Saya tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan anak saya yang baru naik kelas 6 SD ikut tertawa terpingkal-pingkal. Saking lucunya, kami harus me-rewind beberapa kali adegan tersebut. Adegan di episode keenam, sekaligus terakhir, dari serial superhero Ms. Marvel di Disney+.
"Ini serial Disney favorit keduaku setelah Wandavision," begitu celetuk Andretti, anak bungsu saya itu.
Serial ini benar-benar unik. Saat diskusi dengan beberapa teman, saya menyebut serial ini sebagai "Muslim education for white people" (pendidikan tentang Islam dan komunitasnya bagi orang kulit putih). Tapi dengan cara humor, dengan cara yang ramah, dengan cara yang menyentuh perasaan.
Dua episode pertamanya fokus ke latar belakang Kamala Khan dan kehidupan bersama keluarganya di komunitas Islam di Jersey City. Seperti pernah saya tulis di Happy Wednesday 201 (baca: Maling Sandal Masjid Marvel), ada beberapa momen di dua episode itu yang termasuk powerful. Mengkomunikasikan Islam, perempuan dan hijab, dengan cara yang begitu manis dan menyentuh.
Tiga episode selanjutnya mengajak kita mengikuti pelajaran kultural, sejarah, sekaligus geografi. Mulai dari pesta pernikahan kakak laki-laki Kamala Khan. Berlanjut ke perjalanan ke Karachi, Pakistan, untuk menemui nenek Kamala dan menemukan latar belakang keluarga yang sebenarnya (ternyata separo "jin," separo manusia).
Bahkan ceritanya mundur hingga 1942-1947, menampilkan buyut Kamala (Aisha) dan kisah cinta zaman itu sebelum terjadinya "Partition." Salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah, ketika lebih dari 12 juta orang jadi pengungsi, dan hampir satu juta orang mati, saat pemisahan India dan Pakistan oleh Inggris.
Cerita episode terakhir lantas kembali lagi ke Jersey City. Kembali lagi ke masjid di situ. Sahabat Kamala yang kulit putih, Bruno, mencoba menyembunyikan Kamran (punya kekuatan ala Kamala) di masjid tersebut. Sesuatu yang tentu membuat orang-orang di masjid itu geleng-geleng kepala, sambil menyindir kenyataan yang sebenarnya: Masjid ini justru paling diawasi oleh banyak pihak.
Ketika sosok-sosok antagonis dari Department of Damage Control (pertama muncul di film Spider-Man: Homecoming) masuk ke masjid itulah, kejadian-kejadian paling humoris terjadi. Alangkah luar biasanya para penulis serial ini. Menggunakan lokasi dan situasi yang semestinya sensitif, menjadikannya tempat dan momen untuk menyampaikan pesan paling manis dan kocak!
Seperti di episode awal, Agent Deever dari Damage Control lagi-lagi masuk masjid tanpa melepas sepatu. Ketika dia meminta semua menunjukkan identitas, secara spontan semua isi masjid mengeluarkan kartu identitas. Guyonannya: Mereka sudah terbiasa diperiksa mendadak! Sensitif, nyindir, tapi juga lucu!
Saat diancam, Sheikh Abdullah, Imam masjid itu, lantas mengutip omongan penting kepada Agent Deever. "Saya tak perlu siapa pun untuk membela saya. Saya bahkan tidak butuh Tuhan membela saya, selama saya selalu membela Tuhan. Karena Tuhan Maha Benar," ucap Sheikh Abdullah.
Agent Deever membalas: "Saya tidak butuh mendengarkan kutipan dari Alquran."
Sheikh Abdullah membalas lagi: "Lho, itu omongan Abraham Lincoln."
Percakapan ini lucu luar biasa, dan menyindir luar biasa. Menunjukkan kepada orang kulit putih Amerika, kalah mereka mungkin tidak punya pemahaman apa-apa, tentang segalanya! Bahkan tidak tahu ucapan dari salah satu presiden terkondang dalam sejarah Amerika! Presiden yang dikenal sebagai pembela kesetaraan manusia, apa pun warna kulitnya.
Tidak lama kemudian, Sheikh Abdullah melakukan sesuatu lagi, dan kali ini membuat anak-anak saya terpingkal-pingkal. Khususnya Andretti.
