Ini bukan bulan untuk berbahagia. Setiap hari, ada saja kabar kurang membahagiakan. Orang tua teman meninggal, keluarga teman meninggal, atau teman dalam kondisi kurang baik, bahkan mengkhawatirkan.
Bulan ini kita harus prihatin. Kita harus benar-benar mendoakan dan sebisa mungkin membantu orang-orang di sekitar kita. Kita harus menentukan sikap, bagaimana kita harus bersikap. Tidak boleh tidak peduli. Tidak boleh tidak percaya.
Tanda-tandanya sudah sangat jelas: Untuk masyarakat kita, pandemi ini masih jauh dari akhir. Masyarakat kita kalah jauh dari masyarakat-masyarakat di negara lain.
Karena itu, cukup sulit bagi saya untuk menulis topik hari ini. Ada banyak sahabat yang menunggu tulisan ini. "Ayo, kapan ditulis," kata salah satu sahabat. Rupanya, dia sudah capek membaca berita buruk. Dia ingin terhibur oleh tulisan saya, mendengar cerita bagaimana saya akhirnya negatif dari virus tersebut.
Masalahnya, saya tidak punya trik apa-apa untuk mengalahkannya. Tidak ada resep khusus. Tidak ada obat khusus. Tidak ada perjuangan seperti yang harus dilakukan banyak orang, termasuk sejumlah teman baik saya yang juga "kena lotere."
Saya malah khawatir, kesannya jadi sombong. Kesannya saya mampu mengalahkan virus ini begitu saja...
Jadi, kalau ditanya, saya sempat bingung menjawabnya. Bagaimana saya akhirnya bisa negatif hanya dalam sembilan hari, dan tanpa gejala sama sekali. Saya hanya bisa bilang, mungkin ada yang sayang sama saya. Mungkin ada yang ingin saya tetap sehat dan eksis di dunia ini...
Dan mungkin, saya menang probabilitas.
Belakangan, saya sering bilang ke orang, kalau pandemi ini adalah "perang" probabilitas melawan probabilitas. Pada titik tertentu, akan ada probabilitas besar kita terkena virus tersebut. Lalu, ada probabilitas lagi kita akan mendapatkan dampak buruknya.
Uang, biasanya, bisa melawan probabilitas terburuk. Tapi dengan membaca berita-berita duka belakangan, rasanya pandemi ini beda. Uang belum tentu bisa membantu melawan probabilitas terburuk itu. Tidak peduli siapa Anda, tidak peduli seberapa kaya Anda. Virus ini tidak diskriminatif.
Tapi, dalam dunia manajemen, kita harus selalu memikirkan probabilitas-probabilitas. Situasi memberi saya pilihan-pilihan yang mungkin membuat saya lebih beruntung dari banyak orang.
Pilihan untuk aktif olahraga, yang di mata banyak orang seolah ekstrem, ada peran besar di sini. Kondisi fisik saya mungkin lebih fit dari banyak orang. Khususnya dari banyak orang seusia. Tidak pernah terlambat untuk mulai berolahraga! Dan jangan takut tersiksa oleh olahraga!
Saya rasa sudah bukan rahasia, satu-satunya jalan kunci menuju akhir pandemi adalah vaksinasi. Saya heran dengan mereka yang tidak percaya. Menurut saya, vaksinasi itu nothing to lose. Kalau ada kesempatan dan peluang, ambil. Berapa pun probabilitas keunggulan yang diberikan vaksin, tetap lebih baik daripada probabilitas tanpa vaksin.
Mungkin sekarang negara masih struggle dalam pendistribusiannya, tapi perlahan ini tidak akan jadi masalah. Seharusnya begitu.
Sudah banyak buktinya, negara-negara yang vaksinasinya berjalan, sekarang mulai melihat cahaya terang di ujung terowongan. Sulit menjelaskan betapa "normalnya" hidup di Amerika sekarang. Benar-benar tanpa masker, benar-benar hampir normal. Karena lebih dari separo warganya sudah divaksin.
Apakah itu berarti tidak bisa positif? Tidak! Kayaknya ada masalah komunikasi di awal. Sudah divaksin bukan berarti tidak bisa positif. Vaksin, tujuan utamanya, adalah mengeliminasi dampak terburuknya. Ya, pada kenyataannya memang tetap ada yang kena dampak terburuk walau sudah divaksin. Tapi sekali lagi, ayo bermain probabilitas. Tetap lebih baik divaksin daripada tidak divaksin.
