Pemandangan itu menyenangkan di mata. Teluk yang melekuk dengan perbukitan hijau di sekeliling. Laut selatan Jawa terlihat begitu luas dan biru. Ya Tuhan, ini pemandangan yang sangat mahal.
Sayang, untuk melihatnya, kita harus duduk di dalam sebuah toilet. Sambil jongkok buang kotoran menghadap pemandangan indah itu. Toilet kelas kaki lima, dikelilingi tenda-tenda penjual.
Pemandangan bintang lima, kelas kaki lima.
Pemandangan yang saya maksud itu adalah di beberapa bagian Jalur Lintas Selatan (JLS) dari Tulungagung ke arah Trenggalek. Khususnya di bagian yang masih di kawasan Tulungagung.
Beberapa bulan lalu, ketika kali pertama bersepeda melewatinya (bersama teman-teman Trenggalek dan Tulungagung), bagian pinggir JLS itu masih "virgin". Tidak ada yang menghalangi pemandangan indah itu.
Jawa Timur akhirnya punya "beautiful road" yang bisa menyaingi jalan-jalan terindah dunia. Termasuk yang pernah saya lintasi, seperti Highway 1 di California, Amerika Serikat, yang menyusuri pinggir laut Pasifik.
Apalagi nanti kalau JLS ini sudah menyambung lebih panjang lagi ke timur. Saya sudah melihat foto-foto penggalannya. Alangkah indahnya berkendara melintasinya.
Tapi, waktu kali pertama melewati JLS itu, saya sudah khawatir. Jangan-jangan, tidak lama lagi, pemandangan bintang lima ini akan tertutupi oleh pedagang-pedagang. Dan itu berarti orang akan berhenti tanpa kawasan parkir yang jelas, dan tentu saja membuang sampah secara sembarangan.
Khususnya di pemandangan ke arah Pantai Klatak, mungkin titik tertinggi JLS Tulungagung-Trenggalek itu. Di situ sudah ada kawasan terbuka di pinggir tebing, yang memang bisa dimanfaatkan orang untuk berhenti dan berfoto-foto dengan pemandangan yang spektakuler.
Gowes menikmati JLS di Tulungagung, 30 April 2023. Saat itu masih belum ada orang jualan sama sekali.
Kalau kawasan terbuka ini dikelola untuk memamerkan keindahan, bayangan saya kawasan terbuka ini akan dibuat seperti "view point" di ujung Jembatan Golden Gate di San Francisco. Tempat yang dibuat khusus untuk mobil parkir sebentar, bisa berfoto dengan latar belakangan jembatan dan Teluk San Francisco. Ada toilet terpusat yang bagus di tengah kawasan parkir, yang sama sekali tidak menutupi jalur panjang tempat berfoto.
Feeling saya waktu itu, kawasan view point ini pasti akan menjadi tempat untuk orang berjualan. Sehingga nantinya bukan lagi tempat indah untuk berfoto, melainkan tempat untuk makan murah dan menutupi pemandangan.
Dalam beberapa bulan ini, saya tiga kali lagi melewati JLS Tulungagung-Trenggalek ini. Untuk cek rute event Journey To TGX oleh Mainsepeda dua kali, dan terakhir saat event berlangsung 2 Desember lalu.
Setiap kali lewat, semakin banyak yang menutupi pemandangan. Khususnya di sekitar Pantai Klatak itu. Bukan sekadar di kawasan view point, tapi juga di tanah sempit memanjang di balik pagar besi.
Jadi sangat sulit untuk mencari tempat berfoto yang "bersih". Yang tidak terganggu oleh warung atau bangunan dadakan lain. Sampah-sampah juga berserakan di pinggir jalan. Khususnya yang baunya paling tidak saya suka, kulit durian!
Pemandangan di JLS Tulungagung-Trenggalek ini tidak ke mana-mana. Hanya makin lama makin tertutup.
