Waktu masih kecil, keluarga saya belum punya banyak uang. Saat SD, ibu saya hanya mau membelikan sepatu harga di bawah Rp 20 ribu sepasang. Biasanya merek Kasogi. Kalau tidak salah Rp 17.500 sepasang.
Itu sudah kami anggap mewah.
Ingin sepatu bermerek asing? Saya harus menabung. Saat SD kelas 5, saya akhirnya punya tabungan cukup. Saya punya uang Rp 30 ribu, lalu saya naik angkot ke Jalan Praban di Surabaya. Itu jalan tempat pusat penjualan sepatu di Surabaya.
Dengan sangat bahagia, saya membeli sepasang Nike pertama saya. Waktu itu, Rp 28 ribu cukup untuk membeli Nike paling murah. Warnanya tentu hitam, supaya bisa saya pakai sekolah.
Saya ingat betul betapa bahagianya saya waktu itu, berangkat sekolah pakai sepatu dengan logo “Swoosh” di samping.
Betapa bangganya saya punya sepatu merek asing, yang biasanya disombong-sombongkan teman yang keluarganya lebih mampu...
Seiring waktu berjalan, keluarga saya menjadi semakin mampu. Beli sepatu bukan lagi keputusan besar.
Ketika kuliah di Amrik, saya mendapat “ilmu baru” soal sepatu. Saya punya roommate yang maniak sepatu. Namanya Roni. Anak asal Jakarta yang hidupnya basket, basket, dan basket.
Dia itu sneakerhead kelas berat. Hampir semua gajinya hasil kerja di restoran dihabiskan untuk beli sepatu basket. Khususnya Air Jordan.
Saya dan teman-teman lain sering diajak hunting sepatu. Waktu itu belum ada dunia e-commerce seperti sekarang. Mau beli sepatu khusus, harus antre berjam-jam di depan mal. Kadang harus menginap. Mau cari sepatu di secondary market, harus rajin pergi ke acara-acara sepatu dan swap meet (bursa sepatu bekas).
Roni biasanya selalu mengajak teman untuk antre sepatu. Khususnya yang ukuran kakinya sama. Supaya dia bisa punya dua pasang. Satu untuk dipakai, satu untuk disimpan. Yang tidak dipakai selalu berbaris rapi di samping tempat tidurnya, dipeluk ketika tidur.
Serius!
Saya belum ketularan serius, karena memang belum punya banyak uang. Walau sesekali beli sepatu yang saya benar-benar suka. Sepatu favorit saya waktu kuliah ada dua. Kalau untuk lari dan sehari-hari, Nike Zoom Spiridon. Kalau untuk basket, Nike Zoom Flight 96 (sepatu yang waktu itu dipakai Jason Kidd, pemain favorit saya dulu).
Kata teman-teman, walau belum jadi sneakerhead, saya punya selera sepatu bagus.
Seiring dengan semakin mampunya saya membeli, dan semakin saya terlibat dengan dunia basket lewat DBL Indonesia, saya menjadi benar-benar sneakerhead. Jauh sebelum tren serupa terjadi belakangan.
Dulu saya sering pergi ke luar negeri lalu pulang memboyong 25 pasang sepatu. Dulu saya sering ke luar negeri hanya untuk membeli sepatu-sepatu edisi khusus. Total sepatu koleksi saya lebih dari 400 pasang. Kebanyakan limited edition. Harga tidak pernah saya lihat.
Kebanyakan sepatu itu masih saya simpan sekarang. Banyak yang sudah saya bagi-bagikan ke orang-orang, khususnya pemain-pemain basket nasional. Yaitu ketika saya masih mengelola liga profesional Indonesia. Dan kebetulan ukuran kaki saya, 45-46, pas dengan banyak pemain basket nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, saya sudah tidak lagi sering beli sepatu. Kalau beli hanya berdasarkan kebutuhan.
Karena saya sudah punya sepatu sendiri.
Dan saya sudah mempunyai “kesadaran baru.”
***
Senyaring-nyaringnya kita berteriak untuk memperjuangkan produk Indonesia, kenyataannya orang lebih memilih merogoh kocek untuk membeli produk asing.
Itu kenyataan.
Indonesia sudah merdeka selama 74 tahun. Tapi produk-produknya banyak yang masih belum merdeka dari serbuan merek-merek impor.
