Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Tahun ini, sudah tiga kali saya ke Telaga Sarangan. Sekali bersama keluarga, dua kali bersama teman-teman bersepeda. Anak-anak saya senang sekali. Teman-teman sepeda saya juga "senang-senang-sakit" dengan tantangan rute dan tanjakannya.

Tentu kami berharap bisa terus ke sana. Tapi saya sudah tak tahan menuliskan uneg-uneg, berharap Telaga Sarangan kelak terus menjadi tempat yang menyenangkan...

Sebelum tahun ini, kali terakhir saya ke Sarangan adalah 2016. Gara-gara bikin event gowes dari Surabaya ke sana. Sebelum itu, sudah belasan tahun mungkin tidak ke sana. Setelah itu, harus menunggu lima tahun sebelum kembali ke sana. Kebetulan, ada sahabat punya vila keluarga di sana. Sehingga vila itu kami manfaatkan (dan kami acak aduk, wkwkwk).

Untuk acara gowes, rute dari Surabaya ke Sarangan memang memberi tantangan endurance yang sedap. Dalam satu hari kami hajar, total lebih dari 200 km dari titik start di Surabaya. Dari total itu, sejauh 160 km-nya relatif "gampang." Rute datar total menuju Madiun. Bisa disikat hanya dengan sekali istirahat di Kertosono (km 85), atau dua kali break masing-masing di Jombang dan Nganjuk.

Start di Surabaya pukul 05.00, sampai Madiun sekitar pukul 11.00. Jadi kami pun brunch, tanggung antara breakfast dan lunch. Kadang makan pecel (keluarga saya pengunjung setia Pecel 99 sejak zaman abah), kadang makan soto depan kelenteng.

Atau, pecelnya dipesan lalu disajikan di Kafe Ueno, kafe menyenangkan di pusat kota milik salah satu mentor bersepeda saya: Pak Sony Hendarto.

Kami senang sekali berhenti di Madiun. Downtown-nya sekarang sangat bersih, sangat atraktif, dengan trotoar lebar dan tempat-tempat foto yang menarik.

Biasanya antara 45 menit hingga satu jam di Madiun, kami melanjutkan rute ke Telaga Sarangan. Melewati Lanud Iswahjudi, belok ke arah Magetan, jalan mulai merambat naik. Sampai di Magetan, lanjut ke Sarangan, jalan semakin terjal. Apalagi setelah sampai Plaosan, hanya beberapa kilometer dari Sarangan, gradien di atas 10 persen (beberapa bagian 15 persen) adalah makanannya.

Rute ini benar-benar ujian endurance. Dihajar datar lebih dari 160 km, lalu menanjak bertahap dari agak miring hingga terjal. Semakin menuju finis, semakin berat medannya.

Kami menganggap ini sebagai etape-etape di Tour de France. Jarak 200-an km, datar dulu panjang, lalu dihajar tanjakan berat di akhir (summit finish). Tapi kami masih lebih gampang, karena ada pit stop-nya!

Walau hanya sekitar 40 km, karena menanjak, butuh sekitar 2 hingga 2,5 jam dari Madiun ke Telaga Sarangan. Tapi sampai di atas, di ketinggian lebih dari 1.200 meter, rasanya lega dan senang. Hawa dingin, pemandangan indah, makanan juga enak-enak dan terjangkau.

Dua pekan sebelum tulisan ini muncul, saya dan teman-teman latihan endurance serius. Mumpung ada waktu di tengah jadwal sibuk. Sabtunya gowes Surabaya ke Sarangan, Minggunya pulang digowes lagi Sarangan ke Surabaya. Lumayan, dua hari dapat latihan 400 km lebih.

Sebelumnya, awal tahun ini, acara gowes itu kami rekam dalam vlog, yang kami tampilkan di channel YouTube Mainsepeda. Link-nya di sini. Lumayan seru dan lucu, saya dan teman-teman AA SoS (Azrul Ananda School of Suffering) disambut teman-teman ISSI Magetan di finish.

Nah, yang dengan keluarga tentu beda. Selama pandemi ini, liburan bersama anak-anak jadi sesuatu yang sulit. Alangkah hepinya anak-anak saya bisa keluar dari rumah, liburan ke tempat yang mereka belum pernah kunjungi. Apalagi waktu itu Telaga Sarangan kawasannya masih sepi, sehingga liburan di sana tenang dan menyenangkan. Kami juga sempat jalan kaki ke air terjun di dekat telaga tersebut.

