Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un...
Beberapa hari lalu, ketika mendapat kabar Mas Yuyung Abdi harus dirawat di ICU-Covid RS Unair Surabaya, hati saya sudah tidak enak. Tapi kemudian ada kabar kalau kondisinya membaik. Seperti grafis sinus-cosinus, kabar terburuk kemudian muncul Selasa pagi kemarin (16 Februari).
Mas Yuyung meninggal dunia pukul 09.00 WIB.
Saya langsung berbincang dengan istri saya. Karena bagi kami, Mas Yuyung bukan sekadar seorang fotografer hebat. Salah satu yang terbaik yang pernah saya kenal, dan saya bangga pernah bertahun-tahun bekerja langsung satu tim dengannya.
Bagi saya dan istri, Mas Yuyung itu saksi kunci. Saksi saat kami kali pertama bertemu pada 2000 lalu.
Waktu itu, saya baru beberapa bulan pulang kuliah. Masih "setengah bekerja" di kantor orang tua, mengerjakan halaman anak muda bernama DetEksi. Istri saya, yang waktu itu baru saja menjadi finalis Gadis Sampul, diundang ke kantor untuk diwawancara dan difoto.
Tentu saja, kami kenalan waktu itu. Mas Yuyung termasuk yang menggoda, supaya saya "membayar" sesi pemotretan itu dengan makan-makan di kafe di kantor, yang terletak di lantai enam.
Kami pun kenalan. Walau tidak langsung jadian dan baru benar-benar pacaran --dan menikah-- beberapa tahun kemudian, segalanya dimulai pada hari itu.
Mas Yuyung adalah saksi kunci.
Setelah mendapat kabar Mas Yuyung pergi, saya juga langsung menuju ke salah satu meja kecil di kamar. Di atasnya ada foto yang di-frame oleh istri saya. Itu foto termasuk paling penting dari koleksi yang kami punya. Itu foto pertama kami berdua, masih tahun 2000, waktu menghadiri sebuah acara nonton bareng balap Formula 1.
Foto itu, yang memotret, adalah Mas Yuyung.
Saya masih kurus, masih agak nge-punk. Rambut sudah tidak lagi warna-warni, tapi masih pakai anting kecil di telinga kiri dan mengenakan lensa kontak warna biru. Istri saya masih berambut lurus panjang.
Tidak terasa, itu lebih dari 20 tahun lalu...
Saya jadi lebih kenal Mas Yuyung waktu "makin serius" mengerjakan koran. Waktu dipindah jadi redaktur lembaran Metropolis, waktu itu berisikan tiga halaman meliput segala dinamika kota Surabaya dan sekitarnya. Mulai politik, kriminalitas, lifestyle, dan lain sebagainya.
Selain saya, tim redakturnya waktu itu ada Mas Kurniawan Muhammad, Imam Syafi'i, dan almarhum Mas Arif Santosa. Fotografer andalannya hanya satu, Mas Yuyung Abdi.
Mungkin karena background saya belajar bikin koran di Amerika, setiap sore saya selalu merancang halaman dari visualnya dulu. Apa foto utamanya? Apakah foto utama itu juga berita utama? Kalau bukan, lalu apa berita utamanya? Dari situ lantas halaman ditata.
Mas Yuyung jadi sangat penting perannya. Karena kalau dia tidak punya foto istimewa, maka sore dan malam itu kita harus kerja lebih keras untuk memastikan halamannya istimewa.
Alhamdulillah, dari awal saya merasa langsung "satu frekuensi" dengan Mas Yuyung. Dia paham betul apa yang saya harapkan. Tanpa saya minta, dia langsung bisa memberi bahan diskusi. Foto vertikal, foto horisontal, foto kotak, atau foto di-crop bentuk (kami menyebutnya "dihewes-hewes"). Kadang, sebelum dia datang dia sudah mengabari fotonya bakal seperti apa. Jadi menghemat waktu kami untuk merancang halaman sedini mungkin.
Kalau Mas Yuyung libur, baru kami agak pusing.
Kalau pun dia tidak libur, dan hari itu sedang "sepi momen dan situasi" yang bisa difoto bagus, dia sudah bisa membaca pikiran saya. Ada satu momen yang saya ingat betul sampai sekarang. Di mana dua orang sepemikiran bisa saling menyandarkan diri pada satu sama lain untuk menghasilkan halaman koran yang kreatif dan unik.
Hari itu, benar-benar tidak ada "berita besar." Tidak ada pula momen bagus atau situasi bagus yang layak jadi foto utama. Kadang, hari-hari seperti itu terjadi...
Nah, hari itu, Mas Yuyung punya satu foto. Tapi itu foto artistik, foto yang dia ambil untuk memuaskan hatinya sebagai seorang fotografer. Yang kadang tidak ingin terkekang oleh tuntutan "news."
Fotonya adalah beberapa kupu-kupu indah di kawasan pembangunan Jembatan Suramadu. Redaktur koran lain pasti akan menolak foto itu. Karena "tidak ada beritanya."
Mas Yuyung tahu betul saya pasti bisa "bermain-main" dengan foto itu, menjadikannya "sesuatu." Akhirnya, saya membuat keputusan cepat. Foto kupu-kupu itu saya jadikan foto utama. Terus terang saya agak tersentuh oleh foto tersebut. Saya pun membuatkan naskah pendek agak puitis di sebelahnya, berjudul Kupu-Kupu Suramadu.
Besoknya, tampilan halaman itu jadi indah. Mungkin bukan berita murni, tapi sesuatu yang bisa membuat orang lebih melek dan apresiatif pada "seni membuat koran." Bahwa halaman tidak harus melulu berisikan berita-berita yang "keras."
Selama saya bekerja dengan Mas Yuyung, ada begitu banyak momen bersejarah dia rekam untuk kota Surabaya. Bagaimana problem kaki lima dan bangunan liar dibersihkan di kota ini. Bagaimana Surabaya mendapatkan wali kota hebat pertamanya, Mas Bambang DH, yang membantu membersihkan segala masalah kota waktu itu.
Mas Yuyung pula yang dengan kreatif memotret Bu Risma di atas Taman Bungkul, menggunakan truk pemkot. Waktu itu Bu Risma masih menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Tim Metropolis kami menobatkannya sebagai tokoh terbaik waktu itu. Momen itulah yang mungkin mendorong Bu Risma menjadi seperti sekarang.
Mas Yuyung ketika melakukan sesi pemotretan Bu Risma dan Mas Whisnu Sakti Buana saat keduanya menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya.
Tentu saja, masih banyak lagi foto-foto bersejarah yang dihasilkan Mas Yuyung. Banyak pula ide foto-foto seru yang kami hasilkan bersama. Dan foto-foto itu banyak yang mengena, karena Mas Yuyung memang punya sudut pandang agak usil. Dan memang, selama saya kenal dia, orangnya memang usil!
Jujur, saya sudah lama tidak bertemu Mas Yuyung. Praktis sejak saya tidak lagi aktif bekerja di media. Tapi Mas Yuyung akan selalu menjadi bagian dari sejarah keluarga saya.
Abah Dahlan Iskan ketika menjadi penguji eksternal dalam ujian doktor Mas Yuyung pada 2016 silam.
Bagaimanapun, dia saksi kunci bagi saya dan istri. Foto pertama kami berdua itu sudah bertahun-tahun kami taruh di kamar, mau tidak mau setiap hari pasti kami lihat.
Selamat jalan Mas Yuyung, terima kasih sudah jadi "kompor" keluarga kami... (azrul ananda)
Foto-Foto: Facebook Mas Yuyung