Saya bersyukur. Saya ini manusia beruntung. Pada 2009, saya mendapat undangan spesial dari pemerintah Australia. Saking spesialnya, kata mereka, belum tentu ada satu orang Indonesia mendapat undangan yang sama dalam dua tahun. Nama-nama orang yang diundang sebelum saya cukup mengagumkan, membuat saya cukup bangga.
Dalam undangan itu, saya diberi keleluasaan untuk belajar tentang apa saja. Bertemu dengan siapa saja bakal difasilitasi. Menteri, pengusaha, tokoh-tokoh apa saja. Mengunjungi tempat apa saja akan difasilitasi. Kantor pemerintahan, organisasi sosial, perusahaan-perusahaan. Terserah mau ketemu siapa dan ke mana saja, sesuai dengan minat dan rasa penasaran saya.
Dan menurut orang yang ke mana-mana mengantar, saya termasuk menyenangkan. Suka jalan kaki, makan tidak rewel. ”Orang Asia biasanya sulit soal makan,” katanya waktu itu.
Tentu saja, minat saya waktu itu adalah dunia anak muda, olahraga, dan media. Saya bertemu banyak orang hebat, belajar dan berdiskusi dengan banyak orang hebat. Beberapa orang yang selama ini hanya saya baca namanya atau lihat di televisi.
Sebelum kembali ke Indonesia, saya sempat diminta melayani wawancara dengan sebuah stasiun televisi kondang. Di tempat keren, dengan latar belakang Opera House di Sydney. Walau saya bukan orang politik, waktu itu saya sempat ditanya tentang politik. Lebih spesifik lagi, tentang kans pemilihan umum tahun itu.
Jawaban saya santai. Pakai common sense. Bahwa tidak akan ada gejolak apa-apa dalam pemilu tahun itu. Kalau segalanya berjalan baik, bahkan asal segalanya tidak buruk, maka tidak ada alasan untuk berubah.
Waktu itu saya malah mengaku lebih khawatir soal pemilu setelahnya, Pemilu 2014. Karena itu pemilu yang akan ”open battle,” perang terbuka di mana belum jelas siapa akan jadi kandidat kuat. Bahkan, pemenang 2014 belum tentu kelihatan pada 2009…
Seorang dosen politik di sebuah universitas kondang di Indonesia rupanya menonton wawancara itu, dan meminta saya jadi dosen tamu di kampusnya. Tapi saya menolak, saya bukan pengamat politik. Saya merasa waktu itu hanya asal ”njeplak.”
***
Seiring berjalannya waktu, dan semakin saya melek terhadap dunia politik, saya melihat berbagai macam pemilihan kepala daerah dan hasilnya.
Saya melihat ada daerah besar yang punya dua pilihan. Ibarat memilih kucing, waktu itu ada dua pilihan: Kucing incumbent yang sudah ketahuan kulitnya, atau kucing dalam karung.
Mungkin tak puas dengan situasi yang ada, daerah itu pun memilih kucing dalam karung. Walau ada risiko bakal lebih buruk. Masyarakat daerah itu memilih mengambil risiko daripada melanjutkan situasi yang mereka anggap buruk.
Kemudian ada daerah yang sebenarnya tidak spektakuler, tapi juga tidak buruk. Pasangan pemimpinnya sempat terancam berpisah, untuk bersaing.
Saya sempat dimintai pendapat. Dan saya menjawab apa adanya. Saya melihat, kalau situasinya tidak buruk, walau tidak spektakuler, orang akan lebih memilih situasi ”aman.”
Daripada memilih kepala daerah yang berbeda, lantas situasi justru memburuk. Toh segalanya baik-baik saja.
Duet itu pun berlanjut, dan kemudian terus terpilih…
Saya bukan pengamat politik, saya hanya orang yang suka penasaran dengan pattern perilaku manusia. Mungkin gara-gara pas kuliah paling doyan sama kelas Consumer Behavior di jurusan Marketing.
