Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Saat libur Lebaran, saya biasanya tidak ke mana-mana. Menikmati ketenangan Kota Surabaya. Kalau pun “mudik,” hanya sebentar mengunjungi mertua di Kediri. Seperti tahun ini.

Bagi pembaca yang tidak tinggal di Jawa Timur, Kediri tidak jauh dari Surabaya. Jadi “mudik” keluarga saya tidak terlalu sengsara. Hanya sekitar 120 km. Kalau naik mobil paling sekitar 2 jam, kalau agak padat 3 jam.

Rekor saya naik sepeda nonstop Surabaya-Kediri adalah 3 jam 45 menit. Serius. Sama sekali tanpa berhenti, hanya membawa dua botol minum di sepeda plus beberapa makanan di kantong jersey.

Pernah saya mudik gowes naik tandem bareng istri. Butuh sekitar lima jam, tapi karena kita berhenti-berhenti untuk istirahat dan makan. Anak-anak naik mobil, kita berdua naik sepeda tandem. Gowesnya bareng adik saya, Isna, dan suaminya, Tatang. Kebetulan Tatang mudiknya ke Tulungagung, tak jauh dari Kediri.

Tahun ini, kami berencana ke Kediri pada hari pertama Lebaran. Salat Ied dulu di kompleks rumah, maaf-maafan dengan keluarga besar di Surabaya, setelah itu cusss naik mobil ke Kediri naik Honda Odyssey.

Kebetulan, ini kali pertama saya nyetir ke Kediri melewati jalan tol baru. Istri saya sudah berulang kali, mertua saya malah sangat rutin Surabaya-Kediri-Surabaya. Katanya enak, bisa sampai tak lebih dari 90 menit.

Berangkatnya ke Kediri memang benar, terasa jauh lebih cepat daripada “jalan darat.” Lalu lintas tidak seberapa padat. Kalau pun padat lumayan lancar. Sekitar 1 jam 40 menit kami sampai di rumah mertua.

Sepanjang perjalanan, ada kekaguman tersendiri melihat mobil-mobil tertentu di jalan tol. Mobil-mobil yang sepertinya baru/relatif baru dibeli, mobil-mobil yang bagus-bagus dengan harga terjangkau.

Terasa kalau mobil-mobil itu “baru.” Dan keluarga pemakainya juga baru kali ini punya mobil.

Saya jadi ingat cerita ayah saya dulu. Katanya, sulit mengalahkan kebahagiaan ketika akhirnya mampu membeli mobil pertama. Saya ingat betul mobil pertama keluarga kami dulu. Sebuah Daihatsu Taft awal 1980-an berwarna cokelat.

Sebelum itu memang tidak punya mobil. Bukti otentiknya masih ada sampai sekarang. Ada bekas luka di kepala saya, dampak kecelakaan motor yang dialami keluarga waktu saya masih kecil. Waktu belum punya mobil.

Kembali ke mobil-mobil baru itu. Di jalan, kelihatan kokmereka yang mana. Biasanya cenderung lebih lamban dari yang lain, kadang terlalu lamban meski sedang berada di jalan tol.

Bahkan tetap lamban walau ada di sisi kanan tol, di jalur cepat. Dan tetap diam di situ walau sudah disinari lampu jauh berkali-kali, atau diklakson oleh mobil-mobil lain di belakangnya.

Mereka ini yang sering membuat mobil-mobil di belakang harus melakukan gerakan evasif, menyalip lewat bahu jalan.

Saya jadi ingat salah satu istilah paling populer di balap Formula 1, soal mobil-mobil barisan belakang yang harus berkali-kali di-overlap oleh pimpinan lomba.

Selisih kecepatannya begitu mencolok, sehingga mobil-mobil papan bawah itu dianggap setara dengan chicane atau tikungan “S” tambahan di sirkuit. Istilah populernya adalah “mobile chicane” alias tikungan yang bergerak.

Ketika di jalan tol, mobile chicane mungkin tidak terlalu masalah. Karena bisa disalip di jalur lain. Nah, ketika keluar dari jalan tol itu yang bikin geleng-geleng kepala. Ketika hanya ada satu jalur, dan jalur lainnya berlawanan arah, para mobile chicane itu selalu sukses menghasilkan antrean panjang di belakangnya.

Suatu waktu saya “nyangkut” di belakang sebuah sedan mungil. Masih anyar gres. Isinya penuh satu keluarga. Tidak bisa menyalip karena jalur berlawanan juga lumayan padat.

