Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

“Kita harus sangat menghormati guru. Kita harus memperlakukan guru seperti tentara, dan kita harus menggaji mereka seperti dokter.”

***

Kutipan itu begitu berkesan di hati saya. Baru-baru ini saya mendengarnya. Lebih tepat melihatnya dalam sebuah wawancara di YouTube. Kutipan ini muncul dalam sebuah wawancara radio (yang di-video-kan) di Amerika, diucapkan oleh seorang tokoh politik muda.

Sebelum membaca lebih lanjut, mungkin saya harus menjelaskan dulu konteks dan situasi di balik kutipan itu.

Masalah pendidikan di mana-mana memang sama. Ini masalah paling mendasar untuk masa depan. Tidak terkecuali di negara seperti Amerika. Dan salah satu topik utama adalah gaji guru. Belakangan, ini juga menjadi isu besar di Negeri Paman Sam.

Ketika sang tokoh muda ini bilang soal memperlakukan guru seperti tentara, yang dia maksud adalah menghormati mereka seperti tentara. Di Amerika, yang namanya tentara memang sangat mendapat perhatian dan perlakuan khusus.

Lihat saja pertandingan-pertandingan olahraga profesional di Amerika, seperti NBA (basket), MLB (baseball), NFL (American Football), bahkan NASCAR (balap mobil). Sering sekali ada penghormatan terhadap anggota militer, atau veteran perang, dalam pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan.

Guru memang belum pernah diperlakukan sebesar itu.

Apalagi soal gaji. Sama seperti di Indonesia, banyak yang menganggap gaji guru belumlah layak. Apalagi ini menyangkut masa depan anak bangsa. Dan terus ada perdebatan, guru seperti apa yang layak mendapat gaji besar…

Tentu saja, karena ini Amerika, sang tokoh politik menyampaikan argumen berdasarkan data.

Dia menyebut hasil penelitian seorang teman, yaitu seorang ekonom. Sang teman melakukan penelitian berdasarkan data pajak, meneliti seberapa besar perbedaan gaji seseorang, berdasarkan siapa gurunya dulu saat masih TK.

Dan ternyata, seorang anak yang guru TK-nya dianggap terbaik, dalam hidupnya bisa mendapat penghasilan jauh lebih banyak. Selisihnya sampai USD 300 ribu (di atas Rp 4 miliar) per tahun!

“Itu betapa besarnya dampak seorang guru terhadap penghasilan seseorang dalam setahun!” tandasnya.

Kebetulan, sang politikus ini memang punya atensi khusus di dunia pendidikan. Ayah-ibunya dosen, suaminya guru SMP. Dia terus menyebut betapa beratnya pekerjaan seorang guru. Dia juga punya kredibilitas membandingkan guru dengan tentara, karena dia juga veteran perang di Afghanistan.

Dalam program yang dia impikan, harus ada dana khusus pemerintah pusat untuk pendidikan, khususnya gaji guru. Dan dana terbesar harus untuk sekolah-sekolah terbesar, yang memiliki murid kurang mampu terbanyak. 

***

Omongan sang politikus muda itu terus membuat saya berpikir. Soal sekolah, di negeri kita, benar-benar membuat orang tua waswas.

Bagi yang keluarga mampu, sama sekali tidak masalah. Bisa membayar sekolah yang mahal, yang asumsinya punya fasilitas dan guru terbaik. Dan kalau mendengar omongan dari Amerika itu, guru yang baik nantinya akan membuat anak-anak kita baik pula di masa depan.

Bagi yang tidak mampu? Alangkah tidak adilnya.

Kebetulan, anak saya masih SD semua. Kebetulan, kami keluarga mampu, bisa menempatkan mereka di sekolah mahal. Tapi saya selalu bicara dengan istri saya, bahwa saya ingin anak-anak saya lanjut ke sekolah negeri. Saya dulu SD dan SMP negeri, walau beruntung SMA dapat beasiswa ke Amerika.

Baru-baru ini, saya juga berbincang soal ini dengan Bu Risma, wali kota Surabaya. Bu Risma sudah saya anggap sebagai ibu/kakak sendiri, dan beliau punya passion begitu besar terhadap dunia pendidikan. Dia pun menantang saya untuk menempatkan anak saya di sekolah negeri.

Tahun depan, keputusan itu harus dibuat. Tahun depan, anak pertama saya masuk SMP. Secara umum, saya dan istri sudah siap. Tapi waswas-nya tidak kunjung reda.

Saya terus membayangkan, sampai kapan perasaan waswas seperti ini akan berlangsung. Apakah selamanya akan begini? Dan rasanya, tidak ada program yang benar-benar drastis untuk menjamin masa depan pendidikan di negara kita. Dan pembicaraan soal itu selalu kalah dengan segala macam isu lain, yang sama sekali tidak memikirkan masa depan.

Kalau Amerika saja kesulitan menghargai guru-gurunya, apalagi Indonesia?

Kalau terus seperti ini, guru-guru terbaik (dan mahal) akan selalu bekerja di sekolah-sekolah mahal. Itu manusiawi. Kalau terus seperti ini, berarti akan selalu ada kesenjangan.

Pembicaraan soal gaji guru di Amerika ini terus memancing minat saya. Dan saya harus berterima kasih kepada politikus muda itu, karena terus membicarakannya secara publik.

Maklum, dia memang sedang mengajukan diri sebagai calon presiden Amerika Serikat. Kalau berhasil, maka dia akan menjadi presiden Amerika termuda dalam sejarah.

Pria yang sedang naik daun itu namanya Pete Buttigieg. Usianya 37 tahun, dan sekarang menjabat sebagai wali kota di South Bend, negara bagian Indiana. Suaminya, Chasten, adalah seorang guru. (azrul ananda)

Comments (3)

Catatan Rabuan

Presiden Milenial (Asli)

Sekarang ini, ngomongin soal milenial itu seperti penting banget. Kalau pergi ke forum marketing, temanya bagaimana mena...

Selamat untuk 10 Pemenang Kisah 'Ibu Paling Tangguh'

Setelah membaca satu per satu kisah 'Ibu Paling Tangguh' di kolom komentar Happy Wednesday ke-47 edisi Untuk Ibu Paling...

Setelah Mobil Listrik... (Visi Transportasi)

Lima sampai sepuluh tahun ke depan kita akan menjadi saksi revolusi transportasi dunia.

Welcome To Happy Wednesday 2.0

Sudah lebih dari setahun saya tidak menulis Happy Wednesday, sebuah kolom hari Rabu di mana saya bisa menulis sesuka hat...