"Aduh, orang kaya lagi pegang federasi olahraga."
Begitu reaksi pertama saya Desember 2021 lalu. Ketika federasi balap mobil internasional, FIA, memilih Mohammed Ben Sulayem dari Uni Emirat Arab sebagai presiden barunya. Menggantikan Jean Todt, orang Prancis yang pernah sukses memimpin Ferrari menikmati masa dominasi di Formula 1 pada awal 2000-an.
Ya, di satu sisi, reaksi pertama saya itu mengandung unsur prejudice. Saya tidak kenal Ben Sulayem. Saya hanya tahu dia pernah berkiprah jadi pembalap reli. Saya langsung berasumsi, bahwa ini bukan suksesi yang baik untuk dunia balap mobil. Apalagi dunia sedang memasuki masa transisi meninggalkan bahan bakar fosil menuju bahan bakar sustainable, bahkan elektrik.
Saya masih sangat bisa salah. Dan dasar pemikiran saya adalah banyaknya orang kaya yang menapuk jabatan tertinggi di federasi-federasi olahraga di Indonesia. Baik dari tingkat nasional hingga tingkat kota. Orang-orang kaya yang belum tentu dari background manajemen. Apalagi olahraga.
Saat terpilih, Ben Sulayem menyampaikan program-programnya. Salah satu janjinya adalah menunjuk seorang CEO (chief executive officer) untuk menjalankan operasional federasi layaknya sebuah perusahaan.
Dari situ, saya mulai curious. Nah, ini mungkin untuk menjawab keraguan terhadap kemampuannya untuk memimpin FIA secara full time, sepenuh hati, 24 jam sehari.
Sejak Februari lalu, Ben Sulayem membentuk CEO Recruitment Working Group (badan perekrut CEO). Mencari sosok yang benar-benar profesional, yang bisa me-manage FIA secara full time, mengelola dengan baik keuangannya.
Proses pencarian itu sekarang masih berlangsung. Syarat yang ditetapkan: "Mencari pemimpin yang berorientasi komersial dan mampu melakukan transformasi untuk memodernisasi organisasi, dengan tujuan meningkatkan value yang bisa dirasakan anggota di seluruh dunia."
Jadi, strukturnya akan begini: Presiden FIA dan para petingginya akan menetapkan visi dan kebijakan. Kemudian, CEO ini akan melapor ke atas, bertanggung jawab menyiapkan strategi untuk mewujudkan visi tersebut, juga mengawal keberhasilan operasional dan finansial dari FIA. Termasuk di dalamnya merampingkan struktur organisasi dan operasional, sambil tetap mencari potensi-potensi komersial baru.
Intinya, CEO itu harus mampu menjadikan FIA kembali meraup keuntungan, membuatnya dalam posisi lebih kuat secara finansial untuk jangka panjang.
Kandidat tidak harus berlatar belakang motorsport. Tapi kalau punya latar belakang itu tentu akan lebih baik. Catatan khusus: Kalau bisa egonya rendah, menyadari kalau organisasi ini bekerja untuk mendukung anggota-anggotanya di seluruh dunia.
Membaca itu, dalam hati saya menyimpan rasa kagum. Kalau itu berhasil, pola yang lebih profesional dan komersial bisa jadi template untuk semua federasi dunia. Terang-terangan di depan mengubah federasi menjadi lebih komersial, yang keuntungannya lantas untuk semua anggotanya. Bukan pura-pura mengabdi dan pura-pura tidak mencari uang di olahraga, tapi di belakang layar sangat mencari uang dari situ (dan tidak membagi dengan baik ke anggotanya).
Tentu saja, dalam banyak olahraga dan dalam skala lebih kecil, pola-pola ini sudah banyak diterapkan di dunia. Khususnya di negara-negara yang olahraganya maju.
Sekitar 15 tahun lalu, saya dan teman-teman pengelola perusahaan DBL saya pernah kaget ketika menjalin kerja sama dengan beberapa asosiasi basket di Australia. Misalnya dengan kawasan Gold Coast.
Ternyata, kami menjalin hubungan dengan orang berjabatan CEO. Yang digaji secara profesional, yang ditunjuk dan bertanggung jawab kepada dewan pimpinan di "Perbasi"-nya Gold Coast. Sehingga, kerja sama kami bisa begitu lancar. Karena entiti profesional bersama profesional juga. Sangat lincah dalam membuat keputusan, satu visi dalam pertimbangan komersial dan dampak lain-lain.
Visi seperti ini pun sebenarnya di Indonesia juga ada. Seperti pernah saya tulis, bertahun-tahun-tahun lalu saya diminta bersedia menjadi pimpinan sebuah federasi olahraga yang sangat populer (bukan basket, bukan sepak bola). Yang meminta adalah seorang bos muda, yang perusahaan besarnya menjadi pendukung utama olahraga tersebut.
Waktu saya bertanya ke dia, kenapa saya yang dianggap cocok, dia memberi jawaban sederhana: "Karena (olahraga kami) tidak butuh ketua umum. Yang dibutuhkan adalah CEO."
Karena saya saat itu sangat terlibat di basket (mengelola liga pelajar maupun profesional), saya menolak dengan halus. Tapi, ucapan itu selalu terngiang di kepala saya.
Jangan cari ketua umum. Carilah CEO.
Atau, kalau melihat FIA yang baru: Kalau mencari ketua umum, cari yang punya visi profesional dan komersial, dan mau membentuk organisasi sedemikian rupa dan dipimpin oleh CEO profesional. Apalagi kalau FIA nantinya benar-benar berhasil dengan cara ini. (azrul ananda)