Saya lihat dashboard, kecepatan saya di belakang mobil itu tak sampai 40 km per jam. Dalam hati saya berpikir, kalau seperti ini lebih cepat saya naik sepeda! Serius!

Dan karena terus pelan, saya jadi terbayang jalan-jalan antar-kota khusus sepeda yang pernah saya lewati di beberapa tempat. Seperti Colorado, Amerika Serikat. Benar-benar “jalan tol khusus sepeda” berjarak ratusan km, menghubungkan satu kota dengan yang lain. Lengkap dengan rest areakhusus sepeda, menyediakan tempat pengisian air dan pompa ban.

Dan bukankah masa depan transportasi adalah kendaraan alternatif? Termasuk sepeda, yang kembali jadi opsi di negara-negara maju.

Anyway, mungkin akan sangat mudah untuk terpancing, menjadi emosi dan marah, saat harus melewati begitu banyak mobile chicane. Tapi kemudian saya terus mencoba menyadarkan diri. Harus bisa memaklumi.

Harus bisa membayangkan, betapa bahagianya orang yang sedang mengendarai mobil-mobil itu. Yang dengan bangga bisa membawa keluarga naik mobil. Hasil usaha dan kerja keras.

Saya terus ingat ucapan ayah saya. Bahwa sulit mengalahkan kebahagiaan seseorang saat akhirnya mampu membeli mobil pertamanya.

Dan bukankah hidup ini selalu berproses? Tidak lama lalu, pasar sepeda motor meledak di Indonesia. Memberi opsi mobilitas luar biasa untuk orang-orang yang sebelumnya menghadapi kendala transportasi.

Dari situ muncul proses belajar baru. Yang naik mobil emosi lihat ulah motor, yang naik motor tidak paham rasanya naik mobil. Yang naik mobil belajar “berenang” bersama motor-motor di jalan, yang naik motor belajar berperilaku lebih tenang dan aman di jalan.

Tidak lama lalu pula, Lion Air membuka peluang bagi makin banyak orang untuk naik pesawat. Dari Aceh sampai Papua, khususnya di kota-kota yang selama ini tidak ada bandara. Jutaan orang “belajar” naik pesawat. Dan proses itu sampai sekarang masih berlaku.

Baru-baru ini misalnya, saya masih kasihan melihat situasi di dalam pesawat. Ada rombongan penumpang yang tidak tahu harus duduk di mana di dalam pesawat. Bahkan, ada yang tidak mau duduk di nomor 21, walau nomor boarding pass-nya menyebut demikian. Alasannya? Nomor 21 tidak sama dengan nomor rumahnya di desa. Serius!

Salut buat pramugari dan petugas bandara yang mau terus bersabar mengajari kelompok ini bagaimana naik pesawat! Ini pasti tidak bisa dimaklumi dan ditoleransi di negara-negara maju…

Jadi, segalanya harus ada prosesnya bukan? Dan prosesnya tak pernah berhenti. Sekarang, dengan ada begitu banyaknya jalan tol, masyarakat kita harus berproses lagi. Semakin banyak orang mendapatkan akses jalan tol, yang sebelumnya tidak pernah tahu bagaimana mengemudi di jalan tol.

Bahwa ada garis pemisah lajur. Kanan untuk cepat, kiri untuk lambat. Bukan di tengah-tengahnya.

Makin lama pasti makin baik. Makin biasa.

Kecuali mungkin truk-truk bermuatan berlebih kali ya? Yang sepertinya abadi menjadi massive mobile chicane di jalan raya maupun jalan tol! (azrul ananda)

Comments (9)

Catatan Rabuan

Ilmu Presenter Memancing Ikan

Memancing ikan atau presenter? Ya, tulisan ini memang akan mengawinkan dua topik yang jauh berbeda. Di satu sisi soal...

Senangnya Dirampok di Kereta

Saat ke Amerika, saya paling suka kembali ke tempat yang familiar. “Pulang kampung” ke Kansas tempat dulu SMA, atau ke S...

Kangen Kedinginan

Hidup memang belum normal. Akhir Januari ini bisa jadi penanda khusus hidup saya. Untuk kali pertama entah sejak kapan,...

Lombok Pertama

Akhirnya, setelah sekitar setahun, saya naik pesawat lagi. Ya, ya, ya, ini bukan sesuatu yang istimewa buat banyak orang...