Sepuluh tahun lagi seperti apa ya? Berita banjir sekarang sudah biasa banget. Bencana banjir muncul di mana-mana. Bahkan, kota-kota yang seharusnya dataran tinggi pun bisa banjir parah.
Karena saya hobi gowes dan suka menanjak, berkali-kali saya ke dataran tinggi di berbagai kota di Indonesia. Pernah naik ke ketinggian, lalu melihat ke bawah, pohon-pohonnya sudah gundul. Sementara di bawah sana ada kawasan yang superpadat. Wih, itu kalau longsor atau hujan ekstrem, beberapa tahun lagi yang di bawah itu bagaimana ya?
Dan itu bukan di satu kota.
Atau, sedang asyik menanjak ke sebuah kawasan pegunungan, lalu memuji pepohonan rindang yang menghiasi di sisi tebing. Langsung ditanggapi oleh teman warga setempat yang menemani. "Yang kelihatan rindang hanya yang kelihatan dari jalan. Belakangnya itu sudah gundul semua," ucapnya.
Di begitu banyak tempat, bencana masa depan bukanlah kemungkinan belaka. Rasanya hanya menunggu waktu. Istilah bulenya: Disaster waiting to happen.
Saya mencoba berpikir optimistis. Pasti ada yang memikirkan itu. Rasanya tidak mungkin yang berwenang membiarkan disaster waiting to happen. Karena itu tidak logis.
Seandainya tidak ada yang memikirkan, atau yang seharusnya memikirkan ternyata tidak memikirkan, masak akan dibiarkan begitu saja? Di era media sosial sekarang ini, yang hal-hal kecil sepele saja diributin tidak karuan, masak hal-hal seperti itu dibiarkan?
Karena kalau jempol-jempol pemarah itu diam saja soal begituan, siapa yang akan meributkan? Mengingat zaman sekarang ini, media beneran seperti sudah tidak punya taring. Seperti ompong. Kalau pun ingin menggigit, ternyata tingkat kepercayaannya pun sudah setara dengan media sosial. Yang katanya hanya sekitar 40 persen itu.
Yang lebih menyedihkan lagi, kalau kita tidak bisa jujur dengan diri kita sendiri. Sekarang ini, berita bencana cepat beredar lewat media sosial, atau lewat grup WA.
Ketika hujan belakangan begitu deras, ada saja kabar masuk ke hape dari teman-teman saya, yang tersebar di seluruh Indonesia. Banjir di sini, banjir di sana.
Kata kuncinya adalah "banjir." Karena menurut saya itu yang jujur. Bukan "genangan."
Flashback dulu tahun 2000-2001. Waktu saya kali pertama pulang kuliah, setelah bertahun-tahun tidak tinggal di Surabaya. Sedihnya waktu itu. Sampah di mana-mana. Banjir merupakan makanan sehari-hari. Termasuk di kawasan rumah orang tua saya waktu itu, di kawasan Tenggilis.
Pernah, saya pulang malam, menerjang banjir dengan mobil sedan. Masuk rumah, beres. Eh, paginya, alangkah syoknya saya. Bemper depan mobil saya hilang. Rupanya lepas saat saya menerjang banjir itu.
Hari itu juga, saya bikin sayembara untuk semua tukang becak di kawasan sekitar rumah. Kebetulan hampir semua saya kenal sejak saya keci. Mereka sering jadi teman, atau kita minta jadi wasit, waktu main bola di lapangan dekat rumah.
Yang bisa menemukan bemper depan mobil saya dapat hadiah Rp 250 ribu.
Sore itu, ada yang menemukan. Rupanya, bemper itu tersangkut di selokan di sekitar RT 8. Padahal, saya tidak lewat situ, dan rumah orang tua saya di RT 4. Lumayan, mending bayar Rp 250 ribu daripada beli bemper baru.
Surabaya kemudian beruntung, dapat Wali Kota Bambang DH lalu Bu Risma yang terus berbenah. Kota ini jadi kota yang begitu bersih dan rapi. Tidak bisa instan langsung bersih, tapi bertahap dan berangsur rapi.
Mas Eri Cahyadi, wali kota sekarang, beberapa tahun terakhir sebenarnya sudah banyak berperan membantu menuju lebih baik itu. Saat masih memimpin dinas-dinas.
Tentu saja, tidak mungkin masalah kota bisa langsung hilang. Siapa pun pemimpinnya, pasti akan ada masalahnya. Kalau tidak ada masalah, ya tidak perlu ada pimpinan.
Namun, ada satu hal yang saya ingin ubah istilahnya. Dan ini sudah ngetop sejak zaman Bu Risma dulu. Yaitu menyebut "banjir" sebagai "genangan."
Ketika jalan banjir dulu disebut genangan, sebenarnya sudah banyak orang yang mencibir. Cuman tidak terang-terangan. Ya, banjirnya memang cepat surut. Tapi sebelum surut itu tetap layak disebut banjir.
Mohon izin, saya akan keminggris dulu.
Saya sering bercanda dengan Abah saya, kalau bahasa Indonesia itu terlalu sederhana. Kurang kompleks, kurang concise (presisi). Bahasa Jawa jauh lebih presisi dalam mendeskripsikan sesuatu.
Banjir, bahasa Inggrisnya "flood."
Genangan, bahasa Inggrisnya "puddle."
Apa itu "puddle"? Menurut kamus bahasa Inggris, "puddle" artinya "a small pool of liquid, especially of rainwater on the ground." Kata kuncinya adalah "small" alias kecil. Kolam renang berisi air bukanlah genangan. Apalagi jalan besar yang lebarnya bermeter-meter dan tertutup air setinggi ban mobil.
Sejak zaman Bu Risma, jalan tertutup air penuh sudah disebut sebagai "genangan." Sekarang, minta tolong itu jangan dilanjutkan lagi. Masyarakat kita sudah sangat pintar kok. Mereka tidak akan marah kalau banjir diakui sebagai banjir. Apalagi banjir itu pada akhirnya juga cepat surut. Tidak mengganggu lama seperti tahun 2000 dulu.
Kalau pun ada yang mencoba menyerang kalau sekarang masih banjir, ya zaman sekarang kan apa saja akan diserang. Namanya juga era media sosial, dan tingkat kepercayaan media sudah begitu rendah.
Saya tahu, Mas Eri dan jajarannya terus bekerja keras untuk mengatasinya. Saya tahu mereka bekerja jauh lebih keras dari banyak kota-kota lain di Indonesia. Percayalah, ada banyak kota lain yang lebih madesu dari Surabaya.
Saya hanya minta tolong jangan lagi banjir disebut genangan, itu saja, he he he... Banjir tidak apa-apa, asal cepat surut dan hanya menjadi genangan. (azrul ananda)