Orang suka teriak-teriak, minta perubahan, minta ini, minta itu. Minta hentikan PPKM, atau minta lanjutkan PPKM, atau minta ganti pejabat. Apalagi sejak ada medsos. Anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa ikut teriak-teriak. Minta ini, minta itu, minta mobil, minta bus, minta pesawat. Jadi lebih bising.
Kemudian, sering ada ungkapan bahwa kita harus menuruti mayoritas. Suara mayoritas adalah kehendak takdir. Bahwa customer selalu benar. Bahwa kita harus menuruti permintaan pasar. Bahwa kita harus menuruti apa kata survei.
Sekarang coba tarik napas dalam-dalam. Tenangkan pikiran. Kosongkan pikiran. Coba mengabaikan segala prekonsepsi yang ada di kepala kita. Mencoba memandang dari sisi yang berbeda, atau dari beberapa sisi yang berbeda.
Karena kita tidak lagi hidup di dunia hitam-putih. Kita hidup di dunia yang memiliki lebih dari 50 shades of grey. Saking kompleksnya, film-film terbaru (dan yang akan keluar) dari Marvel dan DC pun merambah arena multiverse. Bahwa yang kita kenal bisa beda, bahkan bisa sebaliknya.
Karena KITA BELUM TENTU TAHU APA YANG KITA MAU.
Di kelas marketing, ini seharusnya paling ditonjolkan. Bahwa konsumen belum tentu tahu apa yang mereka mau. Ada kutipan kondang menyinggung ini, yang entah siapa mulai mengucapkannya. Bunyinya: "Orang tidak tahu apa yang mereka mau. Mereka hanya mau apa yang mereka tahu."
Steve Jobs, tokoh idola saya, menegaskan itu secara lebih gamblang. Kepada karyawannya di Apple, ia pernah bicara begini: "Orang tidak tahu apa yang mereka mau hingga ketika kita menunjukkannya ke mereka. Itulah sebabnya saya tak pernah bergantung pada riset pasar. Tantangan kita adalah mencoba membaca apa yang belum tertulis di halaman."
Tentu saja, ia memberikan bukti paling konkret kepada seluruh dunia. Siapa sangka kita tidak butuh kaset atau CD untuk mendengarkan lagu? Siapa sangka kita tidak membutuhkan tombol fisik pada telepon genggam?
Orang hanya tahu mereka ingin sesuatu yang mudah dan cepat (dan mungkin murah). Tapi orang tidak tahu rupanya seperti apa.
Ya, ya, ya. Ada omongan superpenting yang selalu ditekankan di dunia bisnis: Customer is always right.
Perusahaan-perusahaan terbesar di dunia sering menekankan ini. Salah satu yang paling kondang adalah Walmart, jaringan hypermarket terbesar dunia. Sam Walton, pendirinya, selalu menegaskan itu. Dan itu jadi bahan studi kasus di kelas-kelas bisnis.
Tapi ada kemungkinan juga, Sam Walton selalu mengucapkan itu sebagai bentuk dari sarcasm (sarkasme, sindiran tajam). Saya merasakan itu waktu mengunjungi Walmart Museum, di Bentonville, Arkansas, Juni lalu.
Kalau Anda mengunjungi museum di tengah kota indah itu, memang ada banyak artefak menarik ditampilkan. Misalnya mobil sehari-hari Walton yang sederhana, atau ruang kantornya yang dipajang persis seperti sebelum ia meninggal.
Ruang kerja Sam Walton di museum Walmart.
Namun, ada satu bagian yang didedikasikan untuk para customer. Lebih spesifiknya, para customer yang "selalu benar" itu. Berbagai macam barang dipajang di bagian itu. Semua adalah barang-barang yang dikembalikan oleh para pembeli yang merasa tidak puas.
Hanya saja, Walmart menuliskan alasan resmi kenapa barang-barang itu dikembalikan. Kadang berikut nama orang yang mengembalikannya. Berikut beberapa di antaranya:
Sebuah termometer dinding dikembalikan. Alasan sang pembeli: "Tidak pernah menunjukkan jam yang tepat."
Seorang customer menuliskan alasan yang tegas: "Alat pancing ini tidak berfungsi. Tidak pernah dapat ikan." Nah, kalau dilihat lagi, yang dikembalikan itu adalah alat pancing mainan anak-anak berwarna pink!
Sebuah rautan pensil berwarna biru dikembalikan oleh pembelinya. Alasan yang ditulis: "Tidak bisa meraut pulpen tinta."
Ada lagi yang paling unik: Seorang customer ngotot mengembalikan sebuah termos dari bahan metal. Padahal, termos itu buatan tahun 1954. Sementara Walmart yang pertama baru dibuka delapan tahun kemudian!
Barang-barang yang dikembalikan pembeli Walmart.
Sebagai lulusan marketing, dinding display museum bagian ini begitu menghibur buat saya. Karena ini dunia nyata banget. Customer boleh selalu benar, walau sebenarnya mereka itu tidak pintar, sangat tidak pintar, atau bahkan semaunya/seenaknya sendiri.
Sekali lagi menegaskan, bahwa orang belum tentu tahu apa yang mereka mau.
Sekarang, marilah kita bercermin. Lalu ingat segala omelan dan tuntutan yang kita sampaikan kepada semua pihak selama ini. Khususnya belakangan ini. Apakah itu pergantian pejabat, perubahan kebijakan, permintaan beli kendaraan, atau yang lain.
Emangnya kita pasti benar? Jangan-jangan kita sebenarnya tidak tahu apa-apa. Atau, jangan-jangan, kita ini sebenarnya semaunya sendiri! (Azrul Ananda)
Foto-Foto: Dokumentasi Azrul & Tripadvisor