Sepatu AZA 6 Hari Merdeka, hasil kolaborasi DBL Indonesia dengan Ardiles, seharusnya telah menjadi langkah kecil untuk meraih kemerdekaan di dunia trendy. Di dunia sneaker.
Mungkin, banyak orang sudah familiar dengan sepatu AZA. Sejak 2009, saya memang sudah punya barisan sepatu signature sendiri. Sepatu basket made in Indonesia yang memiliki misi untuk “breaking barriers.”
Deretan sepatu ini semakin agresif dikembangkan mulai 2017, saat DBL Indonesia berkolaborasi dengan Ardiles. Dimulai dengan sepatu saya edisi kelima, AZA 5.
Waktu itu, misinya sederhana. Untuk menghancurkan satu barrier alias dinding penghalang di dunia basket Indonesia. Yaitu harga sepatu basket yang begitu mahal.
Kami di DBL Indonesia sudah menyelenggarakan kompetisi basket untuk anak muda sejak 2004. Jumlah peserta terus bertambah, mendekati angka 45 ribu peserta pada 2019 ini. Tentu kami punya impian supaya semakin banyak anak berolahraga, bermain basket.
Setelah kami cermati, kendalanya memang harga sepatu.
Sepatu basket itu mahal. Sekarang sangat mudah menembus Rp 3 juta sepasang. Padahal, kalau dipakai intensif, umurnya mungkin hanya enam bulan. Apalagi di Indonesia sering dipakai di lapangan beton.
Bagi orang tua, ini sangat memberatkan. Di salah satu DBL Store kami, pernah ada seorang ayah mengumpat keras karena anaknya minta dibelikan sepatu bermerek seharga Rp 1,8 juta. Alangkah memprihatinkannya pemandangan itu.
Belum lagi orang tua harus membelikan sepatu sekolah, sepatu kasual, atau kebutuhan yang lain.
Harus ada sepatu basket yang benar-benar terjangkau. Kami mendapati angka psikologisnya di kisaran Rp 500 ribu. Ardiles mampu menjawab tantangan itu, bahkan lebih. Sepatu AZA 5 dijual tak sampai Rp 350 ribu. Sambutannya luar biasa. Sudah dipakai Pak Jokowi, sejumlah pejabat tinggi negara. Juga dipakai pemain profesional, bahkan dipakai di Asian Games 2018 lalu.
Orang yang familiar dengan dunia branded dan retail mungkin sudah tahu. Harga mahal belum tentu berbanding lurus dengan biaya produksinya. Apalagi kalau itu barang impor, yang hasil jualnya besar harus keluar dari Indonesia. Menambah besar merek asing, menambah penghasilan pemain NBA.
Tidak masalah bagi yang punya duit.
Seperti saya tulis di atas, saya juga pelakunya.
Bagi mayoritas masyarakat Indonesia, masalah.
Sepatu AZA 5 berlanjut dengan AZA 6, yang mulai dipasarkan di awal 2019 ini. Proses pengembangannya lebih matang, harga juga masih sangat terjangkau, tak sampai Rp 430 ribu sepasang. Warnanya hitam dengan sedikit aksen emas. Supaya bisa dipakai sekolah. Supaya bisa dipakai kerja. Supaya bisa dipakai untuk segala keperluan.
Sambutannya kembali luar biasa. Ini adalah sepatu basket terlaris di Indonesia. Yang membanggakan, mereka yang punya duit pun tidak malu mengenakannya.
Dengan AZA 6, DBL Indonesia dan Ardiles terus menggedor barrier-barrier penghalang. Sepatu yang harganya terjangkau, dan bisa dibeli di kota-kota yang tidak punya mal.
Sambil merilis AZA 6 itu, kami dan Ardiles sudah menyiapkan “senjata baru” untuk menggedor lagi penghalang jenis berbeda. Yaitu penghalang yang menyatakan bahwa sepatu Indonesia tidak layak dikoleksi.
Tujuan sepatu AZA memang untuk jadi sepatu sejuta umat. Tapi bukan berarti tidak bisa menjadi sepatu eksklusif yang layak dikoleksi dan meningkat secara value/harga.
Kami pun menyiapkan AZA 6 Hari Merdeka. Edisi khusus yang disiapkan untuk Hari Kemerdekaan ke-74 RI. Warnanya merah-putih, dengan aksen peta Indonesia, tanggal kemerdekaan, dan detail-detail lain.
Harga tetap dibuat terjangkau, Rp 450.817 per pasang.