Ketika situasi sudah makin aman, Bruno hendak membawa Kamran ke luar dari masjid, menuju SMA untuk bertemu dengan Kamala dan yang lain. Mereka tentu butuh samaran tambahan.
Sheikh Abdullah pun mengambil dua topi. Satu dipakaikan ke Bruno, satu ke Kamran. Tawa pun meledak keras. Topi Bruno bertuliskan "Haram," topi Kamran bertuliskan "Halal."
Kejadian-kejadian ala Home Alone, plus adegan-adegan aksi terjadi setelahnya. Dan, serial ini berakhir dengan sangat menyentuh. Bagaimana keluarga dan seluruh komunitas --bukan hanya Muslim-- turun turun memberikan dukungan kepada Kamala dan Kamran. Bahkan pada akhirnya, polisi lokal --yang memang tidak ada kaitannya dengan Damage Control-- ikut membentengi komunitas tersebut.
Pesan-pesan yang agak klise, tapi sangat penting dan relevan di era sekarang ini.
Sejauh ini, Ms. Marvel tetap menjadi serial dengan nilai rating tertinggi di Disney+, masih di kisaran 96 persen di Rotten Tomatoes. Cerita superhero remaja yang dibungkus pesan keluarga, komunitas, dan pemahaman sejarah dan agama. Lebih seperti menonton sitkom daripada serial superhero.
Seberapa sukses? Ini masih belum terjawab. Karena Nielsen baru mengeluarkan rating untuk episode pertama. Langsung masuk top ten di seluruh serial streaming, tapi dengan angka yang disebut sebagai terendah di antara semua serial Marvel di Disney+.
Di sisi lain, angka penonton mudanya termasuk paling tinggi. Begitu pula variasi penontonnya, dari berbagai ras dan latar belakang.
Dan yang pasti, serial ini sudah mendapatkan tempat di kalangan warga Muslim di Amerika. Sampai-sampai kantor berita utama Associated Press membuat tulisan khusus tentang dampak Ms. Marvel terhadap warga Muslim di Amerika.
Salah satu kutipan di artikel itu sangat menggugah. Sebelum Ms. Marvel, orang awam Amerika mungkin agak "takut" ketika mendengar orang berucap "Allahu Akbar." Karena suka atau tidak suka, harus diakui stereotipenya dekat dengan kata "teroris."
Di Ms. Marvel, ungkapan "Allahu Akbar" akhirnya bisa didengarkan dalam konteks yang jauh lebih indah. Seperti saat diucapkan dengan begitu bahagia di tengah pernikahan kakak Kamala.
Dalam artikel yang sama, tim penulis Ms. Marvel --kebanyakan dari latar belakang relevan-- mengaku bangga dan lega bisa menghasilkan serial tersebut. Mereka merasa tidak percaya, zaman telah begitu berubah sehingga mereka bisa menulis sebuah serial seperti ini...
Saya sendiri juga setengah tidak percaya ada serial seperti ini di dunia sekarang ini. Di saat perpecahan, polarisasi, seolah-olah jadi menu wajib sehari-hari. Dan saya dulu pernah bertahun-tahun tinggal di sana, sejak SMA sampai selesai kuliah. Dan saya pernah jadi satu-satunya wartawan Indonesia di New York, saat Tragedi 9/11 terjadi, dan menemui langsung komunitas-komunitas Muslim di kawasan tersebut (Jersey City bisa dibilang di kawasan itu).
Sekarang tinggal menunggu, seperti apa pertumbuhan rating serial tersebut. Apalagi, seri-seri terakhirnya sudah terbebas dari persaingan sengit streaming, melawan Obi-Wan Kenobi, Stranger Things, The Boys, dan lain-lain.
Apalagi, episode penutup Ms. Marvel juga memberi petunjuk besar tentang masa depan Marvel Cinematic Universe. Sebuah cameo besar, dan sebuah ucapan penting dari Bruno, bisa punya dampak besar bagi dunia Marvel ke depannya.
Mungkin tidak bisa naik ke nomor satu. Bahkan mungkin tidak butuh jadi nomor satu. Karena yang penting, Ms. Marvel sudah memberi warna baru yang manis dan powerful! (azrul ananda)