Sebagai penggemar sitkom, belakangan saya mulai kehabisan tontonan sebelum tidur. Tidak ada lagi yang memikat setelah The Big Bang Theory tamat. Mau mengulang serial lama juga sudah jenuh. Terakhir, mengulang-ulang serial Two and A Half Men.
Terima kasih kepada algoritme YouTube, saya dikenalkan pada serial yang tayang pada 1977 di Inggris: Mind Your Language. Ini jadi tontonan utama saya belakangan, mencoba menuntaskan dari musim pertama sampai ketiga (plus nanti season empat yang kali pertama dirilis hampir satu dekade kemudian).
Entah mengapa, sitkom ini membuat saya merasa sangat relate. Mungkin karena situasinya. Sebuah kelas malam bagi para pendatang (imigran maupun pekerja asing) untuk belajar bahasa Inggris. Dulu, saya adalah siswa pertukaran, di mana saya juga kerap ikut kelas-kelas semacam ini (English as a Second Language alias ESL). Belajar bahasa Inggris di dalam kelas, di mana siswanya datang dari berbagai penjuru dunia.
Di kelas seperti itu, kita bukan hanya belajar bahasa Inggris secara praktis. Secara tidak langsung, kita juga belajar tentang berbagai budaya lain. Sekaligus memahami betapa hebatnya guru-guru bahasa Inggris itu. Yang harus benar-benar sabar, dan harus bisa menyesuaikan penyampaian untuk orang dengan latar belakang begitu beragam. Belum lagi potensi terjadinya kesalahpahaman akibat latar belakang sociocultural yang berbeda-beda.
Mind Your Language menghasilkan banyak komedi dari situasi-situasi itu. Gurunya, pria Inggris bernama Jeremy Brown (Barry Evans), harus menghadapi sederetan siswa dari berbagai negara.
Ada Ali Nadim, muslim dari Pakistan.
Ada Ranjeet Singh, sikh asal Punjab, India.
Ada Taro Nagazumi, karyawan perusahaan elektronik asal Jepang.
Ada Chung Su-Lee, sekretaris kedutaan asal Tiongkok.
Ada Giovanni Capello dari Italia.
Ada Maximillian Papandrious dari Yunani.
Lalu Jamila Ranjha dari India.
Lalu Anna Schmidt dari Jerman.
Lalu si cantik seksi Danielle Favre asal Prancis.
Dan, salah satu yang paling lucu, Juan Cervantes asal Spanyol.
Sebagai tokoh "antagonis", ada kepala sekolah galak Dolores Courtney.
Para murid ini bukan hanya datang dari background berbeda-beda. Latar belakang pekerjaan dan kondisi ekonomi pun beda-beda. Benar-benar menjadikan suasana kelas seperti sebuah "salad bowl" (mangkuk salad), di mana berbagai macam sayuran berkumpul jadi satu, membentuk sebuah menu yang bermanfaat!
Karena ini dibuat pada 1977, tentu saja perbedaan mereka ikut mencerminkan situasi sosial politik masa itu. Berbagai konflik (dan tawa) pun muncul karena situasi yang terjadi.
Ali Nadim dan Ranjeet awalnya selalu saling mengolok, bahkan saling mengancam, karena datang dari sisi Muslim dan Sikh yang berseteru. Su-Lee tak mau duduk di sebelah Taro, karena loyalitasnya pada ajaran Mao. Juan dan Giovanni sama-sama Katolik, tapi tetap saling mengejek karena cara beragama yang berbeda.
Belum lagi perbedaan aksen, pemahaman kiasan, dan lain-lain yang mengakibatkan sering terjadinya kesalahpahaman (dan komedi).
Sitkom ini tentu ikut mengolok-olok bahasa Inggris. Karena bahasa ini memiliki ejaan dan pelafalan yang bisa membingungkan. Misalnya soal kata "fate", "fete", dan "fit". Juan Cervantes berkali-kali berdiri menunjukkan kaki kanan dan kaki kiri menyikapi kata-kata tersebut. Karena bunyi kata-kata itu bisa mirip dengan "feet" (kaki), apalagi dengan logat yang berbeda-beda!
Mind Your Language ini mampu memberi saya hiburan di saat sulitnya mencari film menarik, atau tontonan yang bisa melarikan pikiran kita dari hiruk pikuk keadaan.
Sekaligus mengingatkan saya untuk terus mengapresiasi para guru "native", yang harus dengan sabar mengajarkan bahasa Inggris kepada orang dengan latar belakang berbeda-beda. Saya menghitung juga ayah angkat saya waktu SMA di Kansas, John R. Mohn, yang mampu dengan sabar mengembangkan bahasa saya sambil tetap menghormati dan membiarkan saya menjadi "saya". Tidak memaksa saya jadi orang seperti dia.
Asal tahu saja, keluarga angkat saya ini sama sekali tidak makan daging babi selama setahun. Selama saya tinggal bersama mereka.
Kembali ke Mind Your Language, sulit dipercaya, sitkom yang dibuat pada 1977 masih bisa relevan ditonton di tahun 2024 ini. Yang mengesankan lagi, segala perbedaan dan perselisihan itu pada perjalanannya membentuk pertemanan, persahabatan, bahkan rasa kekeluargaan luar biasa.
Su-Lee dan Taro sering saling membantu. Ali Nadim dan Rajeet sering bekerja sama. Dan lain sebagainya.
Di zaman belum ada internet, apalagi media sosial, semua itu terbentuk karena pertemuan langsung. Karena perdebatan langsung face to face. Karena ketika orang-orang yang berbeda harus bertemu secara rutin, berada di ruang yang sama secara intensif, lama-kelamaan terjalinlah persaudaraan. Terjalinlah rasa saling mendukung dan membutuhkan.
Sesuatu yang tidak bisa dibentuk hanya lewat komunikasi daring. Tidak bisa dijalin hanya lewat ketikan jempol.
Saya mengacungkan empat jempol dan angkat topi kepada mereka yang memproduksi Mind Your Language pada 1977! Banyak hal hebat memang lahir pada tahun itu! Wkwkwkwk... (azrul ananda)