Anjuran masker di depan sebuah restoran di Austin, Texas.
Hidup tanpa masker. Bukan mimpi. Saya sudah merasakannya selama hampir tiga pekan di Amerika. Hebatnya, saya merasa aman, merasa nyaman. Karena yang bermasker dan tidak bermasker bisa hidup berdampingan, saling menjaga. Menggunakan common sense. Yang kalau di-Google translate keluarnya "Akal sehat."
Ini bukan sekadar saling percaya. Ini saling menjaga. Pada level masyarakat yang lebih tinggi. Ada masyarakat yang harus ditegasi dengan aturan ketat, dengan pengawalan aturan ketat. Ada masyarakat yang cukup diberi aturan dan anjuran, lalu masyarakat itu menerapkannya sendiri sambil tetap menjaga. Yang kedua itu sudah level hidup yang berbeda.
Selama hampir tiga pekan itu, kami memang berada di tengah Amerika. Menyinggahi kota-kota yang berada di negara bagian "Merah." Maksudnya, merah memilih Partai Republik (yang Demokrat biru). Sudah bukan rahasia, ini negara-negara bagian yang "paling tidak nurut" soal penanggulangan pandemi. Apalagi ini negara-negara bagian yang pro mantan presiden yang selalu bikin geleng kepala itu, Donald Trump.
Kami mendarat di Texas, lalu nyetir ke Arkansas melewati Oklahoma. Lalu stay lagi di Kansas, sebelum turun lagi ke Texas lewat Oklahoma. Semua negara bagian Merah.
Sejak di Texas, kami sudah mengalami culture shock. Kami justru jadi yang aneh karena selalu memakai masker.
Sudah pernah saya tulis (Happy Wednesday #140: Rekor Keluar Bandara) kalau turun di Amerika tidak perlu karantina. Bebas langsung keluar bandara. Kebetulan, pekan ketiga Mei itu adalah "masa kebebasan baru" di sana. Pemerintah pusat baru saja mengeluarkan anjuran baru tentang pengenaan masker. Bahwa kalau sudah divaksinasi, maka tidak perlu lagi bermasker. Sistemnya kepercayaan. Tidak perlu menunjukkan bukti apa-apa.
Tentu saja, di tempat-tempat makan, semua memasang tulisan di depan. Dianjurkan mengenakan masker. Tapi kalau sudah divaksinasi, tidak perlu. Ketika duduk makan, silakan tidak bermasker. Semua pelayan rata-rata bermasker. Walau ada juga yang tidak memperbolehkan makan di dalam, harus di meja-meja yang ada di luar (terbuka).
Setiap bisnis memang diberikan kebebasan menerapkan kebijakan sendiri. Boleh memaksa customer bermasker, boleh membebaskan sesuai anjuran pemerintah pusat (CDC, Central For Disease Control and Prevention).
Pada hari pertama di Houston, kami sempat mampir ke NASA. Mumpung di sana. Kami kaget juga, banyak pengunjung tidak bermasker. Petugas di depan antrean loket dan masuk memang bermasker, dan terus berkomunikasi dengan pengunjung yang baru datang.
"Anak-anak di bawah 18 tahun wajib bermasker. Orang tua optional," kata petugasnya.
Selama tur itu, pada beberapa lokasi masker wajib dipasang. Misalnya saat naik tram untuk tur keliling, juga saat masuk ke gedung-gedung NASA. Menurut aturan, kalau masuk gedung pemerintah federal, memang wajib bermasker. Tidak ada yang mengomel. Kalau wajib, ya pakai. Kalau tidak, ya terserah masing-masing.
Cairan disinfektan tersedia di mana-mana. Seperti di sini.
Wajib bermasker di NASA, Houston.
Sekali lagi, kami sama sekali tidak merasa kalau ini sembrono. Malah ada tempat-tempat yang membuat kami takjub. Misalnya saat kami masuk ke sebuah toko sepeda di Lawrence, Kansas.
Seperti biasa, kami selalu pakai masker dulu saat masuk ke suatu tempat. Setelah itu fleksibel melihat situasi di dalamnya. Ketika masuk toko itu, yang menjaga mendatangi kami. Perempuan. Dia tidak bermasker. Saat menyapa, dia bilang begini: "Mohon maaf, kalau Anda semua merasa lebih nyaman bila saya bermasker, maka saya akan mengenakan masker."
Mendengar itu, kami malah tenang. Kami bilang no problem, dan justru kami yang melepas masker. Wkwkwk...
Soal mengenakan masker, benar-benar menggunakan common sense. Bahkan ada saling menoleransinya...
Contoh anjuran masker di depan kafe milik Lance Armstrong di Austin, Texas.
