Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Saya sangat ingin bikin sekuel tulisan Happy Wednesday #26, berjudul Wali Kota Bukan untuk Saya. Tentang apa yang ingin saya lihat dari para kepala daerah, dari sudut pandang seorang warga biasa.

Tapi kepala saya lantas auto correct. Mengingatkan diri sendiri kalau catatan Rabuan ini seharusnya bukan untuk yang serius-serius. Melainkan outlet untuk menulis happy. Jadi tema yang lebih serius itu saya geser dulu jadwal tayangnya. Mungkin pekan depan, mungkin setelahnya.

Untuk edisi #27 ini, saya ingin menghibur diri. Liburan otak dari berbagai keseriusan/ketidaksenangan/kesedihan. Apalagi, banyak yang mengontak saya, minta saya lebih sering menulis tentang film atau acara TV yang saya suka.

Akhirnya saya memutuskan untuk menulis/memuji tentang Always Be My Maybe. Film komedi romantis yang sudah tayang via Netflix sejak 31 Mei lalu.

Karena bagaimana pun, dari hal paling sepele pun, ada sesuatu yang bisa kita dapatkan dari situ. Sesuatu yang membuat kita tersenyum, tertawa terpingkal-pingkal, sekaligus “menghangatkan” perasaan.

***

Entah sampai kapan saluran TV tradisional bisa bertahan. Di rumah saya saja sudah nyaris tak pernah nonton TV tradisional. Nonton TV kabel saja sudah jarang-jarang. Keduanya praktis hanya berguna untuk nonton tayangan langsung olahraga.

Apalagi sejak langganan Netflix dalam beberapa bulan ini. Semakin ditinggalkanlah TV tradisional dan TV kabel di rumah saya.

Anak-anak saya sudah mulai besar, sudah mulai ngerti mana tontonan berkualitas dan mana yang tidak. Bahkan sudah mulai spesifik mencari tontonan sesuai minat dan hobi. Istri juga jarang nonton TV, padahal banyak kenal sama yang sering nongol di TV swasta.

Saya? Mencuri waktu untuk nonton TV saja semakin sulit. Apalagi kalau dipaksa menonton sesuai jam yang ditentukan TV. Kalah sama kesibukan, dan lebih sering lagi kalah sama anak.

Sekarang ada solusi Netflix. Mau nonton sitkom favorit saya yang terakhir, The Big Bang Theory, sekarang sedang lengkap di situ. Mau diulang, mau ditonton beruntun (binge), mau ditonton putus-putus. Bisa. Mau di mobil, mau di pesawat. Bisa. Pake hape atau tablet.

Apalagi di Netflix ada begitu banyak opsi stand-up comedy. Bahagia!

Dan yang terakhir, yang belakangan saya tonton berulang-ulang, adalah film komedi romantis Always Be My Maybe.

***

Pembaca Happy Wednesday lama mungkin tahu kalau saya ini penggemar berat film komedi romantis. Film nomor satu saya sepanjang masa adalah Somewhere in Time (1980). Film favorit kedua adalah Sleepless in Seattle (1993). Peringkat tiga sampai lima bisa naik turun, bisa tergeser, tapi yang dua pertama tak akan pernah tergeser.

Dan menggesernya sulit. Semakin lama, komedi romantis ceritanya semakin absurd. Tiba-tiba urusan seks semakin menonjol. Saya suka yang tradisional, yang old school.

Somewhere in Time memang absurd, kembali ke masa lalu untuk menemui perempuan idaman. Tapi film ini mewakili sisi fantasi. Ending-nya pun bisa dibilang sedih, bisa dibilang happy. Menunjukkan hidup ini bisa multi-interpretasi, tergantung bagaimana kita memandangnya.

Sleepless in Seattle, di sisi lain, benar-benar film yang mengisi kebutuhan pikiran. Pintar, relatable dengan keseharian, sekaligus sedikit fantasi. Ini film romantis di mana dua figur utamanya baru bertemu di momen terakhir film. Plus, Tom Hanks aktor favorit saya (satu almamater), dan Meg Ryan aktris favorit saya.

Dalam beberapa tahun belakangan, film “romantis” yang masuk ke hati praktis hanya The Fault in Our Stars. Walau ada lucunya, itu bukan komedi.

Hingga akhirnya tahun ini muncul Always Be My Maybe. Memberi kesan dalam begitu banyak level dan dimensi. Ditulis dan diperankan sendiri oleh Ali Wong dan Randall Park, dua aktor/komedian Asian-American yang sedang naik daun.

Ali Wong berdarah Vietnam/Tiongkok, Randall Park Korea.

Disutradari oleh perempuan berdarah Iran, Nahnatchka Khan.

