Maklum, sudah lama tidak pacaran. Sabtu malam lalu (30 Maret), istri saya seret pergi ke bioskop. Nonton Midnight.
Hari-hari gini, pergi tengah malam sudah menjadi sebuah perjuangan. Dengan kegiatan sekarang, tidur itu mahal. Apalagi kalau pagi masih ingin gowes. Dan pasti masih ingin, karena bagaimana pun tidak boleh gemuk!
Tapi, Sabtu tengah malam itu benar-benar harus ke bioskop. Tidak peduli sedang lelah. Tidak peduli istri sebenarnya sedang tidak enak badan. Harus ke bioskop. Untung tidak jauh dari rumah, di Surabaya Town Square.
Semua demi Shazam!
Sebagus itukah filmnya?
Yang kenal saya sejak kecil pasti tahu, saya ini kutu buku kelas kakap. Segala bacaan saya lahap. Buku karya pujangga, komik dari segala negara, saya telan setiap hari.
Dari Indonesia, mendiang Hasmi adalah komikus favorit, dan Gundala adalah superhero lokal favorit. Lukisan Gundala asli karya Hasmi dengan bangga terus saya pajang di kantor.
Dari Amerika, Superman merupakan superhero favorit. Dan kemudian seperti “jodoh.” Waktu SMA, saya secara acak dikirim ke kota kecil di tengah Kansas sebagai siswa pertukaran. Bagi yang suka Superman, juga pasti tahu kalau Kal-El ketika bayi juga mendarat di kota kecil di tengah Kansas.
Minimal, Azrul Ananda dan Superman punya satu kesamaan.
Shazam sebenarnya bukan yang paling favorit. Tapi dulu termasuk yang saya suka. Dulu dikenal dengan nama “Captain Marvel” (sebelum terjadi urusan-urusan pengadilan dan kemudian Captain Marvel yang orisinal harus ganti nama menjadi Shazam).
Penggemar komik lama mungkin bisa merasakan keinginan untuk jadi Shazam. Sebagai anak kecil, tentu menjadi impian seru bisa meneriakkan “Shazam!” lalu berubah jadi superhero!
Ketika mulai ada kabar akan dibikin film Shazam! beberapa tahun lalu, saya menanggapinya secara kasual. “Semoga tidak jelek,” begitu pikir saya.
Kemudian, ada dua faktor yang menggelitik saya untuk terus menunggu film itu.
Satu, film ini dipromosikan sebagai “Big versi superhero.”
Anda yang sudah umur 40-an mungkin kenal film Big. Keluaran 1988. Pemeran utamanya Tom Hanks. Bahkan, ini mungkin film yang membuat nama Tom Hanks meroket, sebelum menjadi legenda seperti sekarang.
Ceritanya sederhana. Seorang anak bermain mesin peramal di pasar malam. Keinginannya untuk jadi dewasa terwujud. Dalam semalam, dia berubah dari remaja awal menjadi usia 30.
Berbagai kelucuan terjadi, melihat bagaimana orang bertampang 30 berperilaku ala anak kecil. Adegan bermain piano lantai merupakan salah satu adegan termanis. Adegan kali pertama pegang, ehm, bagian perempuan, juga sangat berkesan. Wkwkwkwk…
Waktu bisa beli video VHS dulu, video Big termasuk salah satu yang pertama saya beli. Dan sampai hari ini, Tom Hanks adalah aktor favorit saya.
Tom Hanks sendiri adalah alumnus California State University Sacramento. Kebetulan lagi, dan sama sekali tidak diniati/sengaja, saya juga alumnus kampus di ibu kota California itu.
Saya suka Tom Hanks. Saya suka Big. Shazam! dibuat sebagai Big versi superhero. Seharusnya cocok!
Faktor penentu adalah ketika kali pertama melihat trailer-nya. Benar-benar “dijual” sebagai komedi keluarga. Lucunya benar-benar dikedepankan. Melihat bagaimana seorang anak belajar jadi superhero dewasa.
Setelah itu, murni tinggal menghitung hari, kapan bisa nonton.
Secara resmi film baru diputar di Amerika pada Jumat, 5 April. Di Indonesia biasanya hari Rabu (Happy Wednesday!), yaitu 3 April.
Ternyata, midnight malam Minggu sebelumnya sudah diputar. Istri pun saya seret ke bioskop.
Selama nonton (dua jam lebih), saya sama sekali tidak ingin melewatkan satu momen. Bahkan ke toilet pun saya tahan sampai benar-benar habis. Istri saya ternyata sempat ketiduran. Dan kami baru sampai rumah jam 3 pagi.
Alhamdulillah, Shazam! tidak mengecewakan. Sudah lama tidak dapat hiburan kocak seperti ini. Film-film superhero belakangan trennya makin serius dan mendebarkan. Atau terlalu jualan special effect yang lama-lama bisa membosankan.
Saya merasa cocok dengan review global film ini, yang mendapatkan skor hingga 93 persen di Rotten Tomatoes.
Tujuan nonton adalah mencari hiburan. Shazam! memenuhi kebutuhan itu. Lucu kocak konsisten sampai akhir. Tidak perlu banyak mikir, walau tetap ada beberapa kejutan dan cerita yang berbelok secara menarik. Ada serem-nya dikit, ada tegangnya dikit. Ketawanya banyak sekali.
Benar-benar Big versi superhero. Sedikit lagu Big ikut muncul. Sebuah piano lantai ikut jadi cameo. Penggemar Big pasti bisa menangkapnya! Aduh, the power of nostalgia!
Apakah ini film paling lucu? Mungkin tidak. Apakah ini film paling bagus? Mungkin juga tidak. Tapi di tengah situasi sekarang yang lebih banyak panas dan tegang, kayaknya cocok untuk jadi penghibur.
Film yang cocok untuk menjelang Pemilu!
Dan ini film keluarga banget. Karena pesan moral utamanya adalah kekuatan keluarga (walau belum tentu keluarga asli). Seperti Big, atau mungkin Home Alone, saya bisa membayangkan film ini tetap asyik dan menghibur ditonton 20 tahun dari sekarang!
Tidak sabar rasanya nonton Shazam! lagi. Tidak sabar bawa anak-anak nonton Shazam! Istri saya yang sempat banyak ketiduran juga penasaran ingin nonton komplet…
Oh ya, jadilah orang yang gaul dan keren. Jangan tergesa berdiri dan pergi saat film berakhir. Seperti kebanyakan film zaman now, selalu ada adegan tambahan di tengah kredit dan di penghujung kredit.
Bahkan rangkaian kredit awal, berupa coretan gambar di kertas, juga ada ceritanya. Kalau Anda gaul berwawasan luas, Anda pasti bisa tertawa saat melihat rangkaian gambar itu.
Kalau tidak paham? Ya maaf, Anda kurang gaul, atau hidup Anda terlalu tegang serius… (azrul ananda)