Event ini resmi atau bukan? Event ini beneran atau pura-pura? Gara-gara kehebohan di Paris, topik itu sedang ramai jadi pembicaraan. Mungkin sadar saya dulu kuliahnya jurusan marketing, dan sering bikin event atau ikut event sampai level internasional, banyak orang menanyakan itu kepada saya.
Kepada beberapa, saya jelaskan apa yang terjadi di Paris itu sebenarnya termasuk biasa terjadi. Masuk kategori ambush marketing. Di Indonesia pun banyak terjadi, caranya macam-macam, tapi semua tergolong "ambush marketing."
Mungkin mereka belum percaya 100 persen. Ketika kemudian Rhenald Kasali bicara soal itu di channel YouTube-nya, mereka lantas membagikan link-nya ke saya. Ya saya balas saja: "Kan sudah saya bilang, itu sesuatu yang sebenarnya sudah biasa. Namanya ambush marketing."
Di video itu, Om Rhenald bercerita tentang contoh-contoh lain cara promosi tersebut. Khususnya tentang yang terjadi di Amerika. Yaitu apa yang dilakukan oleh produsen sepatu dan sports apparel Nike, serta persaingan sengit antara Coca-Cola dan Pepsi Cola.
Contoh-contoh itu adalah materi kuliah standar di Amerika. Ambush marketing artinya kurang lebih begini: Strategi marketing di mana sebuah brand atau produk mendompleng sebuah event untuk mendapatkan eksposur. Bisa untuk mendapatkan eksposur secara umum, tapi khususnya untuk menyaingi eksposur produk pesaing.
Tentu saja, kalau kuliah di Amerika, kita diajari soal itu bukan untuk sekadar bisa melakukannya (wkwkwkwk). Tapi juga untuk memastikan kita tidak melanggar rambu-rambunya, yang bisa mengakibatkan dampak negatif atau bahkan pelanggaran hukum.
Sebagai "orang marketing," saya kemudian juga gatal untuk menulis soal strategi ini. Bukan untuk menyalahkan atau menyudutkan siapa-siapa, tapi karena momen itu memberi saya kesempatan untuk menyampaikan contoh-contoh konkret di Indonesia yang saya alami sendiri. Mumpung jutaan orang Indonesia sedang dapat "kuliah massal" di bidang ini.
Sadar atau tidak, cara ini banyak sekali dilakukan. Sengaja atau tidak sengaja. Halus atau kasar. Di sekeliling kita sering sekali terjadi. Harapan saya, kalau pun strategi ini terus terjadi dan sengaja dilakukan, orang bisa lebih sadar terhadap rambu-rambu dan konsekuensinya. Berikut beberapa contoh itu...
Ambush Event Nasional
Contoh satu, pengalaman saya menyelenggarakan kompetisi basket pelajar DBL di berbagai penjuru Indonesia. Dari Aceh sampai Papua. Tentu saja, DBL membawa sejumlah brand sebagai partner/sponsor pendukung. Seperti biasa, di setiap event DBL, akan dibarengi dengan event-event pendukung yang diselenggarakan oleh sponsor. Untuk lebih memperkuat penyampaian pesan yang ingin disampaikan oleh brand tersebut.
Misalnya, Astra Honda Motor yang menjadi partner utama, biasanya menyelenggarakan kampanye edukasi safety riding untuk pelajar-pelajar di setiap kota yang dikunjungi DBL. Yang mengeksekusi adalah distributor atau dealer-dealer motor Honda di kota-kota yang dikunjungi.
Tidak jarang, setiap event DBL ini pun menghadapi "ambush marketing." Para pesaing produk-produk sponsor DBL tidak jarang ikutan "meramaikan" suasana kota yang kami kunjungi. Malah, mereka tidak segan menyelenggarakan event lain di lokasi berdekatan. Berharap ikut menyedot keramaian yang diakibatkan oleh DBL.
Kampanye edukasi safety riding yang digelar Honda sebelum penyelenggaraan kompetisi basket pelajar DBL.
Tentu saja tidak banyak yang bisa kami berbuat untuk melarang/menghalangi acara tandingan tersebut. Selama mereka tidak menggunakan properti-properti intelektual DBL, tentu sah-sah saja mereka lakukan. Tinggal bagaimana DBL bekerja keras, memastikan properti-properti intelektual itu terlindungi, serta kebutuhan dan harapan para sponsor DBL tetap terjaga dan terpenuhi.
