Tujuh belas tahun lamanya waktu sudah berlalu. Waktu itu, usia saya masih kepala 2. Baru menikah setahun. Putra pertama saya, Ayrton, belum lahir. Bahkan, iPhone pun baru diluncurkan kali pertama oleh Steve Jobs setahun kemudian.
Tujuh belas tahun lamanya kami sudah menunggu. "Kami" yang dimaksud adalah penggemar Sacramento Kings. Tujuh belas tahun adalah waktu yang harus dilalui sejak kali terakhir tim tersebut lolos ke playoff NBA.
Tahun 2006, Kings kali terakhir lolos playoff. Tahun ini, Kings menjadi "Cinderella Story" di NBA. Telah mengunci posisi itu setelah mengalahkan Portland Trail Blazers, 29 Maret lalu. Bahkan, kemungkinan besar tim ini akan mengawali playoff di urutan tiga wilayah Barat. Memulai playoff dengan home-court advantage, melawan peringkat enam di kandang sendiri.
Itu berarti, pertengahan April nanti, Golden 1 Center (G1C) di Sacramento akan menjadi tuan rumah laga playoff untuk kali pertama dalam sejarah. Kali terakhir Kings melakukan itu, home-nya masih di Arco Arena, di kawasan Utara ibu kota California tersebut.
Pada 2006, G1C di pusat kota masih berupa pusat perbelanjaan. Sekarang, Arco Arena-nya justru sudah rata dengan tanah, bersiap dibangun ulang menjadi sekolah kedokteran. Arco Arena gedung penting buat pribadi saya. Di sanalah, pada 1999, saya diwisuda dengan gelar --alhamdulillah-- cum laude, jurusan Marketing, California State University Sacramento (Sacramento State). Ceritanya ada di Happy Wednesday edisi 187 "Terima Kasih Arco Arena (Perpisahan sebelum Diruntuhkan)".
Yang kenal saya mungkin sudah tahu betul ini. Saya ini penggemar Kings yang die hard (garis keras). Sudah jadi fans klub tersebut sejak kali pertama tinggal di Sacramento, pertengahan 1990-an. Gara-gara ayah angkat teman saya dulu bekerja di sana, dan kami sering diberi tiket gratis nonton ke Arco Arena.
Saya sudah ngefans Kings sejak zaman susah orisinal. Pindah ke Sacramento dari Kansas City (sebelumnya di Rochester) pada 1985, Kings memang tergolong tim "kecil" di pasar media dan olahraga yang dianggap kecil pula. Selalu kesulitan mendapatkan bintang besar, belum tentu pintar membina pemain muda untuk dijadikan bintang.
Meski demikian, fans Kings ini paling setia. Pertandingan hampir selalu sold out. Suasana stadion termasuk yang paling berisik di NBA.
Saya merupakan saksi sejarah kebangkitan pertama tim itu pada 1996. Waktu itu, Kings berhasil lolos di urutan delapan wilayah Barat. Urutan terendah playoff, harus menghadapi urutan pertama dengan format masih best-of-five.
Kings waktu itu memiliki bintang shooting guard Mitch Richmond, dengan dukungan pemain lain seperti Brian Grant, Tyus Edney, dan Olden Polynice. Lawannya? Seattle SuperSonics yang bertabur bintang, termasuk Gary Payton, Shawn Kemp, dan Detlef Schrempf (yang terakhir ini pernah kami, DBL Indonesia, datangkan ke Indonesia pada 2010).
Kings waktu itu benar-benar underdog. Tidak ada ekspektasi apa-apa. Bisa lolos saja sudah senang. Sempat mencuri kemenangan di game kedua di Seattle, Kings lantas menjamu SuperSonics dua kali di Sacramento.
