Tepat 1 Mei, 25 tahun lalu, salah satu peristiwa terbesar dalam hidup saya terjadi. Peristiwa yang sampai hari ini masih sangat terasa, masih sangat membuat sedih, tapi juga terus memberi inspirasi.
Pada 1 Mei 1994, Ayrton Senna da Silva tewas setelah mengalami kecelakaan, saat memimpin Grand Prix San Marino di Sirkuit Imola, Italia. Mobil Williams-Renault FW16 yang dia kendarai tiba-tiba menukik ke kanan. Menghantam dinding tikungan Tamburello dalam kecepatan tinggi.
Senna dinyatakan tewas tidak lama kemudian. Luka di kepala. Batangan suspensi mampu masuk celah helmnya.
Saya ingat betul momen itu. Usia saya belum 17 tahun. Duduk di basement rumah keluarga angkat saya di Ellinwood, Kansas. Karena TV yang ada saluran kabelnya ada di situ, dan balapan Formula 1 ditayangkan oleh ESPN.
Minggu pagi pukul 4 saya sudah duduk di depan TV. Balapan di Eropa semua dimulai pukul 4 pagi kalau di Kansas.
Ketika kecelakaan terjadi, tidak banyak detail muncul. Balapan terus berlanjut. Balapan berakhir. Belum ada update dari komentator. Zaman itu memang belum seperti sekarang, saat internet dan media sosial bisa memberi informasi secara instan.
Saya terus menantikan kabar itu di televisi. Akhirnya muncul. Senna resmi dinyatakan tewas. Air mata menetes dari sudut mata saya.
Ayrton Senna merupakan idola pertama saya. Sejak kali pertama melihat aksinya di tayangan live Grand Prix Monaco di RCTI pada 1992, saya terus tertarik untuk mengikuti kiprahnya.
Bahwa dia sering menang dan juara dunia tiga kali bukanlah yang utama. Karena saat itu pun ada orang lain yang menang lebih banyak dari dia (Alain Prost).
Entah apa itu, tapi yang jelas ada sesuatu tentang Senna…
Jutaan orang di seluruh dunia punya perasaan sama.
Sejak kejadian itu pula, saya sudah langsung punya kemauan tegas. Kelak, kalau punya anak laki-laki, dia akan saya beri nama Ayrton Senna.
Pada 24 Januari 2008, anak pertama saya lahir. Laki-laki. Namanya jadinya “Ayrton Senninha Ananda.” Tidak jadi “Ayrton Senna.” Gara-gara istri dan mertua saya Jawa banget. Khawatir “Senna” malah dipanggil jadi “Seno.”
“Senninha,” menurut saya, adalah pengganti yang pas. “Senninha” adalah karakter komik/kartun yang muncul pada Januari 1994, dibuat oleh Senna dan keluarga untuk mempromosikan nilai-nilai terbaik untuk anak-anak. Khususnya di Brazil. “Senninha” adalah “Little Senna.” Seorang anak berusia sepuluh tahun, berpetualang dengan kebaikan.
Sampai hari ini, misi anak-anak dan sosial Senna itu terus berlanjut. Institut Ayrton Senna masih terus beroperasi. Mengembangkan nama dan legendanya secara bisnis, lalu mendonasikan hasilnya untuk membantu anak-anak kurang mampu di Brazil.
Ya, ini salah satu “Faktor X” mengapa Senna begitu melegenda. Dia lebih dari sekadar pembalap. Lebih dari sekadar juara dunia. Banyak ucapannya, tindakannya, bergaung lebih dari sekadar soal balap.
Soal kemiskinan itu misalnya. Walau lahir di keluarga berada, dan kemudian jadi superkaya, salah satu kutipannya yang paling kondang justru tentang memerangi kemiskinan.
“Orang-orang kaya tidak bisa hidup di sebuah pulau yang dikelilingi oleh kemiskinan. Kita semua menghirup udara yang sama. Kita harus memberi kesempatan untuk semua orang. Minimal, kesempatan mendasar yang sama.”
Begitu salah satu kutipannya yang paling kondang.
Senna memang unik. Dan dia bukan orang yang sempurna. Dia membuat kesalahan. Dia melakukan hal-hal yang menyebalkan.
Dua puluh lima tahun setelah dia tewas, masih banyak artikel dan cerita ditulis tentang dia. Semakin mengungkap siapa dia yang sebenarnya, dalam sudut pandang yang terus berkembang.
Ron Dennis, mantan bos McLaren yang mengantarkannya meraih juara dunia tiga kali, termasuk orang yang paling paham tentang Senna. Menurut Dennis, ada beberapa kualitas yang membuat Senna begitu unik.
Senna, kata Dennis, sangatlah independen dan percaya diri. Sebelum masuk F1, Dennis pernah menawarinya dana sponsor untuk balapan di kategori junior. Sebagai pengganti, dia berhak jadi orang pertama yang mengontraknya masuk F1.