Dalam sepuluh tahun terakhir, saya melihat, selama situasi tidak buruk, orang tidak ingin berubah. Tapi kalau situasi benar-benar dirasa buruk, maka itu waktunya untuk berubah.
Walau belum tentu lebih baik dan belum tentu tahu apa itu yang lebih baik, paling tidak masyarakat kita sudah tahu untuk tidak mendukung situasi buruk!
***
Sekarang sudah 2019. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak saya asal njeplak di hadapan kamera televisi Australia. Roda hidup telah berputar. Saya pun jadi berpikir, lima sampai sepuluh tahun lagi seperti apa ya?
Negara Indonesia kembali menjalani siklus pemimpin dua periode. Banyak daerah, provinsi maupun kota, baru menjalani siklus yang sama atau menuju akhir dari siklus dua periode itu.
Dalam lima tahun ke depan, bakal terjadi banyak “open battle.” Di mana negara dan daerah harus mengulangi lagi proses seleksi, memilih lagi dari kandidat-kandidat yang ada atau belum muncul.
Karena pemimpin sebelumnya sudah dua periode, maka bisa diasumsikan bahwa kondisi daerah itu tidaklah buruk. Walau mungkin tidak hebat.
Kalau daerahnya tidak buruk dan tidak spektakuler, maka masyarakatnya harus benar-benar menyaring siapa pemimpin barunya. Kalau kualitasnya sama, ya daerah itu akan selalu begitu-begitu saja. Dan itu bukan berarti sama. Itu bisa berarti mundur, karena daerah lain di sekelilingnya bisa melaju meninggalkan.
Masyarakatnya harus sadar kalau situasinya biasa-biasa saja. Lalu mulai menginventarisir apa saja yang dibutuhkan dari pemimpin selanjutnya. Apa target-targetnya secara konkret.
Yang mungkin lebih sulit adalah daerah yang dalam dua periode itu berkembang baik dan pesat. Yang dalam dua periode terakhir memilih pemimpin yang hebat.
Karena setelah itu tantangannya makin berat. Salah memilih, daerah bisa salah ”belok” sedikit, dan situasi menjadi mundur atau memburuk.
Yang mengerikan, kalau pemimpin barunya ingin tampil beda. Tidak ingin melanjutkan program sebelumnya, walau sudah terbukti supersukses.
Saya jadi ingat waktu zaman masih kecil, masih diajari tentang program Pelita, pembangunan lima tahun. Yang bikin saya geleng-geleng kepala, yang banyak terjadi sekarang justru lima tahun berubah, lima tahun belok, lima tahun atret.
Mau bilang kasihan masyarakatnya, tapi kan yang memilih ya masyarakatnya sendiri?
***
Surabaya –kota saya tercinta-- termasuk kota yang akan menghadapi crossroad tersebut.
Tidak ada manusia sempurna, tidak ada pemimpin yang sempurna. Tapi Bu Risma tergolong yang spektakuler kalau dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.
Waktu saya pulang dari kuliah tahun 2000, betapa mengerikannya kondisi Surabaya. Sampah di mana-mana, banjir luar biasa, dan berbagai macam masalah perkotaan lain seperti penataan kaki lima.
Surabaya beruntung. Dapat dua pemimpin yang membawa ke arah lebih baik. Pak Bambang DH mampu membelokkan kota ini menuju lebih baik. Bu Risma merapikannya menjadi seperti sekarang.
Akan menjadi tantangan besar bagi siapa pun yang melanjutkan keduanya. Apalagi, dengan semakin berkembangnya kota, semakin pintar pula masyarakatnya.
Surabaya sudah terbiasa dengan pemimpin yang kerjanya jelas. Yang hasilnya kelihatan. Bahkan, menurut saya, masyarakat Surabaya sudah punya tuntutan ”the next level.” Yaitu mau dibawa ke mana kota ini ke depan.