Untungnya, event-event "tandingan" itu seringkali tidak mendapatkan respon yang mereka harapkan. Dan saya pikir, alangkah buang-buang energi dan biaya, melakukan sesuatu yang niat utamanya hanyalah menyaingi dan mengganggu Lebih baik energi dan sumber dayanya digunakan untuk berkreasi, lantas melaju sendiri.
Ambush Toko Sepeda
Ini contoh mungkin paling receh. Tapi mungkin juga sangat banyak terjadi. Belum tentu karena niat jahat. Kemungkinan besar karena tidaktahuan dan lemahnya pemahaman tentang properti intelektual.
Kebetulan, saya juga sering bikin event sepeda. Seringkali, event sepeda saya bisa menghadirkan ribuan cyclist dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan belasan negara.
Ketika ribuan pengunjung itu datang ke Surabaya, mereka tentu butuh mekanik atau toko sepeda yang bisa membantu merakit atau menservis tunggangan andalannya.
Rata-rata toko sepeda di Surabaya pun bikin program untuk mereka. Bagi peserta event saya, bisa mendapatkan fasilitas diskon --bahkan servis gratis-- kalau membawa sepedanya ke toko-toko tersebut.
Tentu saya tidak terlalu mempedulikan itu. Bahkan, saya bangga bisa membawa economic impact kepada bisnis-bisnis di Surabaya, akibat dari event yang saya selenggarakan. Hingga pada satu kesempatan, ada yang melanggar rambunya...
Sebuah toko sepeda dengan tegas dan berani mempromosikan program diskonnya saat event saya berlangsung. Dan toko itu dengan berani menggunakan logo-logo event saya, menyebut event saya secara langsung, untuk mempromosikan diri.
Karena toko itu bukan sponsor, dan toko itu sama sekali tidak punya hak komersial untuk menggunakan properti intelektual saya, tentu teguran kami sampaikan. Walau saya kenal baik dengan pemiliknya, batasan penting telah diterabas. Toko itu lantas mencabut materi promosinya, dan sang pemilik minta maaf secara terbuka lewat media sosial.
Saya sadar itu murni karena ketidaktahuan/kurangnya pemahaman. Tapi kalau dibiarkan, maka dunia ini bisa jadi hutan rimba tanpa aturan...
Ambush Gaya Pejabat
Saya sadar, dunia sepak bola kita sering sekali menyerempet ranah politik. Sangat sulit bagi sebuah klub profesional untuk benar-benar menjadi profesional. Apalagi, banyak pejabat/politikus belum tentu punya pemahaman komprehensif tentang apa itu industri olahraga, apalagi properti intelektual.
Di era profesional dan industri, logo sebuah klub adalah properti intelektual yang punya nilai komersial. Tidak boleh sembarang digunakan.
Kemudian, ada seorang pejabat yang sering main sepak bola, atau bikin acara sepak bola. Dia bikin jersey sendiri, dengan warna senada dengan klub kebanggaan di kotanya. Lalu di dada kanan adalah logo pribadi/kampanyenya, sedangkan di dada kiri logo klub profesional tersebut.
Dulu, ini memang biasa banget terjadi. Apalagi dulu klub-klub perserikatan memang berada di bawah naungan pemerintah kota/daerah. Tapi di era sekarang ini, dunianya sudah berbeda.
Secara resmi, pejabat tersebut sudah melakukan pelanggaran properti intelektual. Menggunakan sebuah logo komersial untuk kepentingannya sendiri. Tapi dia belum tentu paham itu. Dan masyarakat, termasuk konstituennya, juga belum tentu bisa memahami itu.
Karena ini Indonesia, tentu sulit untuk mengingatkan dan menegur pejabat yang seperti itu. Solusi kami? Ya kami kasih saja dia jersey asli. Lalu sambil bercanda nyeletuk: "Masak pejabat jersey-nya tidak asli..."
Ambush Kelas Dunia
Contoh-contoh di atas ada level event, toko, individual. Kalau mau bicara ambush kelas dunia, ada dua yang ingin saya share. Kebetulan, yang satu saya pernah merasakan, dan itu ada kemiripan dengan yang di Paris kemarin.
