Saat ke Amerika, saya paling suka kembali ke tempat yang familiar. “Pulang kampung” ke Kansas tempat dulu SMA, atau ke Sacramento, California, tempat dulu kuliah. Untuk “lepas rindu” dan “reset pikiran.” Kemudian saya mengimbanginya dengan mengunjungi tempat yang sama sekali baru. Tempat yang unik, yang belum tentu umum
Liburan tahun ini, saya membawa keluarga ke sebuah kota kecil di negara bagian Arizona. Namanya Williams. Letaknya di ketinggian 2.000 meter. Menurut sensus 2017, penduduknya hanya 3.000-an orang.
Di sana, kami menjalani masa-masa menyenangkan. Bahkan merasa sedih dan menyesal. Seharusnya meluangkan waktu lebih lama.
Kota ini begitu berkesan. Kota ini begitu punya kepribadian. Seperti terjebak di mesin waktu, kembali ke era 1950-an.
Saya berpikir, kalau kota-kota “kecil” di Indonesia pengin punya masa depan, Williams bisa jadi inspirasi. Kota yang sebenarnya tidak punya apa-apa, bahkan terancam sirna, justru berubah menjadi “pintu gerbang” istimewa.
Terus terang, kami “tidak sengaja” menemukan Williams. Tujuan utamanya bukan kota itu. Bahkan, kota itu seharusnya hanya menjadi tempat singgah untuk melihat sesuatu yang lebih terkenal, lebih istimewa.
Tujuan utama kami adalah untuk melihat Grand Canyon. Salah satu tempat paling ajaib dan paling indah di dunia.
Kami akhirnya memilih via Williams karena saya mencoba menghindari sebuah tugas. Yaitu tugas untuk menyetir berjam-jam sampai ke Grand Canyon, lalu menyetir lagi berjam-jam pulang dari sana.
Kebanyakan turis yang ke Grand Canyon mencapainya dari Las Vegas, di negara bagian Nevada. Menuju kawasan turisnya, bisa dilakukan sebagai day trip. Naik mobil/bus lima jam ke sana, menikmati keindahannya, lalu naik mobil/bus lagi lima jam kembali. Itu kalau tidak ingin menginap.
Bisa juga pakai helikopter. Tentu harganya jauh lebih mahal dan kesannya bisa berbeda.
Karena tak mau nyetir sejauh itu, konsultasi dengan Mbah Google pun kami lakukan. Berkenalanlah kami dengan Williams. Kota yang bisa dicapai hanya tiga jam dari Las Vegas, sambil melewati pemandangan hebat seperti Hoover Dam.
Ada paket memikat kalau kami lewat Williams. Paket yang belakangan semakin populer untuk turis domestik. Yaitu dengan naik kereta dari Williams, langsung ke South Rim (bibir terpopuler Grand Canyon), kemudian balik naik kereta lagi ke Williams.
Paketnya sangat memikat. Harga relatif terjangkau untuk ukuran Amerika, dengan segala fasilitas sangat mudah. Sudah mendapatkan penginapan, makan pagi, makan siang, dan makan malam. Pokoknya hanya perlu datang ke Williams, parkir mobil, lalu semuanya beres.
Semua terpusat di Grand Canyon Railway & Hotel. Stasiun kereta, hotel, dan pusat kota dalam lingkaran satu blok! Untuk keluarga dengan tiga anak kecil, ini sangat memudahkan dan melegakan.
Dan ternyata, bukan hanya kemudahan yang disediakan. Pernak-pernik di sekeliling paket itu juga mengesankan. Ini memang Amerika. Harus ada sesuatu yang “Wow” kalau ingin menang bersaing.
Plus, ternyata ada manfaat lingkungan luar biasa yang dihasilkan!
Harus saya tegaskan lagi, kota kecil ini patut diacungi jempol.
Sebenarnya, bila tidak menjadi “gerbang” menuju Grand Canyon, Williams punya daya tarik lain. Williams merupakan salah satu kota yang dilalui oleh Route 66, jalan antar-negara bagian (antar-provinsi) lama yang sangat legendaris di Amerika. Jalan yang menghubungkan Chicago hingga Los Angeles, yang diabadikan dalam berbagai film dan lagu.
Seperti kebanyakan kota yang dilewati rute itu, keberadaan Williams sempat terancam ketika Amerika terus membangun highway (jalan tol) yang lebih besar dan cepat. Karena pembangunan jalan baru, orang tidak perlu lagi melewati kota-kota seperti Williams.
Untuk gambaran lebih jelas, mungkin Anda perlu nonton film animasi Cars buatan Pixar. Kota Radiator Springs di film itu merupakan komposit dari berbagai kota yang jadi “korban” pembangunan jalan tol. Williams sangat mirip dengan Radiator Springs.
Sejarah bahkan mencatat Williams sebagai kota terakhir yang jadi “korban” pembangunan Highway 40, jalan tol yang antara lain menghubungkan Arizona Nevada. Momen “mengerikan” itu terjadi pada 13 Oktober 1984.
