Cuomo.
Akhirnya, sang gubernur mengeluarkan izin khusus. Bills Mafia boleh datang menonton di Bills Stadium. Tapi hanya sepuluh persen dari kapasitas. Dari maksimal 72 ribu, hanya boleh 7.200 penonton. Itu pun dengan protokol sangat ketat.
Syarat menonton NFL di Buffalo menarik buat semua pihak. Termasuk kita di Indonesia. Menunjukkan betapa kompleksnya menyelenggarakan event olahraga massal di tengah pandemi.
Syarat-syaratnya seperti berikut ini:
Pertama, yang boleh membeli tiket hanyalah mereka yang tercatat sebagai pelanggan tiket terusan (season ticket). Ini untuk menghargai loyalitas, sekaligus mempermudah tracing karena data-datanya sudah tercatat dan valid.
Hanya sebagian kawasan tribun boleh diisi penonton. Itu pun dibagi-bagi dalam kelompok dua dan empat orang. Jadi kalau grupnya hanya tiga orang, mereka tetap harus membeli empat tiket. Kemudian, setiap orang harus menyerahkan lagi data pribadi yang valid. Termasuk nomor telepon dan lain-lain. Untuk mempermudah proses tracing setelah pertandingan.
Tiket hanya dijual dalam periode dua hari, seminggu sebelum pertandingan.
Di dalam stadion, semua dilarang membawa tas model apa pun. Selain alasan keamanan, juga untuk mempercepat proses pemeriksaan di pintu masuk. Di dalam stadion juga tidak berlaku transaksi tunai. Semua stan makanan menyediakan menu yang sama. Jadi orang tidak perlu jauh-jauh ke bagian lain untuk mendapatkan menu favorit. Penonton juga dilarang nongkrong di sekitar kawasan makan. Beli dengan kartu kredit atau cara non-tunai lain, lalu kembali ke tempat duduk masing-masing.
Sebelum masuk ke stadion, demi keselamatan semua, penonton harus menunjukkan bukti hasil tes negatif sebelum pertandingan. Tes dilakukan langsung oleh BioReference Laboratories, partner resmi NFL.
Setiap penonton wajib menjalani tes swab di Bills Stadium, 2-3 hari sebelum pertandingan. Hasil tes dari lokasi lain tidak akan diterima. Jadwal tes dan koordinasi dilakukan secara online.
Kalau tes menunjukkan pembeli positif, maka dia berhak melakukan refund. Uang pembelian tiketnya dikembalikan.
Nah, dengan batasan jumlah ekstrem, serta syarat tes, lalu berapa harga tiketnya? Seluruh pembaca yang budiman, inilah kunci dari semuanya. Kembali lagi ke urusan uang. Kembali lagi ke nilai dan skala ekonomi sebuah liga dan masyarakatnya.
Secara resmi, harga tidak beda dengan ketika masa normal sebelum pandemi. Antara USD 80 hingga 345 per tiket. Kalau mau parkir di kawasan stadion, ada tambahan biaya USD 11. Harga itu termasuk murah untuk menonton NFL. Asal tahu saja, USD 80 itu dapat tempat duduk jauh di ujung atas.
Harga itu, tentu saja, tidak termasuk biaya swab. Setiap penonton harus membayar ekstra USD 63 untuk tes di stadion. Ini sudah harga diskon khusus. Kalau dia dinyatakan positif, maka biaya tes ini tidak bisa di-refund.
Dengan struktur ini, untuk menonton di ujung atas stadion, seseorang harus membayar sedikitnya USD 143. Belum termasuk parkir dan makan-minum.
Suasana stadion Buffalo Bills.
Sekali lagi, itu bukan nilai ajaib untuk NFL. Kalau big match pun harga normalnya bisa segitu, tanpa tes Covid!
Demi menjadi saksi sejarah, orang tetap ingin mendukung Buffalo Bills. Dua pertandingan berlangsung lancar. Dua kali pula Bills menang. "Beban" pemerintah kota dan negara bagian pun terlewati.
Setelah dua pertandingan itu, Bills tidak akan lagi main di kandang. Babak final "wilayah" harus mereka jalani di Kansas City, melawan (tim favorit saya) Chiefs. Kalau menang lagi, maka mereka akan tampil di Super Bowl, di Tampa Bay, Florida.
Jadi, apa kesimpulannya? Olahraga, bagaimana pun, adalah bentuk hiburan. Masuk kategori tersier. Kuncinya sama dengan aspek lain kehidupan: Uang. Kalau business model-nya bagus, nilai dan skala ekonominya sepadan, menyelenggarakannya di tengah pandemi "bukanlah masalah."
Sangat beda bila di sebuah negara, tim olahraga profesionalnya tidak bisa mengandalkan pemasukan dari liga, dan harga tiketnya masih Rp 50 ribu atau lebih rendah. Kalau seperti itu, yang harus dibangun ya business model-nya dulu. Memaksakannya di tengah pandemi hanya akan menyeret semua stakeholder (termasuk pemerintah dan penontonnya) ke jurang yang lebih dalam lagi... (azrul ananda)