Pada 2015, saya dan beberapa teman pergi ke Richmond, negara bagian Virginia, Amerika Serikat. Oktober tahun itu, digelar kejuaraan dunia balap sepeda road race di kota tersebut. Nama resminya: UCI Road World Championship 2015.
Menonton UCI Road World Championship di Richmond, Virginia, 2015
Seperti acara kelas, event itu punya event-event pendukung resmi. Mulai dari kegiatan kemasyarakatan sampai pameran sepeda di kawasan khusus. Kota Richmond telah keluar uang banyak, para sponsor juga keluar uang banyak, untuk mendapatkan manfaat eksposur dan komersial dari sana.
Karena event itu punya sponsor apparel resmi merek Santini dari Italia, maka produsen apparel lain tidak bisa bergabung di pamerannya. Lahirlah event-event atau pop up store lain di berbagai penjuru kota Richmond.
Semua melakukan ambush marketing. Berusaha memanfaatkan kehebohan dan keramaian kejuaraan dunia tersebut walau bukan sponsor atau peserta resmi. Hanya saja, mereka sama sekali tidak melanggar rambu-rambunya. Sama sekali tidak menggunakan logo event, sama sekali tidak menyebut kata kejuaraan dunia di Richmond. Walau beberapa menggunakan kata "Richmond," karena nama kota tidak melanggar aturan properti intelektual event. Makanya, silakan menyebut "Paris Fashion Show." Tapi jangan "Paris Fashion Week." Kira-kira begitu.
Salah satu merek apparel sepeda favorit saya, Rapha, termasuk yang melakukan strategi itu. Mereka bikin mini pameran hanya beberapa blok dari lokasi pameran resmi kejuaraan dunia. Lalu bikin acara gowes bareng, buka kafe dadakan, meet and greet dengan ambassador, dan lain-lain. Karena saya kenal baik dengan founder-nya, saya lebih sering cangkruk di situ daripada di tempat resmi event.
Tapi, mereka sama sekali tidak melanggar rambu. Tidak pura-pura ikut acara resmi UCI Road World Championship di Richmond. Agak abu-abu? Iya. Tapi tidak melanggar dan tidak punya niatan mengelabui.
Saat gowes keliling Paris dengan istri usai menonton Tour de France tahun 2015
Ambush Tingkat Dewa
Bicara soal ambush marketing, rasanya tidak ada yang lebih spektakuler dari apa yang terjadi di Olimpiade Beijing 2008. Ini benar-benar ambush kelas dewa.
Seperti biasa, Olimpiade jadi ajang persaingan bisnis edan untuk produsen apparel dunia. Apalagi ini berlangsung di Tiongkok, pasar yang begitu spektakuler besarnya.
Waktu itu, yang "menang" jadi sponsor resmi Olimpiade adalah Adidas. Merek lain tidak mau kalah. Nike habis-habisan mensponsori tim-tim atau bintang-bintang olahraga Tiongkok. Termasuk tim basketnya yang sangat high profile (ada Yao Ming).
Nah, dari semua merek pesaing, tidak ada yang mencuri perhatian sehebat Li Ning. Merek sports apparel asli Tiongkok yang saat itu mulai ekspansi secara global.
Dalam acara pembukaan Olimpiade, di Stadion Bird Nest yang megah, seremoni menyalakan obornya benar-benar memukau. Seorang atlet legendaris Tiongkok kebagian obor terakhir, dia berlari "menggantung" mengelilingi atap Bird Nest. Tampilan multimedia menceritakan perjalanan obor mengiringi larinya. Atraksi itu benar-benar menjadi perhatian dunia, menjadi omongan luar biasa. Lebih dari 2 miliar pemirsa menonton aksi itu di seluruh dunia.
Apalagi, orang yang berlari membawa obor itu adalah... Li Ning!
Ya, merek Li Ning memang didirikan oleh Li Ning. Dan Li Ning adalah legenda olahraga di Tiongkok. Pada Olimpiade Los Angeles 1984, dia mampu meraih ENAM medali emas di arena gymnastic.
Memang, Li Ning orang dan Li Ning merek bisa beda. Tapi apa pun, hari itu nama "Li Ning" terekspose ke miliaran penduduk dunia. Orang-orang marketing menyebut kejadian hari itu sebagai "floating ambush." Manuver ambush marketing yang mungkin tidak bisa terulang lagi di dunia... (azrul ananda)
Foto: Internet & Koleksi Pribadi