Bukannya mati, Williams lantas menemukan jalan hidup. Bukan hanya bertahan hidup, mereka bahkan menemukan masa depan yang sangat cerah. Masa depan yang tidak akan terganggu oleh jalan tol. Masa depan yang ditopang oleh industri yang tak akan pernah ada habisnya: Industri pariwisata.
Untuk “jualan” Route 66, mereka mempertahankan kota ini seperti masih pada era 1950-an. Jalan utama kota, yang merupakan bagian dari Route 66, masih memiliki bangunan-bangunan “kuno” yang mengesankan. Hotelnya masih dipertahankan kuno, toko-tokonya masih terlihat kuno, bahkan restorannya dibuat berneon-ria ala 1950-an. Sangat Instagrammable. Seperti habis masuk mesin waktu.
Tak heran, banyak rombongan motor besar turing dan pesta di sini. Rombongan mobil-mobil antik juga suka parade ke sini. Acara-acara lokal pun dirancang untuk mengundang turis. Seperti rodeo dan pameran mobil klasik.
Pokoknya, kalau pengin ke tempat yang “Amerika banget,” Williams kandidat kuat.
Di jalan utama ini, restoran-restoran (dan bisnis) milik warga lokal dipertahankan. Menawarkan makanan khas Amerika dengan masakan gaya rumahan. Sedangkan restoran fast food dan jaringan modern diberi tempat di pinggir kota. Bersamaan dengan hotel-hotel jaringan modern. Tengah kotanya, sepanjang enam blok, harus “steril” seperti zaman dulu.
Williams lantas memaksimalkan lagi satu “Kartu AS.” Bahwa mereka punya stasiun kereta kecil, yang menjadi jalur penghubung menuju South Rim (bibir selatan) Grand Canyon.
Jalur kereta itu sejauh 103 km itu dibangun pada 1901. Tapi kemudian “mati” pada 1970-an, karena orang tidak lagi naik kereta. Memilih naik mobil.
Pada akhir 1980-an, jalur ini dihidupkan lagi lewat investasi swasta. Kali ini didesain untuk turis. Di sebelah stasiun, dibangun pula sebuah hotel lengkap dengan restoran dan gift shop-nya.
Investasi ini membuahkan hasil.
Sekarang, per tahun, kereta ini mengantarkan lebih dari 225 ribu turis menuju Grand Canyon dan balik! Saat musim dingin, yang seharusnya sepi, mereka punya program “The Polar Express” (semacam perjalanan salju) yang mampu menjaga jumlah penumpang.
Dan memang, untuk ikut program-programnya sangat mudah.
Ketika membuka situs resminya, sangat mudah membeli paket dan jam yang diinginkan. Bisa datang sore, bisa datang pagi. Ada jadwal yang siap mengakomodasi untuk mengunjungi Williams dan Grand Canyon.
Setiap hari, ada dua jadwal kereta dari dan ke Williams. Berangkat pukul 09.30 atau 10.30. Baliknya juga dua. Kembali pukul 15.30 atau 16.30. Perjalanan pergi dan pulang masing-masing 2 jam dan 15 menit. Tapi sama sekali tidak membosankan.
Saya dan keluarga mengambil jam yang lebih siang. Berangkat pukul 10.30 dan balik pukul 16.30.
Semua aspek perjalanan sangat dipikirkan. Kenyamanan penumpang, dan yang utama kesenangan, sangat diutamakan.
Menunggu kereta sama sekali tidak membosankan. Kota ini menyediakan show koboi di sebuah teater terbuka di sisi stasiun kereta. Durasinya hanya 15 menit. Ceritanya sederhana, soal perampok kota dan Marshall (sheriff). Tapi superkocak, juga melibatkan partisipasi penonton.
Begitu show berakhir, penumpang langsung boarding naik kereta. Penumpang terbagi dalam berbagai kelas, sesuai tiket yang dibeli. Kami memilih kelas “coach” alias ekonomi alias yang paling populer. Toh, bedanya dengan kelas lebih tinggi hanya fasilitas makanan.
Setiap gerbong memiliki seorang guide. Bukan guide yang membosankan sekadar membacakan sejarah. Melainkan guide yang merangkap penghibur. Sekali lagi, ini Amerika. Kalau mau sukses, harus ada sentuhan ekstra, ada sentuhan lucu.
Pertama-tama, dia memang menjelaskan sedikit tentang Williams dan keretanya. Bahwa kereta ini orisinal, banyak bagiannya asli dari tahun 1923. Bahkan ada lokomotif uap yang digunakan pada hari-hari khusus. Dan operasional dan perawatannya melibatkan warga kota.
Kemudian, dia juga mengingatkan penumpang untuk terus minum air (disediakan). Karena Williams ada di ketinggian 2.000 meter, lalu kereta terus menanjak menuju bibir Grand Canyon di ketinggian sekitar 3.000 meter.
Fakta-fakta lucu dia sampaikan. “Di kawasan ini hewan ternak dibiarkan bebas berkeliaran. Tak jarang kereta menabrak sapi atau yang lain. Kalau itu terjadi, maka perusahaan kereta akan membayar ganti rugi kepada pemilik ternak,” jelasnya.