Beberapa teman saya yang warga Tulungagung ternyata punya kekhawatiran sama. Apalagi bagian yang seolah tidak terkontrol itu ada di kawasan Tulungagung. Yang bagian Trenggalek masih dikawal oleh Pemerintah Kabupaten dan Bupatinya.
Beberapa teman inilah yang meminta saya menulis tentang itu. Supaya ada perspektif dari orang luar yang bisa memberi perbandingan. Teman-teman itu pula yang mengirimi saya postingan di Instagram, yang menunjukkan adanya toilet jongkok dengan pemandangan indah Laut Selatan.
Saya tidak tahu, apakah pemandangan dan keindahan JLS Tulungagung-Trenggalek ini masih bisa diselamatkan. Saya juga tidak tahu apakah tulisan seperti dari saya ini bisa menolong.
Setiap kali berbicara dengan teman-teman yang "pernah piknik jauh", selalu mengeluhkan mengapa di Indonesia ini hal-hal yang berpotensi mengotori justru diberi tempat yang menghalangi pemandangan itu.
Kenapa tidak kawasan kuliner dan rest area dibuat di sisi lain jalan, tidak di pinggir pemandangan. Kalau kawasan kuliner dan rest area itu dibuat di sisi seberang jalan, kan "yang menang" lebih banyak. Yang jualan tetap dapat tempat dengan pemandangan, apalagi kalau kawasannya dibuat lebih tinggi dari jalan. Yang naik mobil melintas tidak terhalang pemandangannya oleh pedagang-pedagang, yang kalau tidak ditata bisa tampak kumuh.
Alam juga menang, karena risiko barang-barang dan sampah dibuang ke tebing, atau langsung ke laut, akan berkurang.
Kalaupun ada kawasan view point, biarkanlah jadi kawasan view point murni. Tidak boleh ada pedagang atau yang lain di situ. Murni hanya untuk berhenti dan foto-foto.
Saya menulis ini tentu ikut memikirkan bahwa yang berjualan juga butuh kesempatan untuk mendapatkan dampak positif ekonomi dari JLS. Saya ingin menegaskan keyakinan saya ini: Kalau tempat berjualannya dibuat lebih rapi, lebih baik lokasinya, nilai jualnya tidak akan berkurang. Malah bisa lebih mahal.
Semoga saja pihak-pihak yang bisa berbuat atau bertindak bisa menangkap positif tulisan saya ini. Karena saya tahu ini juga keluhan dari banyak orang --khususnya di Tulungagung sendiri-- yang mungkin tidak mampu menyampaikan kekhawatiran itu. Atau bahkan takut menyampaikannya.
Saya sendiri terus terang pesimistis langkah drastis bisa diambil. Sudah terlalu banyak contoh keindahan kalah oleh kekumuhan, di mana value bintang lima dikorbankan demi penghasilan kaki lima.
Bagi yang suka berpetualang atau touring ke pegunungan pasti tahu ini. Banyak tanjakan indah yang pemandangannya hilang karena tertutup warung atau bangunan tidak jelas.
Termasuk pemandangan-pemandangan ikonik yang seharusnya termahal. Seperti Gunung Nona di jalan antara Pare-Pare dan Toraja, Sulawesi Selatan. Pemandangan itu sebenarnya sangat ikonik, dan sangat terkenal, karena bukitnya berbentuk seperti "milik Nona".
Tapi, untuk melihatnya, kita harus duduk di dalam restoran-restoran atau warung-warung yang mengisi pinggir jalan. Kalau masih di jalan, Gunung Nona-nya pasti tidak kelihatan. Bahkan, orang mungkin tidak tahu kalau ada pemandangan ikonik di balik rumah makan-rumah makan itu.
Menikmati pemandangan Gunung Nona.
Okelah, mungkin kita harus menyerah. Bahwa jalan-jalan dan pemandangan "lama" sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Sekarang hanya bisa berharap semoga jalan-jalan dan pemandangan "baru" bisa diselamatkan.
Semoga... (azrul ananda)