Persaingan hanya dua kandidat ternyata memang seru. Apalagi kalau ada kontroversinya. Bisa membuat sesuatu jauh lebih heboh, lebih panas, membuat orang jadi terpolarisasi. Ini berlaku di dunia politik, juga di dunia olahraga.
Formula 1 sekarang sedang merasakan itu lagi. Persaingan ketat, seru, dan panas antara dua kandidat juara dunia. Setelah setengah musim (11 lomba), masih sulit memprediksi siapa bakal unggul. Too close to call antara Lewis Hamilton dan Max Verstappen.
Sebagai perbandingan, MotoGP tahun ini sebenarnya juga sangat seru. Setiap lomba, sulit untuk menebak siapa bakal menang. Masalahnya, tidak ada fokus persaingan perebutan gelar. Fabio Quartararo mungkin akan juara dunia. Walau di belakangnya banyak yang gantian menang, belum ada satu (atau pun dua) yang bisa jadi pengganggu utama. Jadi, jalan ceritanya kurang fokus.
Formula 1 tahun ini benar-benar fokus.
Juara dunianya antara Lewis Hamilton (Mercedes) atau Max Verstappen (Red Bull-Honda). Dua itu saja.
Yang satu wakil rezim lama. Umur 36 tahun. Juara dunia tujuh kali, pemegang rekor kemenangan dan pole position terbanyak. Kalau juara dunia lagi tahun ini, maka dia pun jadi pemegang rekor juara dunia terbanyak. Sekarang masih setara dengan Michael Schumacher.
Yang satu lagi utusan generasi baru. Umur 23 tahun. Anak mantan pembalap. Sudah masuk F1 sejak usia 17. Pemenang lomba termuda dalam sejarah F1. Dan punya potensi masa depan memecahkan banyak rekor.
Sudah lama F1 tidak panas seperti ini. Mengingatkan pada zaman Michael Schumacher v Mika Hakkinen (akhir 1990-an, awal 2000-an). Panas dan kontroversinya seperti era Ayrton Senna v Alain Prost (akhir 1980-an, awal 1990-an).
Dan ini adalah rivalry panas pertama F1 di era media sosial. Membuat situasi makin panas. Karena sekarang penonton/penggemar tidak perlu menunggu berteriak di sirkuit. Jempol dan jari jemari adalah senjata paling tajam dalam melancarkan serangan!
Hingga pertengahan musim ini, Verstappen sudah menang lima lomba, Hamilton empat lomba. Tapi Hamilton poinnya unggul 8 poin (195-187), karena dalam dua lomba terakhir kecelakaan kontroversial menimpa Verstappen.
Di Inggris, keduanya senggolan di putaran pertama. Verstappen out. Hamilton dihukum sepuluh detik saat lomba, tapi tetap mampu meraih kemenangan. Panas luar biasa. Adu mulut antara dua bos tim. Media sosial meledak. Sampai merembet ke isu ras.
Lomba berikutnya di Hungaria sempat diguyur hujan. Situasi justru makin panas. Verstappen out lagi. Kali ini korban keteledoran rekan setim Hamilton, Valtteri Bottas.
Media sosial kembali panas. Bottas disuruh nabrak Red Bull! Begitu penyampaian via jempol atau jari jemari di dunia maya. Lewis Hamilton dicemooh dan diteriaki di lintasan menjadi sesuatu yang rutin.
Untung sekarang libur musim panas. Dari awal sampai akhir Agustus, F1 libur pertengahan musim. Jadi situasi ini bisa terasa lebih dingin. Walau sebenarnya, ini hanya menunggu momen meletup lebih panas lagi!
Sebab, lomba berikutnya adalah di Sirkuit Spa-Francorchamps, Belgia, akhir Agustus ini. Walau berpaspor Belanda, ibu kandung Verstappen adalah mantan pembalap Belgia. Dia juga lahir di Belgia. Pada 27-29 Agustus nanti, pasukan oranye pendukung Verstappen akan berbondong-bondong ke sirkuit.
Kalau kontroversi kembali terjadi di Belgia, sulit membayangkan seperti apa panasnya lomba lanjutannya. Seminggu kemudian, 3-5 September, adalah Grand Prix Belanda di Sirkuit Zandvoort!
Sekarang saja, saya sudah membayangkan Hamilton bakal mendapatkan perhatian security khusus. Teriakan-teriakan kurang menyenangkan, dan berpotensi rasis, bisa menjadi bumbu yang sangat ditakuti oleh F1.
Apalagi sekarang juga muncul anggapan miring, bahwa Hamilton lebih dilindungi. Karena dia orang Inggris, dan --harus diakui-- dalam sejarahnya F1 condong bias ke arah Inggris.
Sekali lagi, ini kali pertama F1 memiliki persaingan panas di tengah era dominasi media sosial. Media-media yang tidak ada filternya, yang bisa sejahat-jahatnya dalam menyampaikan sesuatu.
Jangan-jangan, nantinya serunya persaingan dua sportsman ini justru bisa melenceng jauh di luar lintasan. Kalau ada kontroversi, penjelasan teknis tidak akan didengarkan. Segala opini tidak mungkin dianggap netral. Pokoknya benar, pokoknya salah. Pokoknya Max, Pokoknya Lewis.
Sekarang saja, yang seperti itu sudah mudah ditemukan di media sosial. Apalagi kalau persaingan jadi semakin panas. Karena jempol dan jari jemari adalah extension dari isi kepala. Dan media sosial sudah menunjukkan kepada semua, bahwa teknologi informasi belum tentu membantu membuat orang berpikir lebih sehat! (Azrul Ananda)