Agar tidak bosan, dia tidak sendirian. Tidak lama kemudian, dia digantikan oleh seorang pengamen, yang menyanyikan lagu-lagu kocak. “Inilah yang terjadi kalau kita kuliah jurusan filosofi. Jadi seorang pengamen di kereta,” kata sang penyanyi disambut tawa penumpang.
Setelah itu, aktor yang memerankan Marshall di show sebelum berangkat ikut menyambangi semua gerbong. Menyapa satu-satu penumpang, ngobrol santai. Bicara tentang kota atau negara asal sang penumpang.
Terakhir, sang guide kembali muncul. Mempersiapkan penumpang agar bisa menikmati Grand Canyon secara optimal.
Ada beberapa opsi, tergantung paket yang dibeli. Kalau ingin jalan, stasiun kereta di Grand Canyon letaknya langsung di pinggir lembah. Cukup jalan dan naik tangga sejauh sekitar 200 meter, sudah langsung berada di bibir Grand Canyon yang menakjubkan.
Kalau ingin lebih komplet, ada paket bus keliling. Begitu turun kereta, beberapa bus sudah menunggu di samping rel. Langsung naik bus, yang mengantarkan pengunjung ke beberapa lokasi fotogenik plus restoran untuk makan siang.
Semuanya berlangsung sangat efisien, sangat efektif. Tidak banyak buang waktu dan basa-basi. Semua petugas dan sopir bus sangat ramah, siap menjawab segala pertanyaan dan membantu kebutuhan pengunjung.
Kurang lebih tiga jam dihabiskan di Grand Canyon. Itu sudah sangat cukup. Sudah dapat semua foto terindah, sudah termasuk makan siang mengenyangkan (American buffet), plus sempat belanja di beberapa gift shop.
Walau mungkin sudah lelah, perjalanan balik naik kereta tetap tidak membosankan. Sang guide kali ini mengajak penumpang berinteraksi. Kebetulan memang banyak turis keluarga, jadi banyak anak-anak. Jadi, sepanjang perjalanan balik, terjadi “kontes tebak-tebakan” seru di antara anak-anak itu.
Kontesnya mirip tebak-tebakan pelesetan di Indonesia.
Contoh: “How do you count cows?”
Jawabannya: “With a cow-culator!”
Lalu, setengah jam sebelum mencapai stasiun dan hotel, kereta tiba-tiba berhenti. Rupanya, kereta dihentikan oleh gerombolan “perampok” yang mengejar naik kuda. Para “perampok” ini (para aktor yang pagi harinya tampil dishow) lantas masuk ke dalam kereta sambil membawa pistol (seharusnya mainan).
Sang guide mengingatkan penumpang untuk tidak takut. “Mereka tidak akan mengganggu kalau Anda memberikan mereka uang. Silakan pegang uangnya di tangan, taruh di atas kepala, atau di mana saja,” katanya.
Saya hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala. Dari awal saya sudah berpikir, bagaimana cara memberi tip kepada semua orang yang meghibur dan menemani selama di kereta. Karena di Amerika, segala servis ada tipnya. Baik itu untuk pelayan di restoran, pembawa koper, sopir, juga guide.
Nah, “perampokan” ini merupakan cara halus dan menghibur untuk mengoleksi tip dari para penumpang! Seru! Pintar!
Setibanya di Williams, langsung waktunya makan malam di hotel. Sekali lagi American buffet, all you can eat. Enak sekali seperti makanan rumahan khas Amerika.
Selama makan itu, saya terus bicara dengan istri dan anak-anak. Betapa uniknya pengalaman hari ini. Saya juga chatting dengan sahabat-sahabat, menyampaikan betapa uniknya pengalaman hari itu.
Kami terus bicara tentang betapa charming-nya Williams. Semua orang yang kami temui, baik yang bekerja melayani maupun warga, sangatlah ramah. Karakter yang luar biasa, yang akan sangat menunjang betul masa depan kota yang bergantung pada industri wisata.
Plus, kami berkali-kali diingatkan pula tentang dampak lingkungan yang dihasilkan oleh rute kereta tersebut. Dengan rute kereta yang efektif ini, pemerintah (lokal maupun pusat) mampu mengurangi dampak buruk pada kawasan Grand Canyon.
Bayangkan. Kalau tidak ada servis kereta ini, akan ada ribuan mobil setiap hari menuju Grand Canyon. Mobil-mobil yang membawa masalah emisi gas buang, parkir, sampah, dan lain sebagainya.
Williams memang kota kecil. Penduduknya hanya 3.000 orang. Tapi mereka berhasil menjadi “Disneyland Nyata.” Dan mereka mampu berperan aktif menjaga kealamian salah satu tempat terindah di dunia.
Benar-benar kunjungan yang berkesan. Saya membayangkan, ada begitu banyak kota di Indonesia yang bisa seperti Williams. Asal pemerintahnya pintar, dan seluruh warganya berkomitmen untuk bekerja bersama, masa depan tak ada batasnya! (azrul ananda)