Divaksin atau tidak? Ribut. Vaksin tidak menyebar? Ribut. Boleh vaksin berbayar? Ribut lagi. Alangkah sedihnya hidup sekarang. Sedikit sedikit ribut. Mau ke kanan ribut. Mau ke kiri ribut. Di saat kita meributkan segala hal kecil --dan banyak yang gak progresif-- masyarakat lain sudah menembus langit secara mandiri. Tanpa ribut.
Terus terang, saya hampir ikut bersalah jadi manusia Indonesia yang ribut. Beberapa hari lalu, saya benar-benar geleng-geleng kepala. Benar-benar tepok jidat. Melihat ada pemusatan vaksin di sebuah stadion besar, di mana puluhan ribu orang harus berkumpul untuk antre vaksin.
Saya tahu tujuannya baik. Supaya secepatnya sebanyak mungkin orang divaksin, minimal yang pertama. Tapi di saat berkumpul tidak diperbolehkan, ini malah mengumpulkan puluhan ribu orang di satu tempat. Ya, stadionnya terbuka, di dalamnya juga bisa ditata. Tapi di luarnya? Masya Allah. Jalan padat macet. Parkir padat di mana-mana.
Yang membuat elus-elus dada lagi: Ada spanduk-spanduk berwajah politikus. Ampunilah hambamu ini Ya Tuhan...
Saya diskusi dengan beberapa orang di pusat, kenapa kok masih seperti ini. "Pemerintah daerah ya?" kata seorang pejabat tinggi kita, yang juga melihat foto dan rekaman videonya yang beredar.
Lalu ada yang menyambutnya dengan setengah bercanda: "Ya itulah pasar vaksin. Kalau ke sana, bisa mendapat virus yang dimatikan, atau virus yang masih hidup."
Ada lagi yang menyoroti media, yang secara umum sudah dia anggap tidak lagi bisa melihat pandemi ini dalam sudut pandang lebih holistik: "Kok yang dibicarakan malah adanya penyusup ikut vaksin. Bukan masalah kerumunannya."
Tapi ya sudahlah. Acara itu sudah berakhir. Semoga tidak terulang lagi. Toh, di sisi lain, masih banyak krisis lain. Masih banyak masyarakat yang menolak vaksin. Masih banyak yang menolak langkah-langkah drastis penting untuk meredakan dampak buruk pandemi. Semoga krisis akal sehat ini juga kelak akan berakhir, walau mungkin akan lebih lama dari pandeminya...
Ya sudahlah. Tidak perlu diributkan. Wes kadung...
Di sisi lain, tanpa ribut, manusia mengambil langkah penting menuju masa depan. Minggu lalu, 11 Juli, untuk kali pertama ada penerbangan swasta ke luar angkasa. Selamat untuk Richard Branson, bos grup Virgin, yang sukses terbang bersama dua pilot dan tiga penumpang lain terbang ke ketinggian sekitra 55 mil di atas sana. Yang oleh FAA (Federal Aviation Administration) dan Angkatan Udara Amerika dinyatakan sebagai batas luar angkasa. Mereka telah melihat hitam kelamnya luar angkasa, terang benderangnya permukaan bumi, dari atas sana. Hanya beberapa menit, tapi sudah cukup untuk mendapatkan status "astronot."
Saya tidak mau menulis seperti apa perjalanannya, seperti apa teknisnya. Anda bisa menggugel dan me-YouTube sendiri. Pada dasarnya, teknisnya seperti bermain badminton ke langit. Pesawat itu seperti shuttlecock yang melejit ke batas luar angkasa, lalu turun ke bumi.
Pada 11 Juli lalu, Virgin Galactic, perusahaan milik Branson (70 tahun), jadi perusahaan swasta pertama yang punya penerbangan komersial ke luar angkasa.
Yang ingin saya tulis adalah bagaimana peran pemerintah dalam "membiarkan" swasta menyainginya ke luar angkasa. Untuk bisa terbang ini, banyak visi harus bertemu bersama.
Branson --dan banyak orang superkaya lain-- punya visi ke luar angkasa. Bukan sekadar untuk komersial, karena juga punya keuntungan ilmu pengetahuan lain. Jeff Bezos, pendiri Amazon yang juga akan segera meroket ke langit (seharusnya 20 Juli ini), bahkan bilang ini sebuah kebutuhan. Bumi tidak akan bisa lagi mengakomodasi manusia, dan harus ada upaya bersama dari sebanyak mungkin orang untuk bisa ke luar angkasa. Hingga akhirnya tinggal di luar angkasa.
Pemerintah federal Amerika, tentu sudah lama punya visi itu. Begitu pula negara-negara maju lain, termasuk Tiongkok. Tapi, pemerintah saja tidak bisa. Dan khas Amerika, swasta disuruh maju duluan. Bagaimana pun, pesawat dulu diciptakan oleh swasta. Mobil dulu dibuat oleh swasta. Tinggal sekarang bagaimana ke luar angkasa juga oleh swasta.
Caranya? Tentu dengan tidak memberi dana. Tapi dengan memberi kemudahan dan kesempatan. Untuk terbang Minggu lalu, Virgin Galactic memang harus mendapatkan izin dari FAA. Tapi izinnya hanya seputar keselamatan di sekitar lingkungan penerbangan. Tidak perlu izin untuk terbangnya sendiri dan penumpangnya. Yang penting mereka tahu risiko sendiri.
Bahkan, undang-undang pemerintah pusat melarang FAA untuk melarang upaya seperti yang dilakukan Branson ini. Kenapa? Karena pemerintah harus bisa memberi "waktu belajar" bagi industri-industri seperti ini untuk berkembang. Sambil jalan, regulasinya dibuat bersama.
Hebat ya. Tidak seperti banyak negara (saya lupa yang mana), yang belum apa-apa sudah dilarang. Belum apa-apa sudah dibatasi.
Visi lain muncul dari pemerintah negara bagian (provinsi) New Mexico. Dan masyarakatnya! Negara bagian itu, dan masyarakatnya, sepakat untuk menambah dan menyisihkan pajak untuk pembangunan Spaceport America. Sebuah bandara luar angkasa di tengah gurun, yang kemudian disewa dan digunakan oleh perusahaan-perusahaan swasta seperti Virgin Galactic. Biayanya: USD 220 juta (Rp 3,187 T).
Bagi masyarakat New Mexico, ke depannya bandara luar angkasa ini akan mendatangkan uang bukan hanya dari penyewa seperti Branson. Tapi juga mendatangkan banyak turis (bisnis yang dikejar semua negara sekarang) ke negara bagian tersebut.
Tidak semua orang akan bisa beli tiket ke luar angkasa, yang sekarang disebut sekitar USD 250 ribu per orang (dan sudah inden 600-700 orang). Tapi, akan ada ribuan orang datang untuk berwisata, menengok dan menonton. Atau nantinya akan ada swasta-swasta lain ikut datang berinvestasi, menjadikan negara bagian itu tujuan wisata masa depan.
Itu semua menghasilkan lebih banyak tenaga kerja dan penghasilan untuk masyarakat New Mexico.
Sementara itu, pemerintah dan masyarakat lain masih ribut soal hal-hal kecil yang menginjak rem, bikin orang malas menginjak pedal gas. Jalan saja sulit, apalagi ke luar angkasa... (azrul ananda)