Bersih, rapi, dan tertata itu sudah ”ilmu lama.” Walau belum banyak kota lain bisa meniru, tapi bagi Surabaya ini sudah ilmu lama. Surabaya sudah menuntut ”What’s next?”.
Bagaimana positioning kota ini ke depan. Baik di Indonesia, di Asia Tenggara, atau bahkan secara global. Itu tantangannya. Sebuah tantangan yang luar biasa.
Jadi, siapa pun yang ingin maju, harus siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Siapa kamu? Apa karyamu selama ini? Apa keinginanmu untuk Surabaya ke depan?
Surabaya sudah bukan lagi kota untuk coba-coba pemimpin, bukan lagi untuk calon pemimpin yang ingin coba-coba.
***
Beberapa waktu lalu, ketika kali pertama mengambil alih manajemen klub sepak bola Persebaya, saya langsung ditanya media soal ambisi politik. Apakah ini jalan untuk maju jadi gubernur dan wali kota?
Waktu itu, jawaban saya sangat cepat dan tegas: Tidak.
Belakangan, tiba-tiba nama saya banyak muncul lagi. Entah dikaitkan dengan nama orang yang ingin maju, atau dimunculkan sebagai calon untuk maju.
Lewat tulisan ini, saya ingin menegaskan jawaban saya dulu: Bahwa saya tidak punya ambisi sama sekali di dunia politik. Saya tidak ingin jadi wali kota atau yang lain.
Saya sangat bersyukur, hidup saya berkecukupan. Sehingga saya bisa fokus ke passion pribadi, sesuatu yang membuat hidup saya seperti punya tujuan. Dan saya punya passion yang jelas: Anak muda dan olahraga. Terinsipirasi oleh ayah angkat saya waktu SMA di Amerika, yang mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk membina orang muda.
Saya ingin fokus berkarya di dunia itu. Dan saya merasa punya talenta untuk berkarya di dua dunia itu dalam skala yang besar.
Kalau saya menyatakan maju jadi wali kota atau jabatan politik lain, maka itu berarti saya mengingkari diri sendiri. Itu berarti saya mengkhianati semua tanggung jawab saya, termasuk Persebaya.
Ketika sebuah negara menjadi maju, peran pemerintah dalam perkembangan masyarakatnya akan semakin berkurang. Gejolak politik akan punya dampak minimal dalam kehidupan sehari-hari. Semua yang pernah tinggal di negara maju, atau mengamati negara maju, pasti menyadari itu.
Saya percaya Indonesia akan menjadi maju. Bahwa kelak politik tidak mengganggu kehidupan sehari-hari, tidak menghalangi masyarakatnya untuk menjadi maju. Saya merasa masih cukup muda untuk merasakan itu nanti.
Sekarang memang belum. Goyang politik sedikit, hidup agak terganggu. Maunya independen dan profesional, masih saja tersenggol –atau bahkan disenggol-- oleh dunia politik.
Buat warga Indonesia, ini tantangan kita semua lima sampai sepuluh tahun ke depan. Buat warga Surabaya, ini tantangan setahun ke depan. Saya yakin kita semua bisa. Tidak ada pilihan yang sempurna, tapi ada pilihan yang pas untuk zamannya. Tinggal mengedepankan akal sehat, mendengarkan isi hati yang paling dalam.
Saya tidak ingin terjun ke dunia politik. Saya tidak akan membawa Persebaya ke dunia politik. Sesuai janji saya dulu. Semoga semua yang cinta Persebaya bisa memahami ini, serta mengupayakan hal yang sama. Membuat Persebaya untuk kali pertama dalam sejarah bisa memisahkan diri dari dunia politik.
Akan banyak cobaannya. Akan banyak gangguannya.
Sekarang saja sudah mulai terasa. Di mana manajemen sebuah klub olahraga waktu dan energinya bisa lebih banyak dikuras untuk mengurusi hal-hal yang bukan soal olahraga…
Bismillah… (*)