Saking berkesannya kunjungan itu, anak bungsu saya, Andretti, sampai bertanya ketika saya kembali dari acara gowes di Sarangan. Kami bicara soal kenangannya naik speed boat dan kuda keliling telaga. Dia masih ingat nama kuda yang dia naiki waktu itu. Namanya Sonic. Saya bilang, ya, saya melihat Sonic waktu ke sana lagi! Andretti tampak senang sekali, dia bilang ingin kembali ke Sarangan dan naik Sonic lagi.

Tapi saya tidak bilang ke Andretti, kalau pas kunjungan ketiga terakhir itu Sarangan sudah ramai sekali. Kami teman-teman gowes kebetulan tergolong yang suka tidur cepat dan bangun sepagi mungkin, jadi kami tidak suka jalan-jalan malam itu. Apalagi hujan juga, jadi ya nongkrong saja ngobrol asyik di vila.

Hebat memang, teman-teman sepeda itu bisa kompak, padahal latar belakangnya macam-macam. Ada yang masih usia 30-an, ada yang sudah 60-an. Tapi soal sepeda semua nyambung. Ada yang pengusaha, ada yang dosen, ada yang militer. Tidak ada pembeda. Semua sama. Yang penting siapa yang kuat di atas sepeda. Wkwkwk...

Tapi, weekend itu, saya merasakan ada yang kurang sreg di Sarangan. Ramainya kendaraan di malam hari, bunyi motor yang nyaring meraung-raung, membuat suasana di ketinggian jadi kurang nyaman. Jalan di sekeliling danau juga jadi kurang nyaman karena mobil-mobil diperbolehkan berseliweran, berebut jalan sempit dengan pejalan kaki, dengan kuda, motor, dan --karena kami-- pesepeda.

Karena itu, saya jadi berandai-andai, seperti apa Telaga Sarangan idaman saya. Bagaimana kalau akses kendaraan bermotor benar-benar dibatasi agak sedikit jauh dari Telaga Sarangan.

Supaya suasana di sekitarnya benar-benar nyaman untuk orang berwisata. Disediakan lahan parkir agak jauh sedikit. Jalan kaki sedikit kan tidak apa-apa. Masak saking malasnya jalan kaki, mobil harus diparkir di pinggir danau? Selain mengganggu kenikmatan orang di sekitar telaga, mobil-mobil itu juga memenuhi kawasan sekitar telaga!

Ya, memang ada penginapan-penginapan di sekitar telaga yang membutuhkan transportasi. Tapi itu sangat mudah manajemennya. Sediakan saja sarana transportasi yang dikelola warga setempat, yang tidak bermotor. Intinya, radius sekian dari danau tidak boleh ada kendaraan bermotor apa pun. Pasti akan langsung lebih nyaman.

Kalau di negara-negara maju, semua tempat wisata seperti itu pasti melarang total kendaraan bermotor. Untuk mengangkut wisatawan dan barang-barangnya, disediakan kendaraan berbasis sepeda atau kuda.

Saya sulit membayangkan, betapa tidak nyamannya berwisata di Telaga Sarangan saat situasi sudah benar-benar normal dan kawasan itu semakin ramai. Kan telaganya tidak mungkin diperbesar!

Mohon maaf kalau tulisan ini menyinggung perasaan. Tapi inilah uneg-uneg saya sebagai pecinta baru Telaga Sarangan, yang anak-anaknya juga baru jatuh cinta pada Telaga Sarangan.

Tidak banyak tempat diberkati Tuhan dengan alam yang unik dan indah. Salah satu perang ekonomi masa depan adalah perang wisata. Negara-negara Timur Tengah yang "tidak punya alam" saja sekarang habis-habisan menyiapkan diri jadi tujuan wisata.

Kalau tidak bisa menata dan menyiapkan masa depannya dari sekarang, maka kawasan seindah apa pun akan kalah...(Azrul Ananda)

Comments (50)

Catatan Rabuan

Manado (Sulut) Diberkati

Saya telah menemukan tempat paling indah se-Indonesia. Paling tidak, tempat paling indah yang pernah saya kunjungi secar...

Keliling Dunia di Madiun

Penasaran rasanya melihat Madiun ke depan. Apalagi pengembangan dan kejutan yang akan dilakukan Pak Maidi dan jajarannya...

Simon Mottram Sang Filsuf Jersey

Salah satu yang paling saya kagumi adalah Simon Mottram, founder merek apparel sepeda Rapha yang akhir November ini meng...

Ilmu Presenter Memancing Ikan

Memancing ikan atau presenter? Ya, tulisan ini memang akan mengawinkan dua topik yang jauh berbeda. Di satu sisi soal...