Anda sudah nonton drama Jepang First Love di Netflix? Sudah tayang sejak November, saya sendiri sudah agak terlambat menontonnya. Dan saya benar-benar "kecanduan" serial itu. Sudah dua kali menonton penuh sembilan episode, plus beberapa kali khusus menonton dua episode penutup.
"Pasti suka nonton karena pemeran perempuannya ya Mas?" begitu komentar seseorang ketika saya merekomendasikan serial itu. Jawabannya: Tentu ada iyanya, walau sebenarnya yang paling berkesan justru pemeran utama pria mudanya. Dan ini bukan alasan utama saya suka First Love.
"Ceritanya mengingatkan masa lalu ya?" kata seseorang lagi yang kenal saya sejak zaman dahulu kala. Jawabannya: Tentu ada iyanya, tidak perlu mengelak (baca: Happy Wednesday edisi Terlambat Tiga Tahun). Tapi sekali lagi, ini bukan alasan utama saya suka First Love.
Lalu kenapa suka sekali? Bahkan perlu saya tegaskan, saya JATUH CINTA pada serial ini! Jawabannya: Karena ceritanya. Lebih spesifik lagi: Karena bagaimana ceritanya disampaikan dalam bentuk kepingan-kepingan puzzle, yang gambar utuhnya baru kita dapatkan ketika seluruh kepingan itu sudah terpasangkan!
Sebagai penulis, saya selalu melihat bagaimana sebuah cerita disampaikan. Gampang-gampang susah. Depan harus begini, tengahnya begini, lalu ending begini. Yang level tinggi, bagian depan-tengah-belakang itu bisa dikonstruksi sedemikian rupa sehingga imajinasi kita ikut "bermain-main." Sambil jalan, perasaan kita ikut dipermainkan.
Ketika menonton First Love pertama kali, secara terputus-putus karena jadwal dan kesibukan, tentu yang membuat hati ini "hangat" adalah konsep awal serial, jalan ceritanya, dan tentu bagaimana cerita itu berakhir.
Kesempatan menonton secara lebih utuh dan fokus didapat saat terbang berjam-jam, berangkat dan pulang dari liburan keluarga akhir tahun lalu. Wow! Saat itu saya menyadari betapa TOP sang sutradara, Yuri Kanchiku, dalam menulis dan membuat serial ini.
Spesifiknya, seperti ditulis di atas, bagaimana dia menstrukturkan jalan cerita itu. Semua adegan dan dialognya begitu detail, begitu spesifik. Misalnya: Kapan adegan itu keluar, kapan adegan itu menjadi relevan di episode selanjutnya, kapan adegan itu memaksa kita mengingat episode terdahulu, dan kenapa harus ditampilkan sebagai adegan pertama.
Superdetail.
Adegan pembuka misalnya. Saat karakter utama Yae Noguchi dewasa (diperankan Hikari Mitsushima yang imut) mengemudikan taksinya. Dia menyampaikan kutipan yang bukan hanya menjadi pesan utama cerita ini. Apa yang dia ucapkan itu juga menjadi petunjuk bagaimana kita harus menonton sembilan episode serial ini!
"Seseorang pernah bilang, hidup ini seperti jigsaw puzzle. Semua ingatan indah, serta segala pengalaman buruk yang membuat kita ingin mengutuk takdir, adalah bagian-bagian dari puzzle kehidupan yang tidak bisa digantikan."
Sembilan episode itu memang lompat-lompat, dari satu kenangan ke kenangan berikutnya. Tidak urut, tapi taktis urutan penyampaiannya. Persis ketika kita sedang menyusun puzzle. Tidak harus dimulai dari ujung, seringkali harus dari bagian yang tidak nyambung, tapi lambat laun kita akan melihat puzzle itu menjadi sebuah gambar utuh.
Tentu saja, saya tidak akan menyampaikan jalan cerita First Love. Mungkin akan ada sedikit spoiler di tulisan ini, tapi saya ingin Anda mendapatkan pengalaman yang sama saat menyaksikan serial ini.
Pada dasarnya, serial ini terinspirasi dari lagu Jepang superpopuler di akhir 1990-an, First Love oleh Hikaru Utada. Jalan ceritanya pun kurang lebih dimulai saat lagu First Love pertama keluar pada 1998, hingga lagu Hikaru Utada yang lain: Hatsukoi, pada 2018.
Catatan: "Hatsukoi" kalau diterjemahkan artinya juga cinta pertama. Jadi, itu dua lagu berbeda yang menyampaikan "perasaan" yang sama. Dari cinta pertama, hingga cinta pertama 20 tahun kemudian.
