Kalau ada kesempatan, apalagi gratis, kenapa harus ditolak? Terus terang, saya cukup sedih juga melihat banyak orang menolak vaksinasi, apa pun alasannya. Buat saya, vaksinasi itu seperti nothing to lose. Sejauh ini, setelah hampir 1,5 tahun, hanya itu jalan menuju akhir dari pandemi ini.
Walaupun setelah divaksinasi orang tetap bisa terinfeksi, saya tetap melihat itu sebagai jalannya. Dan saya tetap menulis itu walau saya pun dinyatakan positif mendekati akhir pekan lalu (swab PCR Kamis sore, hasil Jumat siang, 24-25 Juni). Padahal, saya beberapa bulan lalu sudah dua kali suntik vaksin di Indonesia (Sinovac). Lalu, ketika akan pulang dari Amerika baru-baru ini, saya menambah suntik lagi vaksin Johnson & Johnson (Baca juga:Vaksin Berpikir Simple).
Begitu dapat hasil positif, saya langsung menghitung mundur semuanya. Dari mana? Kok bisa?
Ironisnya, Jumat itu sebenarnya saya janjian dengan teman dokter. Saya akan mengecek antibodi, penasaran dengan hasil vaksin tambahan dua pekan sebelumnya. Pernah saya tulis sebelumnya, usai dua kali vaksinasi di Indonesia sebelumnya, lebih dari sebulan kemudian antibodi saya hanyalah 15. Keluarga saya yang lain lebih tinggi. Karena itulah saya konsultasi dengan beberapa teman dokter, dan menambahkan suntikan mumpung sedang di Amerika.
Secara resmi, kalau dari Amerika, saya seharusnya sudah dianggap fully vaccinated dua pekan setelah tambahan Johnson & Johnson itu. Kalau saya dinyatakan positif menjelang akhir pekan, maka bisa jadi saya terekspose beberapa hari sebelumnya. Dan itu bisa masuk "window" (masa waktu) tanggung, sebelum dua pekan disuntik vaksin di Amerika.
Perlu saya tegaskan, dalam tiga pekan terakhir, saya menjalani begitu banyak swab. Sebelum pulang Amerika swab PCR. Begitu mendarat di Surabaya swab PCR. Setelah karantina lima hari swab PCR lagi. Semua negatif. Itu tiga kali PCR dalam tujuh hari.
Tentu saja, sejumlah jadwal padat menanti. Meeting-meeting, ketemu-ketemu orang, dan beberapa program acara lain.
Akhir pekan terakhir, saya bersama beberapa sahabat gowes dan staf kantor melakukan simulasi acara gowes ke Kediri. Total 260 km dalam dua hari. Sabtu dan Minggu. Hanya 14 cyclist, hanya yang kenal yang boleh ikut. Kami praktis bersama terus. Saling mengingatkan pakai masker ketika berhenti istirahat, bahkan marshal memberikan masker kalau ada dari kami yang sempat lupa.
Balik dari Kediri, saya Senin pagi-pagi sudah terbang ke Jakarta. Hasil swab antigen saya negatif. Senin malam itu, saya langsung balik ke Surabaya. Saya bercanda ke teman-teman: Gile bandara lumayan ramai...
Selasanya, di Surabaya, masih ada acara-acara lagi. Termasuk melihat latihan bersama Persebaya melawan klub Liga 2 PS HW di lapangan Polda Jatim.
Tidak ada tanda-tanda apa-apa. Tidak ada gejala apa-apa. Kamisnya, saya dikabari kalau ada teman yang demam setelah dari Kediri. Hari itu, walau tidak ada gejala apa-apa, saya mengecekkan diri. Hasil swab antigen reaktif, dan sorenya saya segera swab PCR. Jumat siang, hasilnya keluar. Saya positif dengan nilai CT 17. Relatif baru.
Sejak Kamis sore itu saya sudah isolasi mandiri di rumah. Terpisah dari keluarga yang lain. Seluruh isi rumah saya swab PCR semua. Istri, tiga anak, asisten rumah tangga, dan driver. Alhamdulillah, semua negatif. Padahal, istri saya juga ikut acara gowes di Kediri itu, dan selalu bersama saya. Keluarga besar juga swab semua. Alhamdulillah, negatif semua.
Hanya saya.
Jujur, hingga Selasa kemarin (29/6), saya praktis tanpa gejala. Abah saya, yang beberapa bulan lalu pernah positif juga, terus menggoda. "Bagaimana cara kamu melawan bosan?"
Saya bilang, ada teknologi. Meeting masih bisa online. Syuting podcast Mainbalap Senin lalu (28/6) bersama Mas Dewo Pratomo juga masih bisa secara virtual. Anda bisa lihat videonya, saya masih merasa fresh seperti biasa.
Syuting podcast Mainbalap secara virtual Senin (28/6).
Bukan hanya itu, saya juga masih bisa latihan gowes virtual. Ada aplikasi seperti Zwift. Sepeda saya ditancapkan smart trainer, lalu saya gowes virtual. Jumat lalu (usai dapat hasil positif) saya gowes 70 km. Sabtunya 80 km. Minggunya 100 km bersama teman-teman dari berbagai kota (juga istri, yang gowes virtual terpisah di taman belakang).
No problem.
Minggu (27/6), masih ikut gowes virtual bareng teman-teman dan istri sejauh 100 km.
Karena saya dianggap tidak apa-apa, tidak menunjukkan gejala apa-apa, beberapa teman menyarankan saya swab PCR lagi. Jangan-jangan false positive. Senin pagi (28/6), saya swab lagi di tempat berbeda. Saya berangkat sendiri. Nyetir sendiri. Swab-nya kan drive thru. Sorenya, hasil keluar. Masih positif. Dengan nilai CT 22,37. Kata teman dokter, berarti sudah di jalan yang benar menuju recovery.
Saya sudah menghubungi semua pihak yang ada kemungkinan terekspose dengan saya dalam sepekan terakhir.
Saya sendiri tentunya akan terus karantina mandiri. Rencana akan swab lagi seminggu setelah positif pertama. Penasaran dengan angka CT-nya nanti.
Saya bersyukur, sejauh ini saya relatif tanpa gejala. Cuaca sedang tidak enak, panas hujan bergantian di Surabaya. Hidung kiri saya sempat agak buntu, tapi rasanya itu karena sinus yang memang sering kambuh kalau cuaca sedang seperti itu (dulu pernah dioperasi).
Saya tidak minum obat aneh-aneh. Hanya disarankan Vitamin C 1000, Vitamin D 5000, Zinc, dan makan yang banyak sekali (yang jadi gurauan di kalangan teman gowes, yang selama ini sering adu kurus).
Kembali soal vaksin. Ya, saya sudah suntik vaksin tiga kali. Yang dua pertama antibodi saya tidak terbentuk. Yang ketiga dari Amerika mungkin belum teruji, karena saya sudah terekspose sebelum masa dua pekan. Jadi, sulit mengambil kesimpulan dari kasus saya ini.
Sebagai catatan, seorang teman saya yang juga suntik tambahan di Amerika, sampai hari ini sudah dua kali swab dan masih negatif. Padahal, waktu gowes ke Kediri, teman sekamarnya kini positif. Saya bercanda, dia dan saya disuntik pada hari yang sama di Amerika. Tapi dia makan lebih banyak. Dan mungkin saya lebih kelelahan, karena besoknya langsung ke Jakarta dan disambung jadwal padat.
Dan mungkin, karena divaksin di Amerika itu, saya sekarang menjalani isolasi mandiri relatif tanpa gejala. Mungkin kalau saya tidak divaksin tambahan, kondisi saya mungkin beda dan saya tidak bisa menulis sepanjang ini. Yang pasti, teman saya yang bergejala adalah yang belum divaksin.
Virus ini memang sulit diprediksi. Tapi jelas nyata ada. Karena sulit diprediksi, maka kita pun harus bermain probabilitas.
Vaksin adalah melawan probabilitas dengan probabilitas. Saya sudah melihat langsung contoh masyarakat yang --sejauh ini-- berhasil melawan pandemi dengan program vaksinasi yang begitu masif dan simple. Anda juga bisa melihatnya, bagaimana acara-acara olahraga di banyak negara sudah bisa berlangsung normal dengan penonton (dan tanpa masker!).
Dan karena gratis, tidak ada ruginya menjalani vaksin. Seperti di tulisan-tulisan saya sebelum ini, vaksin memang tidak menjamin kita tidak akan kena infeksi. Saya sudah menjadi bukti nyatanya. Tapi, sekali lagi saya tuliskan: Vaksin membantu mengeliminasi dampak terburuknya. Bisa kena, tapi tidak sampai sakit parah, tidak sampai masuk rumah sakit, tidak sampai mati.
Pandemi ini, saya lihat, adalah ujian bagaimana sebuah masyarakat bisa melangkah maju ke era selanjutnya. Ujian masyarakat, bukan ujian negara. Masyarakatlah yang mengalahkan pandemi, bukan negaranya.
Masyarakat yang menang akan melangkah ke era baru lebih maju. Masyarakat yang kalah... Saya ingin meminjam gurauan teman-teman saya belakangan ini: Akan menjadi masyarakat yang tinggal di Raccoon City…(Azrul Ananda)