Pada 30 April 1996, pertandingan playoff pertama dalam sejarah Sacramento diselenggarakan di Arco Arena. Saya adalah saksinya. Saya lupa, berapa harga tiket yang saya beli waktu itu (hampir USD 100 rasanya). Tapi, semua penonton waktu itu dapat kaus untuk menandai momen bersejarah tersebut. Kaus itu tidak dijual. Hanya untuk yang beli tiket pertandingan bersejarah itu. Kaus itu masih saya simpan sampai sekarang (lihat di foto di atas). Walaupun ukurannya 2XL karena yang tersisa hanya itu.
Kings memang kalah hari itu. Kemudian kalah lagi dua hari kemudian. Dan tereliminasi. Tapi, Kings kemudian terus meningkat prestasi dan popularitasnya. Puncaknya pada awal 2000-an, era Chris Webber, Mike Bibby, Peja Stojavovic, Vlade Divac, dan Doug Christie. Seharusnya tim itu juara, namun kalah kontroversial (kuat gosip karena permainan wasit) dari Los Angeles Lakers era Kobe Bryant dan Shaquille O'Neal.
Era sukses itu tidak langsung hilang. Tidak pernah buruk, tidak pernah spektakuler. Tapi di bawah pelatih Rick Adelman selalu lolos playoff. Kali terakhir pada 2006, saat susunan timnya adalah Ron Artest (kini Metta World Peace), Bonzi Wells, Mike Bibby, Shareef Abdur-Rahim, dan Kevin Martin (pernah saya bawa ke Surabaya pada 2009).
Kevin Martin (tiga dari kanan) saat datang ke Surabaya pada 2009.
Waktu itu mereka disingkirkan San Antonio Spurs. Dan setelah itu tim itu berantakan. Pemilik waktu itu (keluarga pemilik kasino Las Vegas) merombak total tim, memecat pelatih. Segalanya jadi berantakan tanpa henti.
Bahkan, tim ini beberapa tahun kemudian sempat terancam dijual dan dipindah ke Seattle atau Anaheim. Berkat protes keras suporter dan warga Sacramento, serta upaya keras pemerintah kota, Kings akhirnya berhasil dipertahankan. Pemiliknya berganti ke yang sekarang (Vivek Ranadive).
Investasi baru dicanangkan, termasuk membangun G1C yang ultra modern di pusat kota.
Itu pun butuh sepuluh tahun lebih untuk mengembalikan performa. Setelah berkali-kali salah manajemen, mereka baru menemukan general manager yang hebat pada 2019. Bernama Monte McNair. Secara bertahap, McNair mengumpulkan pemain muda yang tepat. Membangun aset, untuk kemudian ditukar dengan bintang yang dibutuhkan. Kemudian memilih pelatih yang pas (Mike Brown), dan menambahkan pemain-pemain lain sesuai kebutuhan posisi.
Jadilah tim yang sekarang ini. Dengan starter De'Aaron Fox, Domantas Sabonis, Harrison Barnes, Kevin Huerter, dan rookie Keegan Murray. Plus beberapa pemain cadangan solid seperti Malik Monk dan Davion Mitchell.
Tim ini dirancang untuk jangka panjang. Usia rata-rata starter masih sekitar 25. Kecuali Barnes, yang sudah 30. Harapan McNair, tim ini bisa tumbuh berkembang bersama dalam beberapa tahun ke depan.
Di NBA (atau liga Amerika lain), membangun tim memang tidak bisa asal beli pemain. Regulasi pertukaran, pemilihan pemain muda, dan kenaikan gajinya sangat dikontrol. Jadi seorang general manager harus benar-benar jeli dalam memilih dan mengatur anggaran.
Ternyata, tim ini tumbuh lebih cepat dari harapan. Bukan sekadar lolos playoff, tim ini bisa tiga besar di Barat. Dengan potensi terus berkembang ke depannya.
Ya, tim ini tidak sempurna. Tim ini mampu menjadi offense nomor satu di NBA. Bahkan offensive rating-nya nomor satu dalam sejarah NBA. Tapi masih punya kelemahan bertahan, dan masih punya "penyakit" tim muda, yaitu tidak konsisten. Tapi itu semua bisa berkembang ke depan.
