"Anda bisa mati sebagai pahlawan, atau hidup begitu lama sehingga bisa melihat diri sendiri menjadi penjahat." Itu diucapkan oleh Harvey Dent, karakter Two Face di akhir film Batman: The Dark Knight, yang disutradarai oleh si jenius Christopher Nolan.
Kutipan itu memang ekstrem, antara pahlawan dan penjahat. Tapi kutipan itu sebenarnya bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bidang apa pun. Banyak orang dalam hidupnya bekerja begitu keras, menjadi pahlawan di bidangnya bagi banyak orang. Tapi lantas dia stay terlalu lama. Hingga pada akhirnya dialah menjadi biang kehancuran.
Semua bisa mengalami ini. Atlet, presiden, direktur perusahaan...
Valentino Rossi mengumumkan bahwa dia akan berhenti dari MotoGP di penghujung 2021 ini. Menurut saya ini keputusan terbaik. Bisa dibilang agak sedikit terlambat, tapi yang jelas belum sampai overstay. Dia masih seorang pahlawan bagi banyak orang.
Sebelum saya menulis lebih lanjut, saya mau sampaikan disclaimer dulu. Saya bukan pakar utama MotoGP. Saya memang mengikuti ajang balap tertinggi ini sejak zaman 500 cc. Pada suatu saat dulu pernah sangat intens, setara dengan intensitas mengikuti Formula 1.
Saya pernah beberapa kali liputan langsung MotoGP, beberapa kali wawancara langsung dan eksklusif dengan Rossi. Saya juga pernah berkali-kali ditawari stasiun televisi untuk menjadi komentator MotoGP. Saya menolak, karena saya menyatakan fokus di F1. Lagipula, itu bukan pekerjaan utama saya, dan tidak mungkin saya tiap minggu ke Jakarta (atau Singapura) untuk jadi komentator.
Disclaimer kedua: Walau saya punya kekaguman khusus pada Rossi, dia bukan pembalap idola utama saya. Bagi saya, yang nomor satu akan selamanya Mick Doohan. Bukan karena Doohan pernah dominan dulu. Melainkan karena Doohan jadi dominan BAHKAN SETELAH dia mengalami kerusakan kaki luar biasa di penghujung 1992. Ini topik panjang sendiri.
Tapi kebetulan, karena saya satu generasi dengan Rossi, saya mendapat keberuntungan dapat mengikuti karirnya dari awal sampai (sekarang) akhir.
Dan kalau mau terus terang, secara karir, Rossi memang lebih dahsyat dari dahsyat. Satu orang yang bisa melambungkan olahraganya begitu tinggi, hingga hanya beberapa saja bisa seperti itu. Michael Jordan di basket mungkin seperti itu, Michael Schumacher di Formula 1 rasanya tidak seperti itu.
Rossi adalah tontonan utama di MotoGP selama belasan tahun. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, saat dia sudah lagi kesulitan podium, dia masih menjadi salah satu atraksi utamanya.
Sampai-sampai ada istilah khusus dalam strategi jualan tiket di MotoGP: "Datanglah untuk Rossi, lalu jangan pergi untuk menonton yang lain."
Rossi, kelahiran 1979, tahu betul apa yang telah dia raih di MotoGP, dan yang dia lakukan untuk dunia balap motor. Itu dia sampaikan saat mengumumkan rencana pensiunnya itu di Red Bull Ring, Kamis (5 Agustus), menjelang Grand Prix Styria 2021.
"Saya kira, beda antara saya dengan pembalap hebat lain dalam sejarah MotoGP adalah satu: Karena suatu alasan, saya mampu mengajak banyak orang lebih dekat dengan dunia balap motor. Tanpa saya, mereka tidak tahu apa itu MotoGP, 125 cc, atau 250 cc. Khususnya di Italia. Saya mampu menghidupkan ikatan emosional orang banyak, dan itu membuat saya sangat bangga, karena ini adalah sesuatu yang sangat spesial," ujarnya.
Rossi memang punya "Faktor X." Bagi yang pernah bertemu langsung pasti merasakan itu. Ramah alami. Supel alami. Dan semua ucapannya mampu memukau dan memikat.
Saya ingat betul saat meliput langsung di Shanghai, saat Rossi kerepotan mengejar kombinasi Casey Stoner dan Ducati. Ada yang bertanya, Rossi butuh apa untuk mengejar Stoner. Dengan spontan, Rossi menjawab singkat dan tepat: "Saya butuh pistol." Semua tertawa lepas.
Rossi, semua tahu, punya opsi untuk lanjut tahun depan. Entah dengan timnya sekarang, atau dengan timnya sendiri, VR46, yang tahun depan naik kelas ke MotoGP menggunakan motor Ducati.
Ini yang membuat saya yakin, Rossi belum overstay. Karena dia MASIH PUNYA OPSI. Saya sempat berharap dia jangan lanjut. Begitu pula banyak penggemar beratnya. Semua merasa begitu karena sayang dengan dia. Penggemar asli tentu tidak ingin melihat Rossi memaksakan diri jadi bulan-bulanan yang lain.
Hanya keinginan meraup uang, dan jumlah uang yang akan semakin berkurang, yang mengharapkan Rossi terus lanjut sampai benar-benar habis.
Memang, Rossi tidak berhenti di puncak. Saya termasuk orang yang percaya dengan besarnya impact berhenti di puncak. Tapi, berhenti di puncak itu belum tentu atas kemauan sendiri. Berhenti di puncak itu bisa karena nasib, seperti Ayrton Senna yang tewas di Sirkuit Imola, 1994.
Ending Rossi mungkin bukan yang paling manis, tapi yang pasti tidak pahit. Dan, dia masih punya sisa musim 2021 ini untuk meraih ending semanis mungkin. Bisa saya bayangkan, balapan-balapan sisa ini justru akan mendatangkan lebih banyak lagi penonton, lebih banyak lagi pemirsa TV. Karena kita akan menyaksikan tur perpisahan seorang legenda.
Bagi MotoGP, ini adalah awal babak baru. Dua musim terakhir sudah menjadi dua musim yang luar biasa secara racing. Balapan lebih sulit ditebak, juaranya lebih bervariasi. Namun, sulit dipercaya, sekarang MotoGP justru kekurangan "aktor."
Mungkin sekarang sudah ada pembalap yang superhebat, yang akan bisa mengalahkan Rossi secara statistik. Tapi masih belum ada "Rossi baru."
Manajemen MotoGP akan bekerja lebih keras "menjual" bintang-bintang yang ada. Dan tentu berharap ada aksi atau kontroversi di lintasan yang membuat jualan itu lebih mudah.
Tapi sekali lagi harus ditegaskan: Sosok seperti Valentino Rossi tidak bisa diciptakan, tidak bisa direkayasa. Kesuksesan statistik tidak akan bisa menggantikannya.
Kombinasi bakat dan kerja keras sudah bukan lagi barang langka. Di MotoGP --dan semua olahraga lain-- sekarang banyak yang begitu. "Faktor X" seperti Rossi-nya yang entah harus datang dari mana...(Azrul Ananda)