Hanya diproduksi sekali saja, sebanyak 1.945 pasang. Kalau habis, ya sudah. Tidak akan ada lagi.
Dengan sepatu ini, kami ingin tahu, apakah AZA 6 benar-benar sepopuler itu, dan versi khususnya bisa mendapat tempat yang lebih “naik kelas” lagi.
Kalau gagal, ya tidak apa-apa. Namanya juga eksperimen produk, eksperimen sosial. Kalau berhasil, tentu Alhamdulillah. Berarti sepatu Indonesia bisa naik kelas lagi, asal berani berinovasi dan menggedor dinding penghalang.
Misi utama sepatu ini bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan sepatu murah. Juga bukan murni finansial. Silakan keluarkan kalkulator. Berapa total penjualan dari Rp 450.817 dikalikan 1.945 pasang. Tidaklah besar untuk ukuran bisnis sepatu. Sangat kecil malah.
Misi utama sepatu ini ya itu tadi, menjadi sepatu Indonesia pertama yang benar-benar collectible. Yang nilainya justru lebih besar di secondary market. Menjadi sepatu yang kelak harganya jauh lebih mahal dari sekarang.
Ya, sepatu Indonesia. Buatan Indonesia. Di pabrik di Surabaya. Jadi sepatu collectible!
Syukur Alhamdulillah, sambutan sepatu ini ternyata jauh melebihi harapan konservatif kami. Saat akan dijual pada Senin, 12 Agustus, pukul 17.08 WIB, orang sudah rela antre jauh sebelumnya.
Orang rela datang dari jauh, naik mobil berjam-jam, naik pesawat dari Sumatera dan lain-lain. Lalu antre hingga sembilan jam untuk mendapatkan sepasang AZA 6 Hari Merdeka di DBL Store Pakuwon Mall Surabaya.
(baca juga: Mereka Datang Jauh-Jauh Demi Sepatu AZA 6 'Hari Merdeka') (baca juga: Sembilan Jam Antre AZA 6 'Hari Merdeka)
Saya jadi ingat teman satu rumah saya waktu kuliah dulu, Si Roni.
Karena begitu besarnya permintaan dari kota lain, kami akhirnya tidak melepas semua barang di Surabaya. Sebagian kami alihkan ke DBL Store di Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta.
Dalam hitungan tiga hari. Semua barang ludes. Size paling cepat habis adalah 42 hingga 45.
Kami bahkan tidak sempat menjualnya secara online.
Ada yang komplain, kenapa tidak dari awal dijual secara online. Supaya lebih adil. Dan memang, sepatu ini bisa pecahkan rekor lagi kalau langsung dijual secara online. Bisa langsung habis dalam hitungan jam.
Tapi, saya ingin menguji sepatu ini melawan tren sepatu koleksian di luar negeri, yang hanya dijual di toko. Kalau ada yang antre, berarti sukses. Kalau tidak, berarti sepatu Indonesia belum naik kelas.
Sekarang, AZA 6 Hari Merdeka sudah membuktikan kalau sepatu Indonesia sudah naik kelas.
Banyak yang minta agar sepatu ini diproduksi ulang. Tentu kami tidak akan memenuhinya. Itu bukan tujuan dari sepatu ini.
Toh, yang minat tetap bisa mencari secara online. Hasil pantauan tim kami, harga sepatu ini di secondary market sudah lebih dari Rp 500 ribu sepasang. Untuk ukuran-ukuran populer bahkan sudah menembus Rp 1,2 juta sepasang. Bukan tidak mungkin harganya akan terus naik.
Keren bukan?
Kelak, kami akan merilis lagi edisi khusus. Mungkin akan rutin keluar edisi khusus setiap menjelang Hari Kemerdekaan RI. Karena itulah hari paling istimewa di negara ini.
Kalau di NBA, sepatu khusus selalu keluar saat edisi Natal. Siapa tahu, AZA 6 Hari Merdeka memulai tradisi keluarnya sepatu khusus buatan Indonesia setiap Hari Kemerdekaan!
Sepatu AZA 6 Hari Merdeka sudah menunjukkan, sudah membuktikan, kalau segalanya adalah mungkin. Asal kita mau, asal kita berani, asal kita kreatif, asal kita punya niat tulus.
Semoga, sepatu AZA 6 Hari Merdeka menjadi pemicu dan inspirasi, supaya semua produk-produk Indonesia benar-benar bisa merdeka di negara sendiri! (azrul ananda)