Yang saya paling nervous, tentu saja, saat mengunjungi ayah dan ibu angkat saya waktu SMA di Kansas dulu. John dan Chris Mohn sekarang tinggal di Lawrence itu. Sebenarnya, kami akan menginap di rumah mereka. Namun, demi menjaga satu sama lain, kami memutuskan menginap di hotel saja. Hanya berkunjung ke mereka untuk makan siang dan makan malam.
Pagi agak siang itu, begitu sampai di rumah mereka, di kawasan perbukitan di Lawrence, kami langsung disambut di depan pintu. Senang rasanya. Sudah lima tahun saya tidak bertemu langsung dengan mereka. Dua orang yang dulu mau menampung seorang remaja kurus asal Surabaya, tinggal dan sekolah SMA bersama mereka.
Begitu bertemu, saya sempat ragu. Harus menyapa bagaimana. Rasanya tidak mungkin memeluk seperti dulu. Apakah cukup jabat tangan, atau jangan-jangan hanya cukup menundukkan badan tanda hormat?
Tanpa disangka, Chris justru maju duluan.
"Ke sini kamu. Jangan khawatir. Kami sudah divaksin," ucapnya lantas memeluk saya erat-erat.
Setelah itu, John yang mendekat dan memeluk saya erat-erat.
Bersama John dan Chris Mohn di Lawrence, Kansas.
Kami pun diberi tur rumah mereka sejenak. Saya memang belum pernah ke situ, karena mereka baru membelinya awal 2020 lalu. Setelah itu, kami sama-sama keluar untuk makan siang, ke sebuah restoran Mexico. John dan Chris mengajak dua cucu kecil mereka, anak dari Andrea, kakak angkat saya dulu waktu SMA.
Menurut Chris, ini adalah kali pertama mereka makan di luar rumah sejak pandemi menerpa. Waduh, saya merasa khawatir lagi. Tapi mereka tetap santai dan bilang jangan khawatir!
Saat masuk ke restoran, kami semua bermasker. Chris terus mengingatkan kedua cucunya untuk bermasker. Baru ketika akan makan, kedua cucu diperbolehkan melepas masker. Setelah makan, pakai masker lagi.
Jadi soal masker ini benar-benar soal common sense. Percaya pada science dan anjuran pemerintah, tapi tidak sembrono.
Selama sebulan terakhir, Amerika memang makin normal. Event-event olahraga sudah berlangsung hampir normal. Pertandingan-pertandingan playoff NBA sudah pakai penonton, bahkan sudah boleh bikin nonton bareng ramai-ramai. Acara-acara kemasyarakatan sudah dibebaskan. Saling percaya, kalau sudah divaksin maka bebas tak bermasker.
Fans Phoenix Suns menyaksikan timnya berhadapan dengan Los Angeles Lakers di game kedua babak pertama playoff NBA. Di laga itu 11.919 penonton hadir di Phoenix Suns Arena.
Bahkan, pada akhir Mei lalu, diselenggarakan ajang balap mobil terbesar di dunia, Indy 500, di Indianapolis Motor Speedway. Penontonnya? Sebanyak 135 ribu orang! Itu adalah event dengan penonton terbanyak sejak pandemi melanda dunia!
Kami sendiri datang untuk ikut ajang balap sepeda gravel terbesar dunia, Unbound Gravel di Emporia, Kansas. Anjurannya sama. Kalau masuk gedung atau ruangan, tolong pakai masker. Saat di tempat start, harus siap masker atau buff atau bandana. Setelah lomba dimulai, bebas kebijakan masing-masing.
Panitia ada yang bermasker, banyak yang tidak. Asumsinya, yang tidak itu adalah mereka yang sudah divaksin.
Lama-lama, kami pun terbiasa. Kebetulan kelompok kami juga sudah divaksin sebelum ke Amerika. Jadi dalam hati merasa lebih percaya diri.
Dan di Amerika tingkat vaksinasinya memang sudah sangat tinggi. Menurut data terakhir sebelum naskah ini ditulis, sebanyak 43 persen dari total populasi sudah divaksin penuh. Itu lebih dari 140 juta orang. Separo lebih sudah disuntik minimal satu kali (bagi yang vaksinnya harus dua kali). Untuk populasi berusia di atas 18 tahun, sudah 54 persen divaksin. Lalu sebanyak 64 persen sudah disuntik minimal satu kali.
Data pandemi per 13 Juni dari New York Times.
Di Amerika sekarang, vaksinasi sudah dibuka untuk anak-anak usia 12 tahun ke atas. Jadi jumlah di atas akan terus berkembang dengan cepat. Apalagi vaksin begitu mudah didapat, gratis dan nyaris tanpa birokrasi.
Anda cukup datang ke apotek-apotek umum atau supermarket besar, isi form sedikit, lalu langsung disuntik di tempat. Tidak ada antre, tidak ada birokrasi panjang. Malah, di beberapa tempat, setelah disuntik malah dikasih voucher potongan belanja!