Saya pun bukti positif setelah vaksin. Bahkan positif setelah tiga kali vaksin! Beberapa bulan lalu, saya sudah dua kali disuntik Coronavac (Sinovac). Sebulan lebih kemudian, antibodi saya tetap rendah, hanya 15. Kebetulan saya ada jadwal balap sepeda di Amerika. Pertengahan Juni lalu, saya pun punya opsi lagi untuk suntik tambahan. Saya disuntik Johnson & Johnson, yang hanya butuh sekali suntik. (Baca juga: Vaksin Berpikir Simple).
Setelah disuntik itu, saya diingatkan bahwa saya baru dinyatakan fully vaccinated setelah dua pekan. Email yang saya terima menegaskan itu. Jadi tetap hati-hati. Saya pulang sehari setelah suntik di Amerika itu. Swab PCR sebelum terbang negatif, swab PCR setelah landing negatif, swab PCR lima hari kemudian (usai karantina) juga negatif.
Apes, belum pas dua pekan, saya positif. Teman dari Amerika ada yang tanya, "Apakah kamu dapat virus dari negaraku?"
Jawaban saya: "Tidak, saya dapat virus dari negara saya sendiri."
Ada begitu banyak WA, email, telepon yang saya terima begitu positif itu. Kepada semua, saya selalu setengah bercanda. "Saya tidak sakit, jadi ucapannya bukan semoga lekas sembuh, melainkan semoga lekas negatif."
Saya memang tidak merasakan gejala. Ada teman yang batuk, ada teman yang demam, ada teman yang sesak sampai masuk rumah sakit. Syukur Alhamdulillah, saya tidak sama sekali.
Saya isolasi mandiri, di kamar yang oleh istri juga disiapkan peralatan olahraga. Termasuk sepeda saya yang menancap di smart trainer, sehingga saya tetap bisa gowes virtual.
Ini catatan saya: Kamis Swab hasil positif. Jumat gowes virtual 70 km. Sabtunya gowes virtual 80 km. Dan Minggunya gowes virtual 100 km.
Alhamdulillah, tidak masalah. Saya tidak push, lebih ke endurance pace. Dan alhamdulilalh tidak masalah.
Selama isoman, saya hanya minum Vitamin C 1000. Ini bukan hal baru. Kalau latihan keras, saya minum yang 1000. Kalau tidak latihan, cukup yang 500. Tambahan saat isoman, atas rekomendasi teman dokter, hanyalah Vitamin D 5000 dan Zinc. Tidak ada obat antivirus apa-apa.
Kecuali satu hari. Hidung kiri saya sempat buntu. Tapi itu sinus saya bertingkah. Kalau cuaca tidak baik (hujan panas hujan panas), biasanya sinus saya memang kumat. Jadi, satu hari itu saya minum obat sinus (Tylenol Sinus Severe). Besoknya aman. Jadi saya lanjut gowes virtual rutin normal saja selama isoman itu.
Ketika kali pertama PCR, CT saya 17. Senin, atau empat hari setelah positif pertama, saya PCR lagi. Nilai CT naik ke hampir 23. Kemudian, Sabtunya, atau sembilan hari setelah positif pertama, saya PCR lagi. Saya nyetir sendiri ke RS Premier Surabaya, swab drive thru.
Setelah PCR terakhir itu, saya tidak terlalu penasaran dengan hasilnya. Seharusnya masih positif. Saya hanya penasaran nilai CT-nya. Istri saya bilang, karena antrean begitu banyak, hasilnya baru bisa didapat Minggu keesokan harinya.
Kebetulan, Minggu itu adalah 4 Juli. Tradisi saya bersama teman-teman, kalau hari ulang tahun itu, kita gowes ekstrem. Dua tahun lalu rute 230 km lebih Surabaya-Kandangan-Pujon-Batu-Surabaya. Tahun lalu, karena sudah pandemi, saya dan sejumlah teman terdekat "balapan persahabatan" naik ke Bromo.
Karena masih isoman, rencananya jadi gowes virtual agak ekstrem. Bikin "Meetup" (gowes bareng) di aplikasi Zwift. Memilih rute paling menantang di dalamnya, yaitu "PRL Full." Rute di sekitar Kota London, yang terinspirasi rute Olimpiade 2012. Yaitu keliling perbukitan sekitar London, menanjak Box Hill sebanyak 11 kali. Total kilometernya 175, total menanjaknya hampir 2.500 meter.
Adik saya, Isna, kembali ngomel. "Setiap ultah pasti ngajak sengsara!"
Tapi dia tetap ikut.
Istri saya juga memaksakan ikut.
