Banyak ungkapan atau istilah yang mungkin sudah ketinggalan zaman. Misalnya, “kuli tinta” untuk menggambarkan wartawan. Penggantinya, “kuli disket,” juga sudah tidak relevan.
Nah, ada satu ungkapan yang membuat saya agak merenung, karena seharusnya ungkapan itu bisa relevan sepanjang masa. Yaitu “Seeing is believing.” Alias kalau kita bisa melihat, berarti kita percaya.
Saya kira, ungkapan itu mulai tidak relevan di era informasi tanpa filter yang berseliweran dengan berbagai platform sekarang ini.
Luar biasa bukan? Di era sekarang ini, apa yang kita dengar tidak bisa langsung dipercaya. Apa yang kita lihat pun tidak bisa langsung dipercaya!
Ketika seorang politikus atau pemimpin daerah mem-posting sebuah kegiatan, apakah itu berarti kita harus percaya? Dan bahwa kegiatannya itu ikut ditayangkan oleh media “beneran,” apakah itu berarti kita harus semakin percaya?
Hati-hati dengan penglihatan Anda!
Saya jadi berpikir begini gara-gara nonton film Spider-Man: Far From Home, beberapa pekan lalu.
Penggemar komik lama sudah tahu duluan, bahwa Quentin Beck alias Mysterio adalah sosok penipu. Di komik asal, dia adalah ahli special effect Hollywood yang menggunakan kemampuan triknya untuk mengelabui dunia.
Di film, kurang lebih sama. Beck adalah ahli ilusi yang sempat berhasil mengelabui dunia. Bahwa dengan berpura-pura baik, dia bisa mendapatkan kepercayaan dunia, mendapatkan kontrol terhadap kekuatan terbesar dunia.
“Masyarakat, mereka butuh untuk percaya (terhadap sesuatu). Dan zaman sekarang ini, mereka akan percaya terhadap apa saja,” kata Beck kepada Peter Parker alias Spider-Man.
Krisis kepercayaan ini berlanjut di adegan mid-credit (makanya jangan pulang sebelum semua teks di layar habis). Walau seharusnya sudah meninggal, Beck masih mampu meninggalkan rekaman video menjebak. Menyebut Spider-Man sebagai sosok jahat, dengan cara meng-edit rekaman-rekaman tindakan dan ucapan.
Rekaman atau “postingan” menjebak itu lantas ditayangkan oleh media “beneran.” Oleh situs TheDailyBugle.net (di komik dulu masih koran, The Daily Bugle).
Percaya atau tidak percaya inilah yang akan jadi topik utama, ketika sekuel film Spider-Man kelak muncul.
Mana yang harus dipercaya? Superhero yang tidak bermedia, dan ternyata masih anak SMA, atau penipu yang pintar bermedia dan mampu menyeret media “beneran” menyiarkan kebohongannya.
Soal percaya dan tidak percaya ini semakin menggelitik pikiran saya beberapa pekan kemudian. Saat menonton standup comedy terbaru Aziz Ansari di Netflix, berjudul Right Now.
Di show-nya itu, Ansari “bermain-main” dengan penonton. Menantang semua tentang apa yang mereka percaya dan tidak. Atau jangan-jangan mereka tidak tahu apa-apa, tapi pura-pura percaya dan tidak.
Semua gara-gara internet. Yang kata Ansari, bisa membuat kita menjadi lebih bodoh. Membuat kita tidak tahu lagi apa yang harus kita percayai, apa yang harus kita yakini.
“Saya tidak tahu lagi bagaimana harus berpikir, gara-gara saya punya internet,” kata Ansari, yang keturunan India. “Internet bisa mengkonfirmasi segala hal yang ingin kita percayai,” tambahnya.
Ucapan terakhir itu penting. “Bisa mengkonfirmasi segala hal yang ingin kita percayai.”
Kita ingin percaya maling itu baik, internet ada data yang bisa membenarkan. Kita ingin percaya maling itu jelek, tentu internet punya data yang bisa membenarkan.
Dan tidak harus dengan membaca panjang-panjang. “Sebuah video YouTube bisa meyakinkan kita atas apa pun,” tandas Aziz Ansari.
Sang komedian lantas melontarkan jebakan untuk penonton.
Dia bercerita tentang seseorang yang memesan pizza delivery. Tapi ketika datang, dia melihat daging di pizza itu ditata berbentuk swastika (simbol Nazi). Internet pun heboh. Ada yang percaya itu swastika, ada yang bilang itu bukan swastika. Dan ini mengguncang nama perusahaan pizza yang terkenal itu.
Ansari lantas bilang meyakinkan, bahwa dia yakin penonton tahu soal kasus ini. Karena foto pizza itu viral di mana-mana. Dia pun bertanya ke penonton, siapa percaya itu berbentuk swastika. Sejumlah penonton mengangkat tangan. Dia lantas bertanya siapa merasa bentuknya bukan swastika. Sejumlah lagi mengangkat tangan.
Ansari pun bertanya ke seorang pria yang ikut mengangkat tangan. Ansari bertanya, di mana sang pria melihat gambar pizza itu. Dengan setengah ragu, sang pria bilang melihatnya di Washington Post. Salah satu media paling ternama di dunia.
Setelah itu, Ansari langsung mengungkapkan jebakannya. Bahwa tidak pernah ada kasus soal pizza yang dagingnya ditata ala swastika. Sama sekali tidak ada. Ansari mengarang cerita itu di atas panggung!
Semua penonton pun terhenyak, dan tertawa.
Lewat interaksi ini, Ansari menyampaikan betapa berbahayanya orang zaman sekarang. Yang tidak bisa lagi memfilter berbagai informasi yang dia terima. Lebih parah lagi, mereka bukan hanya tidak mampu memfilter, tapi juga ikut-ikutan menyebarkan kebohongan tersebut.
“Anda semua berpikir opini Anda sangatlah berharga, sehingga Anda merasa butuh ikutan berkomentar tentang sesuatu yang tidak ada!” kata Ansari, disambut aplaus besar.
Ini menguatkan lagi salah satu kutipan dari Quentin Beck di film Spider-Man: Far from Home: “Sangatlah mudah untuk menipu orang, ketika mereka sudah lebih dulu menipu diri sendiri.”
Mengerikan bukan? Ketika omongan orang belum tentu benar, dan kita tidak bisa mengecek itu benar atau tidak lewat internet. Bahkan lewat media “beneran”!
Ketika masih berkutat di dunia media, saya sering dibombardir dan memborbardir istilah “cek dan ricek.” Sekarang, di era di mana informasi beredar begitu liar tanpa filter, “cek dan ricek” bukanlah “agama” untuk pekerja media. Melainkan untuk kita semua, untuk setiap individu.
Bahwa seorang kepala daerah mem-posting tentang pembangunan baru, dan media mempublikasikannya secara gencar, bukan berarti itu benar!
Mengerikan bukan? (azrul ananda)