Duluuuu saya pernah menulis soal menyumbang. Sekarang mungkin waktunya diulang lagi. Apalagi sekarang sedang banyak bencana di Indonesia, dan saya melihat semakin banyak orang bikin program untuk sumbangan ini.
Sebelum saya menulis lebih lanjut, mohon disiapkan open mind-nya. Karena ada kemungkinan beberapa hal ini menyinggung perasaan. Apalagi kalau pemahaman dan sudut pandang kita berbeda. He he he...
Juga, beberapa hal ini duluuuu pernah saya singgung juga dalam tulisan Happy Wednesday ini. Entah nomor berapa, tahun berapa. Saya terus terang lupa. Tapi seperti film-film Disney, setelah sekian tahun banyak hal memang harus diulang kembali. He he he...
Dan karena contoh-contohnya baru, jadi ya anggap saja saya belum pernah menulisnya.
Oke. Menyumbang.
Beberapa hari lalu, saya melihat ada beberapa anak muda, sepertinya sudah SMA, berseragam Pramuka berdiri rapi dan sopan di sebuah perempatan ramai. Di sebuah kota dekat Surabaya.
Dengan sangat sopan, dan mengenakan masker demi menghormati protokol, mereka menyapa kendaraan-kendaraan yang berhenti di perempatan itu. Kebetulan, itu memang jalur ramai bagi orang Surabaya liburan ke luar kota.
Masing-masing memegang sebuah kotak kardus. Kotak donasi bagi yang ingin menyumbangkan uang, berapa pun, untuk kemudian disebarkan ke korban-korban bencana alam yang kini marak di Indonesia.
Sebuah tujuan yang mulia. Kita tidak boleh nyinyir dengan orang yang berniat mencari sumbangan untuk yang membutuhkan.
Yang saya pertanyakan adalah caranya. Di tulisan saya duluuuu, saya pernah mempertanyakan baik tidaknya meminta sumbangan dengan cara ini.
Waktu itu, yang saya pertanyakan adalah effort-nya. Kalau kita menyumbangkan uang, itu berarti kita sudah memberikan secara langsung. Pemberian kita akan bisa langsung bermanfaat. Kalau kita menyumbangkan waktu untuk berdiri di perempatan memegang kotak, meminta uang dari orang lain untuk kemudian disumbangkan kepada yang lain lagi, apakah itu effort yang baik?
Masak untuk mengumpulkan sumbangan kita harus berbuat seperti seperti itu di jalan?
Mohon maaf, saya ingat pengalaman waktu tinggal di negara maju. Di sana, kalau ada anak muda atau organisasi ingin mengumpulkan dana, yang dilakukan bukan sekadar berdiri di pinggir jalan minta uang.
Kalau memang tidak bisa menyumbangkan uang secara langsung, maka yang disumbangkan juga bukan sekadar waktu. Mereka juga menyumbangkan energi dan kerja fisik.
Contohnya seperti yang di banyak film. Bikin acara cuci mobil. Menyumbangkan tenaga dan waktu untuk mencuci mobil orang. Nantinya, uang pembayaran biaya cuci mobil itu (yang suka rela jumlahnya) yang disumbangkan kepada yang membutuhkan.
Jadi, yang menyumbang keluar uang, tapi dapat balasan servis berupa cuci mobil. Kemudian, yang mencari sumbangan memang tidak keluar uang, tapi keluar waktu dan tenaga untuk mencucikan mobil orang. Juga mungkin keluar sedikit uang untuk modal sabun dan alat cucinya.
Jadi benar-benar ada upaya yang disumbangkan.
Nah, saya ingat tulisan saya dulu. Waktu itu mempertanyakan pelajar perguruan tinggi (mahasiswa) yang mencari sumbangan dengan cara berdiri pegang kotak kardus di perempatan. Masak level mahasiswa hanya bisa berpikir cari uang dengan cara seperti itu?
Itu satu contoh. Beberapa hari lalu, ada lagi contoh yang berbeda.
Ada sekelompok orang penghobi sepeda melakukan kegiatan menggalang dana. Mereka akan gowes sekian ratus kilometer, lalu mengajak orang untuk menyumbang lewat mereka.
Niatnya tentu saya sangat suka. Effort-nya juga bukan kaleng-kaleng atau karbon-karbon. Pasti lebih capek daripada mencuci mobil orang.
Tapi... Ada tapinya.
Satu, apakah mereka yang gowes itu juga menyumbangkan uang pribadinya? Kalau iya. No problem. Kalau tidak, maka effort luar biasa yang mereka keluarkan patut dipertanyakan. Manfaatnya apa? Kalau untuk kesehatan mereka sendiri, gowes ratusan km kan sesuatu yang bisa dilakukan sendiri. Belum tentu bermanfaat untuk orang lain. Beda dengan mencuci mobil orang.
