Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Setelah puluhan tahun, akhirnya saya nonton film Gundala lagi. Segala nostalgia masa kecil langsung kembali. Perasaan yang begitu indah, membuat saya kembali bernyanyi-nyanyi dan membuat tertawa istri dan teman-teman. Juga melihat betapa film itu punya potensi untuk sekuel.

Pembaca lama Happy Wednesday mungkin sudah tahu kalau saya ini maniak Gundala. Sejak masih SD, saya sudah mengoleksi komik-komik karya Hasmi itu. Waktu SD, saya bahkan memaksa Abah saya untuk mengantarkan saya ke Jogja, hanya untuk bisa bertemu langsung dengan Hasmi. Walau saat bertemu saya starstruck dan tidak bisa bicara apa-apa.

Sampai sekarang, kantor saya masih memajang lukisan Gundala asli dari Hasmi. Dari cat air, dan mendiang Hasmi menuliskan nama saya langsung di lukisan itu.

Sebelum beliau meninggal, saya juga sempat bertemu dengan Hasmi. Bahkan bekerja bersamanya untuk sebuah pergelaran. Dan saat itu pun saya masih starstruck. Benar-benar seorang idola!

Akhir Agustus 2019, akhirnya saya menonton lagi film tentang Sang Putra Petir. Saya begitu menikmatinya. Rasa takjub kembali saya rasakan, diiringi sesekali tertawa karena humor-humornya.

Spoiler alert. Banyak yang akan saya tulis ini berisikan cerita film itu. Tapi Anda mungkin akan merasakan “sesuatu” di akhirnya.

Gundala, yang kali pertama “dilahirkan” Hasmi pada 1969, seharusnya memang hidup di Jogjakarta. Untuk alasan film, jadi pindah tinggal di Jakarta. Mungkin wajar, karena mungkin lebih banyak orang jahat dan bobrok di Jakarta.

Harus diakui, konsep superhero Indonesia “terinspirasi” oleh superhero Amerika. Gundala ini “Flash”-nya Indonesia. Sancaka (baca: Sancoko) seorang ilmuwan, seperti Barry Allen alias Flash. Riset Sancaka: Menemukan serum anti-petir (anti-setrum?).

Sancaka seorang pekerja keras, orang yang sering sendiri. Dia begitu sibuk, sehingga tak punya waktu untuk pacar. Membuat hubungannya dengan sang pacar, Minarti, jadi tidak karuan.

Malam itu, saat hujan lebat dan petir terus menggelegar, Sancaka memfinalisasi risetnya. Dia menyuntikkan serum ke dirinya sendiri, lalu menjajalnya sendiri menahan arus listrik. Berhasil!

Malam itu, pulang bekerja dari laborarium, Sancaka tersambar petir. Dia dipanggil oleh Sang Dewa Petir. Dia diangkat anak, menjadi Gundala Putra Petir. Dia diberi kekuatan mampu mengendalikan petir dan berlari secepat kilat. Untuk membela kebenaran.

Kalau Sancaka ingin berubah wujud, tinggal menggunakan kalung yang dia dapatkan.

Musuh utamanya di film ini adalah Gazul. Bisnis utamanya masih jadi musuh masyarakat yang abadi dan relevan hingga sekarang: Narkoba.

Kebetulan, Sancaka dan mentornya, Profesor Saelan, sedang mengembangkan serum anti-morfin. Tujuannya sangat idealis, demi menyelamatkan masa depan anak bangsa.

Gazul sangat tidak menyukai upaya ini. Dia menugaskan komplotannya untuk menculik Sancaka, Profesor Saelan, juga Minarti.

Untuk mempersingkat cerita, Gundala mampu mematahkan segala upaya ini. Menggunakan kekuatannya untuk memotong ruji penjara, lalu mengelasnya kembali. Sancaka boleh pulang kerja naik becak, tapi Gundala mampu menggunakan kecepatannya untuk mengalahkan para penjahat yang menyerang naik motor.

Tentu saja, Gundala mampu menang “adu tembak-tembakan laser” melawan Gazul. Membuat Gazul luka parah. Walau Gazul mampu melarikan diri, Gundala merasa yakin dia tak akan selamat. “Saya yakin, kalau dia manusia biasa, dia tidak akan bisa bertahan sampai dua hari,” begitu ucapan Sang Putra Petir.