Menurut Netflix, hanya dalam sebulan sejak tayang, 32 juta kali film ini ditonton. Plus ada limited release di bioskop di Amerika, hanya untuk memenuhi syarat ikut ajang-ajang penghargaan film.

Ceritanya simple.

Ali Wong adalah Sasha Tran, chef selebriti yang juga berdarah Tiongkok/Vietnam, dan sejak kecil sering ditinggal orang tuanya (yang juga digambarkan pelit dengan cara-cara lucu).

Randall Park adalah Marcus Kim, anak keluarga Korea, yang tinggal bertetangga dengan Sasha Tran di San Francisco.

Sasha merasa keluarga Kim adalah keluarga sendiri, dan banyak belajar masak dari ibu Marcus. Saat remaja, ibu Marcus meninggal kecelakaan.

Marcus merasa harus selalu menemani ayahnya, bekerja bersama sang ayah jadi tukang AC. Plus kalau malam nge-band dengan teman-teman Asia-nya, menamai band mereka Hello Peril (ini juga pelesetan guyonan Asia di Amerika, silakan search “Yellow Peril”).

Sasha dan Marcus sempat bercinta saat remaja, tapi kemudian terpisah belasan tahun. Bertemu lagi saat Sasha sementara balik ke SF untuk buka restoran baru, dan Marcus dan ayahnya datang untuk memperbaiki/memasang AC di rumahnya.

Keduanya lantas “konek” lagi. Setelah melewati momen-momen bertengkar dan Keanu Reeves, keduanya menyadari kalau mereka sebenarnya saling melengkapi. Happy ending.

Ini bukan tulisan cerita lengkap, jadi detail-detailnya silakan nonton sendiri.

Film ini punya banyak pesan tersirat, khususnya untuk warga Asia di Amerika. Bahwa datang dari Asia, bukan berarti semua sama. Yang Korea begini, yang Vietnam begini, yang India begini, tapi bisa menjadi satu komunitas bersama di tanah asing.

Saya jadi ingat waktu hampir tujuh tahun di sana dulu. Pernah dikira orang Tiongkok, sering dikira orang Filipina. Indonesia memang tidak begitu terkenal. Dan kumpulnya ya dengan orang Korea, Jepang, Vietnam, Hongkong, dan lain sebagainya.

Pernah waktu SMA di Kansas jadi satu-satunya anak Asia dalam radius 100 km. Pernah ketika di California menjadi bagian dari komunitas besar warga Asia.

Menurut saya, Always Be My Maybe jauh lebih representatif terhadap sesama Asia di Amerika, daripada film seperti Crazy Rich Asians. Lebih sehari-hari, lebih nyata walau dibuat komedi dengan beberapa situasi absurd.

Dialognya super smart. Ali Wong dan Randall Park punya chemistry istimewa, dan keduanya sama-sama intelektual. Keanu Reeves brilian! Dan Reeves adalah pilihan pertama untuk ikut tampil di film ini. Alasan Wong: “Untuk mengklaim kembali Keanu Reeves sebagai orang Asia.”

Ya, bintang John Wick itu memang punya darah Tiongkok dan Hawaii.

Belum lagi lagu-lagunya. Randall Park (yang mungkin Anda kenal dari film Ant-Man and The Wasp) ternyata dulu memang anak band. Gaya nge-rap-nya istimewa. Lirik-liriknya super istimewa.

Sampai hari ini, saya setiap hari minimal sekali memutar lagu I Punched Keanu Reeves. Bahkan ada yang mengkampanyekan supaya lagu itu masuk nominasi Oscar sebagai Best Original Song.

Kalau Anda penasaran sama film ini, sama sekali tidak ada salahnya menonton. Kalau bingung dengan guyonan-guyonan atau dialognya yang memang “dalam,” ya tonton lagi. Toh kita sekarang bisa menonton sambil meng-Google sesuatu yang kita tidak paham.

Saya yakin setelah menonton akan mendapatkan perasaan happy. Perasaan happy dan hangat. Kemudian tertawa terpingkal lagi ketika lagu I Punched Keanu Reeves diputar saat kredit.

Comments (15)

Catatan Rabuan

Welcome To Happy Wednesday 2.0

Sudah lebih dari setahun saya tidak menulis Happy Wednesday, sebuah kolom hari Rabu di mana saya bisa menulis sesuka hat...

20 Tahun Cinta Namie Amuro

Entah ini tulisan sudah terlambat 20 tahun, atau mungkin hanya terlambat setengah tahun. Yang jelas ini dekat dengan mom...

Shazam dan Tom Hanks

Maklum, sudah lama tidak pacaran. Sabtu malam lalu (30 Maret), istri saya seret pergi ke bioskop. Nonton Midnight. Tapi,...

Tergila-gila BlackPink

Yap. Tergila-gila K-Pop. Yap. Tergila-gila BlackPink.