Teman-teman dari seluruh Indonesia saya undang. Lebih dari 40 orang ikutan. Dari Surabaya, Gresik, Kediri, Jakarta, Banyuwangi, Bali, dan kota-kota lain.
Minggu pagi itu, kami start pukul 06.00 WIB. Pada akhirnya, 17 orang finis. Paling cepat 6 jam. Saya 7 jam. Istri saya 8 jam lewat. Adik saya hampir 9 jam. Ada yang terus berjuang dan finis dalam waktu 9 jam dan 50 menit!
Saat menjalani Meetup itu, saya sama sekali tidak berpikir apakah saya ini sudah negatif atau masih positif. Toh istri saya juga tidak bisa mengecek, karena dia lebih lama gowesnya daripada saya!
Sorenya, istri dan anak-anak saya berteriak memanggil dari jendela taman samping. Saya buka pintunya, dan mereka menaruh sebuah kue berbentuk virus di atas meja depan pintu. Saya diminta mematikan lilinnya dengan tepukan tangan. Lalu, tiga anak saya --Ayrton, Alesi, Andretti-- membuka karton tulisan ucapan: Bunyinya: Hasil swab saya negatif!
Tentu saya lega melihatnya. Terus terang agak bangga. Itu berarti saya hanya positif sembilan hari. Tanpa gejala sama sekali.
Horeeee, bisa merdeka bebas dari isoman... Tapi belum dulu! Istri saya tidak mau saya keluar dari kamar isoman dulu. Nanti dua hari lagi swab lagi, katanya.
Terus terang saya ngedumel. Sekali lagi, enakan aturan di Amerika. Gampang sederhana. Menurut anjuran dan panduan dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention), kalau positif tanpa gejala, setelah sepuluh hari silakan bebas merdeka tanpa harus swab lagi.
Saya bisa membayangkan, panduan itu pasti menghemat begitu banyak uang masyarakat. Asal tahu saja, di Amerika, kalau mau swab PCR, ongkosnya lebih dari USD 200 per orang!
Tapi, demi menjaga probabilitas kesehatan keluarga, saya menurut saja. Selasa pagi sebelum menulis tulisan ini, saya sudah swab lagi. Ya semoga saja Rabu ini hasilnya tetap negatif. Kalau tidak, maka kasus saya ini pasti unik sekali!
Dengan pengalaman ini, kalau ditanya orang bagaimana cara negatif, tentu saya sulit menjawab. Mungkin, kondisi badan saya memang cukup kuat untuk melawan virus itu. Mungkin, karena sempat disuntik tambahan Johnson & Johnson, saya juga jadi lebih tangguh melawannya. Sehingga tanpa gejala dan segera negatif.
Mungkin juga karena saya tidak pernah down gara-gara cedera atau sakit. Silakan tanya dokter tulang yang sudah beberapa kali mengoperasi bahu dan tangan saya (patah karena jatuh sepeda), dia pasti menjawab saya ini cuek bebek dan tidak takut sakit.
Badan fit, vaksin, dan tidak takut (dan tetap aktif). Mungkin hanya itu jawaban yang bisa saya berikan. Saya menang probabilitas.
Yang jelas, dengan pengalaman ini, saya jadi makin getol mengingatkan orang untuk menjalani vaksinasi. Saat ini, tidak ada cara lain. Kalau tidak mau di-lockdown terus-menerus dan berulang-ulang, ya harus menjalani langkah-langkah bertahapnya. Langkah utama ya vaksin.
Lihatlah masyarakat-masyarakat yang sekarang sudah bebas nonton sepak bola, bebas nonton Wimbledon, bebas nonton Formula 1. Bisa bersorak ramai-ramai, tanpa masker. Itu karena mereka dalam setahun terakhir sudah mau "mundur selangkah," mengalah mengikuti program yang harus dilakukan, supaya sekarang sudah bisa maju lagi selangkah atau bahkan berlangkah-langkah.
Kita sudah terlambat mundur selangkah, jadi bagaimana mau maju ke depan. Kasihan teman-teman kita yang bekerja di rumah sakit, di dunia kesehatan. Bagaimana mau menambah kapasitas kalau nakesnya tidak lagi cukup? Semakin kita ngeyel, semakin kita terperosok.
Seperti yang sudah berkali-kali saya tuliskan: Kalau bisa mengalahkan pandemi, maka yang menang adalah masyarakatnya. Bukan negaranya. Bukan pemerintahnya.
Semoga masyarakat kita bukan masyarakat loser. Semoga kita segera bisa melihat cahaya di ujung terowongan gelap dan --sepertinya-- panjang ini... (Azrul Ananda)