Di playoff nanti, Kings bisa saja kembali tersandung di ronde pertama. Namun, seluruh penggemarnya tidak akan kecewa. Sekarang saja sudah melewati ekspektasi. Lebih penting lagi, sekarang saja sudah mengobati rasa rindu dan sakit selama 17 tahun.
Tak heran, kota ini menyambut kesuksesan lolos playoff bak juara. Usai kemenangan di Portland, para penggemar berkumpul malam-malam di sekitar G1C, menyaksikan cahaya laser ungu ditembakkan ke langit (Light The Beam, penanda kalau Kings menang). Kemudian berteriak-teriak, menyanyi-nyanyi. Banyak di antara mereka masih muda. Dulu masih balita ketika Kings kali terakhir lolos playoff. Ada orang tua yang mengajak anaknya, bercerita bagaimana dulu mereka adalah saksi era keemasan Kings.
De'Aaron Fox (guard Sacramento Kings) dan Light The Beam yang selalu ditembakkan dari atap Golden 1 Center saat Sacramento Kings menang.
Kemudian, ratusan penggemar menunggu di bandara, menjemput kepulangan pesawat jet charteran yang mengangkut pemain Kings pulang dari Portland.
Sebagai penggemar Kings jauh di Indonesia, saya mengikuti terus berita-berita kecil dari Sacramento ini. Ikut terharu rasanya.
Saya juga terharu melihat beberapa teman --bahkan sahabat-- yang bekerja di Sacramento Kings. Salah satunya Scott Freshour, petinggi entertainment sekaligus MC pertandingan, yang sudah belasan tahun bekerja di Kings. Dia "adik kelas" saya di universitas, dan termasuk sukses sebagai "suara" Sacramento Kings.
Bahkan, dia dianggap sebagai salah satu MC terbaik di NBA. Pernah delapan kali jadi MC di laga NBA All-Star. Pernah pula jadi MC di laga tim nasional basket Amerika. Pernah pula diundang jadi MC balapan Formula 1 di Amerika!
Sulit dipercaya, ini adalah kali pertama dia akan menjadi MC laga playoff di Sacramento!
Scott Freshour saat menjadi MC di pertandingan Sacramento Kings.
Usai Kings menang di Portland, Freshour langsung mengirim saya pesan teks. Menanyakan apakah saya bisa ke Sacramento ikut menonton laga playoff nanti. "Dude, you gotta come to Sacramento for a playoff game!" begitu pesannya.
Waaaah, tentu saya pengin. Tapi kok ya playoff-nya pas Lebaran. Wkwkwkwk... Plus urusan sepak bola di Indonesia ini juga masih banyak yang harus dituntaskan. Semoga bisaaaa...
Saat diwawancara Scott Freshour di Sleep Train Arena (Arco Arena), bekas kandang Sacramento Kings.
Tentu saja, Kings belum tentu bisa terus melaju di playoff. Bagaimana pun ini tim muda. Tapi harus ditekankan, tim ini akan tampil tanpa beban. Dan karena bermain sangat offense, akan jadi tontonan yang sangat menghibur.
Sebagai penggemar berat Kings (mungkin yang paling ngefans di Indonesia), saya akan menikmati proses baru ini. Melihat bagaimana Vivek Ranadine, Monte McNair, dan Mike Brown menjadikan lonjakan prestasi ini sebagai perjalanan yang sustainable. Caranya sudah benar. Tahapannya sudah benar. Tinggal bagaimana perjalanannya nanti...
Oh ya, sebagai alumnus Sacramento, ada berita kecil lucu juga terkait kesuksesan baru Kings ini. Andai tim ini terus lolos di babak playoff, maka akan ada satu acara besar harus pindah venue. Saya pikir itu acara konser atau apa. Ternyata, itu acara wisuda Sacramento State 2023!
Tapi universitas itu, dan seluruh warga Sacramento, tentu tidak akan keberatan acara tersebut digeser demi kesuksesan Kings! (azrul ananda)