Cerita serial ini pun mewakili generasi itu. Anda yang lahir di awal 1980-an mungkin akan merasakan ikatan emosional dengan lagu itu, dan kemudian dengan serial ini. Karena ini menceritakan generasi kalian. Sang sutradara juga lahir pada 1982, jadi tentu dia bisa sangat menjiwai lagu-lagu itu, kemudian menjadikan cerita yang begitu relevan untuk generasinya. Saya sendiri masih agak relevan, walau agak sedikit lebih tua.
Dua karakter utama serial ini, Yae Noguchi dan Harumichi Namiki, adalah bagian dari generasi itu. Seumuran dengan Hikaru Utada. Jadi, ceritanya tentu berawal dari jatuh cinta pertama saat sekolah, saat lagu First Love pertama dirilis. Namun, hidup ternyata tidak sesuai harapan. Butuh 20 tahun lebih sebelum cinta pertama itu benar-benar menjadi cinta yang sesuai harapan.
Melewati berbagai momen penting sejarah Jepang dan dunia. Termasuk pandemi belakangan ini. Bahkan, ceritanya baru berakhir setelah pandemi berakhir!
Jadi, ada dua set pemeran utama di serial ini. Hikari Mitsushima dan Takeru Satoh menjadi versi dewasa, usia 20-an hingga 40. Lalu ada Rikako Yagi dan Taisei Kido menjadi versi remaja.
Hikari Mitsushima dan Takeru Satoh yang memerankan Yae Noguchi serta Harumichi Namiki versi dewasa.
Buat penonton muda, cerita versi remaja bisa relevan. Bagi penonton dewasa, cerita versi dewasa lebih relevan. Benar-benar bisa mewakili segala generasi. Walau ada peringatan: Ada segelintir adegan-adegan tidak pantas untuk anak-anak di serial ini.
Bagi saya, cerita masa mudalah yang paling berkesan. Bagaimana dulu belum ada telepon seluler, harus menelepon di rumah. Bagaimana dulu kencan sambil nonton Titanic. Bagaimana harus menggunakan portable CD player untuk mendengarkan lagu kesukaan. Bagaimana sulitnya berkomunikasi ketika harus menjalin hubungan jarak jauh. Generasi sekarang terlalu gampang!
Aktingnya pun halus sekali. Yang paling berkesan buat saya: Taisei Kido sebagai Namiki muda. Lihat saja sendiri.
Rikako Yagi dan Taisei Kido saat memerankan Yae Noguchi-Harumichi Namiki versi remaja.
Kembali soal lagu. Walau sangat suka lagu First Love, itu bukan lagu Jepang favorit saya. Bagi saya, penyanyi idola saya akan selalu Namie Amuro, dengan lagu favorit Can You Celebrate? (Baca: 20 Tahun Cinta Namie Amuro). Namun, serial ini memberi konteks tambahan untuk lagu tersebut. Juga untuk lagu Hatsukoi.
Bukan sekadar terinspirasi, Sutradara Yuri Kanchiku benar-benar menggunakan lagu First Love sebagai alat cerita penting. Pasti, lagu itu muncul di momen-momen terpenting. Tapi, di penghujung episode delapan, lagu itu juga menjadi alat penting yang mengubah drastis jalan cerita menuju sesuatu yang indah!
Anda yang sudah menonton pasti paham apa yang saya maksud di tulisan ini. Bagi yang belum menonton, cobalah menonton bukan sekadar untuk mendapatkan hiburan. Cobalah menonton sambil mempelajari struktur storytelling-nya.
Ada sembilan episode. Setiap episode mampu membuat perasaan acak aduk. Ada momen tertawa, ada momen menangis, ada momen menangis bahagia. Dan beri perhatian semaksimal mungkin. Karena setiap adegan, setiap ucapan, adalah bagian dari jigsaw puzzle yang --kalau Anda ingat-- akan membuat Anda tertegun di akhir cerita. Ada detail-detail yang baru muncul kenangan aslinya di akhir-akhir cerita.
Dan, benar-benar fokuslah pada 30 menit terakhir episode penutup (sembilan). Sebenarnya 28 menit, tapi kita bulatkan saja 30 menit.
Saya benar-benar acungkan empat jempol, angkat topi, tepuk tangan sambil berdiri, kepada Yuri Kanchiku untuk 30 menit terakhir itu. Karena sebenarnya, beginning dan ending cerita Yae dan Harumichi semuanya terjadi pada 30 menit terakhir itu.
Bagian beginning disampaikan dengan iringan lagu First Love, sedangkan bagian ending disampaikan dengan iringan lagu Hatsukoi. Jenius!
Oh ya, ada pula adegan tambahan mid credit dan setelah end credit, sebagai penegas ending kisah cinta Yae dan Harumichi.
Jangan lupa selalu siapkan tisu! (azrul ananda)