Senna menolak tawaran itu. Senna sangat yakin dengan dirinya sendiri. Ingin menentukan nasibnya sendiri. Senna akhirnya baru gabung McLaren pada 1988, tahun kelimanya di F1. Sebelumnya dia memilih sabar. Berkembang dulu di tim-tim lebih kecil, Toleman dan Lotus.
Prinsip Senna memang kuat. Tapi itu juga membuatnya lebih manusiawi, membuatnya berani mengambil risiko berlebih. Pada Grand Prix Jepang di Suzuka 1990, Senna dengan jelas menabrak Alain Prost. Keduanya sama-sama keluar dari lomba, dan hasilnya Senna jadi juara dunia. Bagi Senna, ini adalah “pembalasan” dari insiden di sirkuit yang sama pada 1989. Waktu itu keduanya bertabrakan, Senna didiskualifikasi, dan Prost jadi juara dunia.
Kata Dennis, data jelas menunjukkan bahwa Senna sengaja menabrak pada 1990. Usai momen impact, dia terus tancap gas memastikan Prost tidak bisa menyelesaikan lomba.
“Saat dia kembali ke pit, saya bilang kalau saya kecewa padanya. Dia tahu betul itu. Dia tidak perlu bicara apa-apa. Itu adalah salah satu contoh langka di mana dia menunjukkan kelemahannya,” tutur Dennis.
Dari semua karakter Senna yang disampaikan Dennis, ada satu yang semakin meneguhkan “kecintaan” saya pada Senna. Bahwa keseriusan Senna dalam mengejar ambisi, fokus dan dedikasinya, membuat orang-orang di sekelilingnya ikut memberikan yang terbaik.
Bahkan Dennis, sebagai bos Senna, mengaku ikut terinspirasi oleh itu. “Saya meningkatkan (komitmen) saya karena saya bisa melihat komitmen yang dia tunjukkan dalam mengemudi. Seperti halnya situasi lain. Kalau seseorang menunjukkan bahwa kita bisa berbuat lebih baik, maka kita pun akan berbuat lebih baik,” kata Dennis.
“Dia (Senna) menunjukkan bahwa dia siap melakukan apa saja untuk mencapai tujuan. Dan dia memaksa saya untuk melakukan hal yang sama. Menurut saya, kita selalu mencoba menjadi sebaik orang yang ada di sekitar kita. Saya suka prinsip dia soal ini,” tandasnya.
Sekarang, 25 tahun sudah berlalu sejak tragedi di Tamburello itu. Nama Senna terus berkibar. Silakan pergi ke balapan F1 di negara mana saja, merchandise Senna masih eksis. Bahkan mungkin termasuk paling laris. Mengalahkan banyak tim yang sekarang masih eksis.
Di Brazil, 1 Mei ini ada pesta besar-besaran di Sirkuit Interlagos. “Senna Day” adalah nama acaranya, diselenggarakan oleh Institut Ayrton Senna. Ada lari 10 km, konser musik, balapan go-kart, pameran barang-barang Senna, demonstrasi mobil super McLaren Senna, dan lain sebagainya. Ada acara khusus bertema “Senninha,” seperti lomba lari anak-anak dan acara anak-anak lain.
Nama Senna, minimal di Brazil, mungkin tidak akan pernah pudar. Di hati saya juga tidak pernah tergantikan. Sangat hebat, tapi masih sangat manusia.
Saat wisuda pada 1999, topi wisuda saya modifikasi, berwarna kuning dengan garis hijau dan biru gelap. Ala helm Ayrton Senna. Kamar saya waktu kecil juga berwarna kuning, dengan garis hijau dan biru gelap. Apartemen saya (sebelum mendarat ke rumah), di langit-langitnya juga ada logo besar “S” milik Ayrton Senna.
Di ruang kantor saya sekarang pun salah satu foto utama yang terpajang adalah foto Senna, dengan tatapan matanya yang khas. Tatapan mata seseorang yang begitu “dalam,” tapi juga seolah terlihat sedih. Seperti orang yang tersiksa batinnya, mungkin karena selalu mengejar kesempurnaan.
Hari ini, 1 Mei 2019, saya akan mengenang Senna dengan bersepeda mengenakan helm merek Bell (juga sponsor Senna), yang sudah saya cat kuning dengan garis hijau dan biru gelap. Lalu seharian saya akan memakai kaus/polo Senna/Senninha. Hari ini, saya tidak akan lupa untuk mengucapkan: “Obrigado Ayrton.”
Sebagai pemuncak, saya akan menonton film dokumenter Senna karya Asif Kapadia. Sebuah dokumenter yang begitu menyentuh, menceritakan kiprah sang legenda. Kalau Anda belum pernah nonton, saya sarankan untuk nonton. Karena tidak harus jadi penggemar Ayrton Senna untuk belajar dan terinspirasi... (*)