Kemudian, karena acara gowes "demi kemanusiaan" itu dipublikasikan dan banyak sponsornya, maka itu menimbulkan pertanyaan lanjutan. Apakah sponsornya juga menyumbangkan uang? Atau hanya mensponsori keperluan yang gowes ratusan km?
Kalau sponsornya juga menyumbangkan uang, no problem juga. Karena itu berarti yang bikin acara gowes bisa masuk kategori "menyumbang uang dan mengajak yang lain ikut menyumbang uang, sambil bikin acara asyik."
Kalau ternyata yang gowes tidak menyumbang uang, dan sponsornya juga tidak menyumbang uang, lalu apakah ini layak disebut sebagai acara menggalang dana yang sesungguhnya? Menggalang dana mungkin iya, asal bukan uang sendiri, dan yang bikin tetap dapat tenar plus sponsornya dapat promosi.
Dan nilai yang disumbangkan sponsor pun perlu dipertanyakan. Jangan-jangan, sponsor itu menyumbang karena itu cara lebih murah berpromosi daripada bayar iklan atau influencer sosmed (menyumbang Rp 10 juta pasang logo lebih murah daripada beriklan Rp 25 juta yang juga hanya dapat logo).
Wah, kalau sampai seperti itu, apakah itu sesuatu yang baik? Karena bisa dianggap mencari sensasi berkedok kemanusiaan...
Nah, kalau begitu, yang benar bagaimana dong? Saya kembalikan ke pembaca masing-masing. Agak berjalan di atas tali, antara berniat baik atau kegiatan berkedok. Apalagi urusan menyumbang itu urusan kita pribadi dengan yang membutuhkan, dengan saksi Yang di Atas sana. Kan tidak harus melulu dipromosikan atau disensasikan.
Atau, ikut cara saya yang asyik. Menyumbang tapi dengan mencari sensasi untuk entertainment pribadi. Saya sudah melakukannya beberapa kali.
Pada 2013, saya memberikan tantangan pada seorang teman dekat. Kebetulan orangnya agak bundar, rasanya butuh gowes lebih banyak dari yang dia lakukan secara rutin. Jadi waktu itu, saya menantang dia (Om Johnny Soefianus alias Johnpoo) untuk gowes 2.000 km dalam sebulan. Kalau dia berhasil, maka saya akan menyumbangkan Rp 50 juta untuk panti asuhan.
Dia menerima tantangan itu, sambil misuh-misuh sekaligus tertawa (entah ini melambangkan perasaan apa). Teman-teman banyak yang mendukung dan ikut menyumbang. Pada akhirnya, dia kalau tidak salah dapat Rp 150 juta. Lalu dia ngomel-ngomel (sambil tertawa juga), karena dia harus repot keliling ke banyak panti asuhan menyalurkan sumbangannya yang dia bentukkan barang bermanfaat.
Sebenarnya, kalau saya ingin menyumbang saja, memang tidak perlu sambil menantang dia gowes 2.000 km sebulan. Toh dia gowes atau tidak saya ya waktu itu niat menyumbang, wkwkwk. Cuman, saya melihat waktu itu ada opportunity untuk meng-entertaint diri sendiri. Sumbangan saya menghasilkan hiburan pribadi melihat teman saya sengsara setiap hari harus gowes puluhan kilometer. Wkwkwk...
Toh itu juga baik. Membuat teman saya tadi lebih kuat gowes dan badannya jadi lebih kurus. Bahwa dia kemudian membesar lagi ya urusan lain lagi. Dan sesengsara apa pun dia, tetap masih jauh lebih sengsara para korban bencana...
Trik menghibur diri yang sama saya lakukan akhir 2020 lalu. Menantang partner podcast saya, Johnny Ray, gowes 2.500 km sebulan. Waktu itu nilai sumbangan saya memang lebih sedikit, Rp 25 juta. Tapi banyak pihak dari berbagai penjuru Indonesia ikut menyumbang, sehingga jumlahnya jadi jauh lebih besar dari itu. Saya jadi senang lagi. Benar-benar dapat hiburan melihat teman sengsara minimal harus gowes 80 km sehari, setiap hari, selama sebulan!
Anyway, di tengah pandemi yang seolah entah sampai kapan ini, berbagai bencana menerpa negara kita. Terima kasih kepada pihak-pihak yang terketuk hatinya untuk memberikan sumbangan kepada mereka yang membutuhkan.
Bagi yang tidak bisa memberikan sumbangan langsung berupa uang atau barang, mungkin ini pula masa-masa untuk berpikir kreatif, melakukan sesuatu yang benar-benar nyata manfaatnya untuk orang lain juga. Bukan sekadar berbuat dan mencari sensasi, apalagi berpromosi... (azrul ananda)