Sejak SMP, salah satu impian saya adalah menjadi penulis dan komentator Formula 1. Sejak kali pertama menyukai balap itu gara-gara merakit model kit Tamiya, ada beberapa "suara" yang menjadi idola saya menuju ke sana.
Dalam hal menulis, ada Nigel Roebuck dan Peter Windsor. Tulisan keduanya selalu saya buru. Walau di era belum ada internet. Mereka bukan hanya menulis tentang hasil lomba, mereka juga mampu menyampaikan sisi manusianya.
Salah satu kutipan kondang Windsor saya tempel di dinding kamar waktu kuliah: "Some kids want to become racing driver. Me? I just want to write..."
Nigel Roebuck sekarang sudah tidak lagi aktif. Peter Windsor pernah aktif bekerja di F1 sebagai manager tim (Williams), pernah mencoba bikin tim sendiri (USF1), dan sekarang punya vlog sendiri di YouTube.
Kalau di Indonesia, penulis idola saya dulu adalah Arif Kurniawan, sejak masih di Tabloid Bola. Di Indonesia tidak ada musuhnya, dan salah satu cita-cita saya dulu adalah mengalahkan dia. He he he...
Itu untuk dibaca. Dalam hal belajar lewat mendengar, ada satu suara yang menjadi inspirasi saya sekaligus jutaan orang di berbagai penjuru dunia. Yaitu suara seorang Murray Walker. Ia puluhan tahun menjadi komentator utama F1, pensiun pada 2001. Sejak zaman Juan Manuel Fangio pada 1950-an hingga penghujung puncak persaingan Michael Schumacher-Mika Hakkinen pada 2001.
Kabar sedih itu saya terima (dan diterima jutaan penggemar F1) pada akhir pekan lalu. Pada Sabtu, 13 Maret, Walker meninggal dunia. Di usia 97 tahun...
Berita kepergian Walker itu mampu menyaingi kehebohan weekend uji coba pertama F1 2021, yang berlangsung di Bahrain, 12-14 Maret. Bagaimana pun, Walker adalah sosok kunci perkembangan seri balap itu menjadi salah satu ajang terbesar di dunia.
Baliho penghormatan Murray Walker di Bahrain International Circuit.
Bagi banyak orang, dialah "suara resmi" Formula 1. Suaranya mengisi mayoritas tayangan F1 di dunia, suaranya mengisi game-game F1 di PlayStation dan platform lain.
Suaranya memang khas. Melengking tinggi penuh antusiasme. Mengimbangi tingginya lengkingan mesin-mesin F1 di era emas. Semangat rasanya menonton kalau dia yang membantu menjelaskan apa yang terjadi di lintasan.
Dan Murray bukan sekadar berkomentar. Murray memberi "nyawa" pada segala yang terjadi di lintasan. Karena balapan memang passion utama hidupnya. Ayahnya dulu pembalap motor sebelum era kejuaraan dunia. Ia dulu pembalap motor. Ia mengomentari balapan apa saja, bukan hanya F1.
Kemampuannya mengolah kata-kata, mungkin berkat latar belakangnya di industri periklanan. Pekerjaan hariannya memang membuat slogan-slogan iklan untuk berbagai produk.
Saya memang tidak muda, tapi saya dulu terlalu muda untuk mengapresiasi puncak karir seorang Murray Walker. Ketika saya mulai aktif liputan F1 ke sirkuit sejak 2000, Murray sudah bersiap pensiun. Tapi, semua tahu, di paddock sirkuit, semua orang menghormati seorang Murray Walker. Ia tidak punya musuh, Ia memperlakukan semua sama. Mulai dari petugas sirkuit biasa sampai bos utama F1 era itu, Bernie Ecclestone.
Katanya, Murray belajar memperlakukan semua orang setara karena pengalamannya sebagai veteran perang. Pada Perang Dunia II, Murray memang ikut bertempur di Eropa. Ia mengemudikan tank di medan pertempuran.
Walau antusias dan jenius dalam berkomunikasi, Murray juga dikenal gara-gara sering "selip lidah." Kata beberapa orang, kalau Murray itu ikut balapan, ia mungkin termasuk sering melintir. Tapi, selip lidahnya khas. Selip lidahnya itu yang menjadikannya seorang Murray Walker. Sampai muncul istilah khas: "Murrayism."
Orang memaklumi dan tidak menghujat Murray saat dia selip lidah. Karena orang akan sangat merasakan, ia "terpeleset" karena terlalu antusias, terlalu cinta, terhadap apa yang ia lihat dan ingin ia sampaikan.
Misalnya: "Ada api berkobar di belakang mobil!"
Komentator rekannya akan menimpali santai: "Itu lampu belakang yang menyala Murray!"
Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar apa saja Murrayism itu. Anda bisa menggugel sendiri, mencari sendiri di YouTube. Silakan cari, lumayan menghibur. Saya yakin, Anda bisa ikut jatuh cinta padanya! Antusiasme yang begitu tinggi memang sangat menular!
Catatan khusus: Murray tidak mau duduk saat mengomentari lomba. Ia memilih selalu berdiri agar bisa lebih berekspresi.
Begitu membaca kabar kepergian Murray Walker, saya langsung membuka map koleksi khusus saya. Map itu berisikan foto-foto dan tanda tangan dari pembalap atau sosok F1 yang saya temui selama puluhan tahun.
Di situ, ada foto saya bersama Murray Walker saat meliput sebuah acara resmi F1 di sekitar Grand Prix Malaysia, di penghujung 2000. Itu bulan-bulan terakhirnya bekerja full time meliput F1. Usianya waktu itu sudah 78 tahun, tapi ia masih begitu energik dan antusias. Dan benar kata orang-orang, ia akan dengan ramah melayani ngobrol dengan siapa saja. Lihat saja foto bersama saya itu, senyumnya begitu tulus, matanya begitu menyala.
Dengan ramah, Murray menandatangani secorek kertas yang saya sodorkan. Sebuah print out tanda terima ID liputan resmi F1. "To Azrul, Murray Walker."
Saya bersyukur, pada akhirnya saya memang bisa menjadi salah satu peliput utama F1 dari Indonesia. Saya bersyukur, pada akhirnya saya bisa menjadi komentator F1 selama bertahun-tahun di sejumlah TV. Bahkan sempat ditawari jadi komentator di stasiun kabel di luar negeri, yang saya tolak karena saya tidak mungkin tiap pekan/dua pekan terbang ke sana untuk bekerja.
Dalam hal menulis, inspirasi saya memang ada beberapa. Tapi untuk bisa terus bersemangat bicara soal F1, dan semakin belajar tentang pentingnya antusiasme, itu karena suara Murray Walker yang sudah saya dengar sejak kecil.
Dalam beberapa tahun terakhir, F1 memang sudah kehilangan suara mesin yang melengking tinggi. Tapi itu tidak ada apa-apanya dengan hilangnya suara seorang Murray Walker.(Azrul Ananda)
Buat para penggemar Formula 1, ada tayangan baru dari DBL Entertainment. Azrul Ananda yang sempat belasan tahun menjadi komentator F1 di TV kini hadir lewat podcast-nya di channel Youtube Mainbalap. Ia bersama sahabat lamanya Dewo Pratomo bakal rutin mengulas preview dan hasil balapan. Ini episode pertamanya: