Azrul Ananda, Chris Paul, dan Joe Flizzow
Musuh utama isolasi mandiri adalah rasa bosan. Beruntung, pekan ini ada begitu banyak tontonan olahraga yang bisa menghibur. Balapan Formula 1 ada tiap akhir pekan, Tour de France 2021 berlangsung tiap malam, dan kalau pagi ada NBA playoff yang menuju babak puncak.
Tanpa isolasi saja, final wilayah barat NBA sudah pasti saya ikuti. Karena isolasi, final best of seven Phoenix Suns melawan Los Angeles Clippers itu jadi semakin saya perhatikan.
Tidak, saya tidak mendukung kedua tim. Saya loyal pada Sacramento Kings, tim favorit saya walau prestasinya berantakan. Dulu, waktu SMP tahun 1993, saya memang sempat ngefans pada Suns. Saya suka Charles Barkley dan Kevin Johnson, yang waktu itu dikalahkan oleh Michael Jordan dan Chicago Bulls di babak final. Waktu SMP, saat masa istirahat, saya dan teman-teman nongkrong di kantin, nonton siaran langsung finalnya di SCTV.
Tapi karena lama tinggal di Sacramento, dukungan saya berpindah. Apalagi setelah kenal baik dengan beberapa orang yang bekerja di Kings.
Kembali ke final wilayah barat itu. Yang paling saya perhatikan adalah Chris Paul, point guard bintang Suns. Saya benar-benar berharap dia bisa lolos ke final. Untuk kali pertama dalam karirnya, yang tidak terasa sudah berjalan selama 16 tahun.
Ketika Suns akhirnya lolos, menang 4-2 atas Clippers, saya ikut merasa lega. Dia layak lolos ke final. Dan sekarang, dalam hati saya, saya merasa dia sangat layak meraih gelar juara musim ini.
Cerita karir, perjalanan karir, bisa dibaca di mana-mana. Tapi, perjalanannya menuju juara ini mengingatkan saya pada percakapan bersama dia, saat makan malam bareng, di kampus Harvard, 2016 lalu.
Musim panas itu, kebetulan saya jadi teman sekelas Paul di kampus bergengsi tersebut. Sama-sama ikut program Executive Education, "jurusan" Media, Sports, and Entertainment. Dia bukan satu-satunya pemain NBA yang ikut program itu, ada pula Pau Gasol, superstar asal Spanyol. Selebriti lain yang ikut program itu: Aktor Channing Tatum dan rapper LL Cool J. Ada pula teman lama saya, rapper Malaysia Joe Flizzow (Too Phat).
Setiap hari, selama berhari-hari, kami selalu bersama. Tinggal di dormitori (karantina) yang sama. Makan pagi bareng. Satu kelas bareng pagi sampai sore. Makan siang bareng. Makan malam bareng. Diskusi dan mengerjakan tugas bareng.
Pada satu momen makan malam, kami duduk satu meja. Ngobrolnya pun ngalor ngidul. Selain soal materi kasus di kelas, juga keseharian. Dari situ, saya sadar Paul ini bukan pemain biasa. Ini orang istimewa. Ini orang yang akan jadi supersukses andai karirnya di NBA kelak berakhir.
Satu, dia mau meluangkan waktu sekolah lagi seperti ini. Dan ternyata dia sering ikut program-program seperti ini. Katanya untuk modal setelah karir basketnya berakhir.
Saat makan itu, dia juga bilang akan menuntaskan kuliahnya saat karir berakhir. Dia dulu hanya kuliah dua tahun di Wake Forest, sebelum ikut NBA Draft pada 2005. "Saya janji pada ibu saya untuk menuntaskan kuliah," ungkapnya.
Bukan hanya komitmen pada pendidikan yang membuat saya kagum. Usai meloloskan Suns, muncul banyak artikel tentang bagaimana karakter "keras" Paul membuatnya sulit akrab dengan superstar lain. Devin Booker, bintang muda Suns, bahkan menyebut orang seperti Paul ini harus "cocok-cocokan." Karena Paul akan sangat cerewet, sangat keras, pada orang-orang di sekelilingnya.
Kebetulan, karakter itu pas untuk Suns yang penuh bintang muda. Sekarang mereka punya leader yang bisa membawa semua ke level lebih tinggi. Asal tahu saja, Paul baru bergabung di Suns musim ini. Sebelum musim ini, Suns sudah sepuluh tahun tidak lolos ke playoff. Sekarang, hanya dengan hadirnya Paul, Suns bukan hanya lolos ke playoff, tapi juga lolos ke final. Pertama kali Suns ke final sejak 1993, sejak saya SMP dulu!
Saat di Harvard itu, Paul juga menunjukkannya. Dia sangat serius saat diskusi, lantang saat berdebat. Memastikan mendapatkan penjelasan yang benar-benar bisa dia terima.
Karakter ingin orang di sekitarnya lebih baik juga tercermin di Harvard. Waktu itu, Paul mengajak serta kakaknya, CJ Paul. Alasannya? Itu dia sampaikan blakblakan di depan kelas, dengan lantang di depan semua peserta program yang lain. Alasannya: Karena dia sebal melihat kakaknya malas-malasan!
"Bayangkan, saya kerja keras latihan. Begitu pulang ke rumah, dia justru tidur-tiduran santai!" katanya di depan semua. Sang kakak hanya tersenyum-senyum...
Sang kakak memang bekerja ikut sang adik. Resminya, CJ Paul bekerja sebagai manager pribadi Chris Paul. Wajar kalau CJ Paul dipaksa ikut sekolah juga, supaya sebagai manager dia juga tambah pintar!
Waktu itu, Chris Paul masih bersama Los Angeles Clippers. Waktu itu, Paul masih mencari jalan menuju final. Bersama New Orleans Hornets tak berhasil. Saat bersama Clippers itu pun tak berhasil. Ketika bersama Houston Rockets, juga nyaris. Berbuntut perselisihan dengan superstar lain, James Harden. Paul sempat terbuang ke Oklahoma City Thunder, sebelum akhirnya ditukar lagi ke Suns untuk musim 2020-2021 ini.
Saat di Harvard itu, saat makan malam, Paul menyatakan bahwa dia akan melakukan segala yang dibutuhkan untuk masuk final dan jadi juara. "Dulu waktu di Hornets, saya sukses begitu cepat. Dampaknya, saya agak meremehkan. Sekarang tidak boleh lagi begitu, tidak mudah mendapatkan kesempatan untuk meraih sukses," ceritanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Paul memang termasuk paling rajin merawat badan. Sudah beberapa tahun ini dia menjadi seorang vegan. Di usia 36 tahun, badannya tampak lebih ramping dan kuat dibanding saat masih muda. Kemampuannya juga tak terlihat menurun. Mengingat banyak bintang seumurannya sekarang sudah banyak yang terbuang dari NBA.
Gajinya memang termasuk yang terbesar, di kisaran USD 40 juta semusim. Tapi untuk pemain sekelas dia, yang dikejar sekarang sudah bukan lagi penghasilan. Yang dikejar adalah legacy, apakah dia mampu jadi seorang juara. Dan menjadi juara sebagai bintang utama. Tidak seperti banyak mantan bintang lain, yang di masa akhirnya "menempel" bintang lain di tim super demi mendapatkan gelar juara.
Dan sekarang, dia mendapatkan kesempatan emas itu. Pada musim ke-16-nya di NBA, Paul akan merasakan final. Secara pribadi, saya berharap Paul bisa membawa Suns jadi juara. Karena saya merasa itu yang paling adil. Orang dengan kepintaran, komitmen, kerja keras, dan leadership seperti dia akan jadi contoh juara yang baik. Tragis kalau itu sampai tidak terwujud...
Melihat perkembangan playoff ini, di atas kertas mungkin Suns adalah unggulan juaranya. Di sekeliling Paul adalah pemain-pemain muda yang "lapar." Semua dalam kondisi sehat, tidak ada cedera. Ancaman kesehatan terakhir justru terjadi pada Paul sendiri. Dia sempat absen dua game pertama final barat karena positif Covid-19, walau sudah divaksin. Begitu negatif dan boleh tampil, dia butuh waktu untuk benar-benar "jos." Puncaknya pada game penentu (game keenam), saat Paul mencetak 41 poin dan mengamankan tiket Suns ke final!
Saat tulisan ini dibuat, Suns masih menunggu lawan. Final wilayah timur masih berlangsung sengit antara Milwaukee Bucks dan Atlanta Hawks. Yang menguntungkan Suns: Dua bintang utama di timur itu sama-sama berkutat dengan cedera. Saat Suns sudah "istirahat" menunggu lawan, kedua tim timur itu masih harus "berdarah-darah" hanya untuk mencapai final... (Azrul Ananda)