Penawaran vaksinasi gratis di sebuah Walmart di Kansas.
Tidak ada prosedur yang bikin ribet, apalagi menakut-nakuti. Semua dibuat seolah biasa-biasa saja. Tidak ada yang perlu dihebohkan atau digaduhkan. Datang, suntik, suruh tunggu 15 menit. Kalau aman, pulang. Beres. Begitu saja. Biasa saja.
Semakin sedikit kegaduhan, kehebohan, dan semakin sedikit birokrasinya, tentu berujung semakin sedikit pula biayanya bukan?
Anjuran tidak perlu bermasker bagi yang sudah divaksin, tampaknya, adalah upaya untuk mendorong semakin cepatnya proses vaksinasi ini. Sehingga bisa mencapai angka 80 persen, yang dianggap sebagai angka "herd immunity."
Melihat betapa mudahnya itu semua, saya tidak akan heran kalau hidup normal akan segera didapat di sana. Tapi saya mungkin saja bisa salah...
Plus, melihat dunia yang sudah "normal" itu, saya jadi ingat tulisan lamaaaa saya dulu, soal pelayan "read and react." Tidak semua masyarakat bisa seperti di Amerika ini. Dan akan jadi pertanyaan besar apakah masyarakat kita bisa diperlakukan seperti itu.
Soal pelayan itu begini:
Kalau kita pergi ke restoran atau depot, kemungkinan kita akan bertemu dengan tiga tipe pelayan. Satu, tipe yang "robot" dan sesuai protokol saklek. Kita memesan, dia mencatat, lalu dia membaca ulang memastikan tidak ada yang salah. Kadang dengan ucapan atau respons yang sudah di-SOP kan. Misalnya: "Pilihan yang baik." Atau, "Pesanan Anda akan datang dalam waktu kurang lebih 15 menit." Tidak banyak beda dengan pesan pakai layar atau kepada robot. Malah kesannya pura-pura sopan dan baik.
Lalu, di sisi ekstrem lain, ada pelayan tipe sangat sesukanya. Tidak perlu senyum. Tidak perlu mencatat. Kalau ada yang salah ya sudah. Emang gue pikirin. Emang ini restoran gue. Kamu rewel ya sudah. Ini tentu tipe yang menyebalkan.
Nah, pelayan tipe terbaik menurut saya, adalah tipe "read and react." Mungkin, dia sudah sangat berpengalaman. Sehingga dia bisa menjadi pelayan yang next level. Dia kadang tidak perlu mencatat, karena dia punya kapasitas lebih untuk mengingat semua pesanan. Bahkan, dia bisa menyarankan menu khusus untuk tamu yang datang. Dia tahu bagaimana harus tersenyum, bagaimana harus merespons pertanyaan, dan benar-benar jadi ujung tombak restoran tersebut. Malahan, dia bisa membantu menambah omzet, karena dia bisa membaca situasi dan menganjurkan tamu untuk pesan lebih.
Dia bisa membaca situasi (read), lalu bertindak (react) untuk lebih menyenangkan dan memuaskan customer, sekaligus menambah omzet restorannya.
Pelayan tipe robot pasti tidak bisa bgitu. Pelayan tipe sesukanya apalagi.
Suatu masyarakat rasanya juga mungkin sama. Ada yang memang harus diberi aturan ketat, dan kemudian diawasi ketat aturannya. Ada juga yang tidak diberi aturan ketat, dan kemudian semakin sesukanya. Yang paling cilaka mungkin: Ada aturan ketat, tapi kemudian tidak diawasi penerapannya, atau bahkan hanya pura-pura diterapkan...
Kalau memang Amerika nantinya duluan normal, berarti masyarakat yang "menang" adalah masyarakat yang sudah bisa diajak "read and react" tersebut. Tidak perlu diketati, tahu sendiri harus bagaimana. Memang tidak sempurna, pasti ada masalah di sana-sini, tapi secara umum tahu harus bagaimana.
Dan ini perlu digarisbawahi: Kalau bisa begitu, maka YANG MENANG adalah MASYARAKATNYA. Bukan negaranya... (Azrul Ananda)
---
Catatan Tambahan: Vaksinasi bukan berarti tidak bisa tertular. Pemahaman ini juga dipegang oleh masyarakat di Amerika. Yang paling harus dipahami adalah ini: Dengan vaksinasi, risiko kematian atau dampak parah dari Covid-19 bisa dihindari atau sangat diminimalisir. Kalau itu gejala lebih ringan, rasanya kita harus siap menerimanya sampai entah kapan, seperti layaknya flu biasa. Tapi sudah tidak lagi dihebohkan, tidak lagi digaduhkan.
Foto-Foto: Dokumentasi Pribadi - AFP - IndyStar