Khas komik atau film superhero, akhir ini membuka peluang untuk dibuatnya sekuel…

Juga khas film superhero segala zaman, film ini dibumbui beberapa humor. Ketika seorang penjahat ditusuk oleh Gundala, dengan halus tapi comedic dia berselirih, “Mati aku…”

Di akhir film, saat akhirnya para penjahat dikalahkan, Profesor Saelan mengucapkan terima kasih dengan kocak. “Terima kasih Tuan Superman. Anda telah menyelamatkan jiwa saya,” katanya.

“Sorry Prof, nama saya Gundala,” balas sang jagoan.

Film seperti ini tentu tidak “nendang” kalau tidak menampilkan deretan superstar sebagai bintangnya. Nama-nama yang muncul luar biasa ngetopnya.

Teddy Purba jadi Sancaka alias Gundala. WD Mochtar jadi Ghazul. Lalu ada Farida Pasha, Agus Melasz, Ami Prijono, juga HIM Damsyik. Sutradaranya pemenang dua Piala Citra, Lilik Sudjio.

Lho, kok nama-namanya jadul? Bukannya film Gundala ini baru keluar? He he he. Yang saya tonton ini Gundala Putra Petir, keluaran 1981. Film yang dulu pernah saya tonton waktu masih SD, dan membuat saya dan teman-teman bernyanyi-nyanyi setelah menontonnya. Lagunya sangat catchy: “Gundalaaaa… Puuuuutra Petiiiiiirrrr…”

Dan saya baru menontonnya lagi weekend lalu, tepat di akhir bulan Agustus. Tidak lama setelah pulang dari bioskop menonton film Gundala yang baru.

Entah mengapa, waktu itu saya langsung pengin nonton versi lamanya. Mungkin karena kangen dengan Gundala yang asli. Gundala yang saya kenal lewat komik-komik Hasmi, yang sangat mempengaruhi masa tumbuh kembang saya dulu.

Kebetulan, film 1981 itu sangat menjaga keaslian Gundala di komik sebisa mungkin, walau mengubah seting cerita dari Jogjakarta ke Jakarta.

Mohon maklum kalau kangen. Saya ini bagian dari Generasi X, alias Milenial meleset sedikit lebih tua.

Gundala yang saya kenal masih Gundala versi jadul. Gundala yang punya misi sangat idealis, cenderung naif. Ceritanya masih relevan dengan sekarang, dan kalau ada hal-hal yang sekarang dianggap aneh, sebenarnya juga tidak aneh. Karena film-film superhero Hollywood pada zaman yang sama juga begitu.

Gundala yang saya kenal ini belum generasi iPhone. Kekuatannya karena warisan Dewa Petir, dan tidak perlu di-charge ulang seperti iPhone.

Saya sadar, Gundala yang saya kenal mungkin tidak lagi menarik untuk generasi sekarang. Dan Gundala versi iPhone itu mungkin lebih cocok untuk penonton generasi sekarang, yang mungkin sama sekali tidak kenal Gundala asli, dan tidak kenal siapa itu Hasmi.

Jangan salah, saya sangat senang ada Gundala versi baru. Bintang-bintangnya keren, akting-aktingnya keren. Walau ceritanya berpotensi membingungkan bagi generasi yang tidak kenal superhero-superhero lawas Indonesia. Dan ceritanya sangat berbau politik.

Semoga Gundala versi iPhone ini mendapatkan tempat di hati penggemar generasi baru. Saya yakin film ini bakal sukses, penontonnya bakal banyak. Tinggal berharap supaya begitu banyak penonton itu benar-benar menjadi penggemar Gundala (dan superhero Indonesia lain).

Demi masa depan superhero Indonesia. Supaya jagoan-jagoan Indonesia itu tidak hilang ditelan waktu, terlupakan lewat pergantian generasi.

Meski saya punya harapan besar dari film ini (dan sekuel-sekuelnya), saya tetap mohon maaf. Sejak kecil saya terlanjur jatuh cinta pada Gundala versi asli. Versi Hasmi. Dan saya pernah punya hubungan perkenalan sangat baik dengan sang pencipta Gundala itu.

Saya jadi rindu Mas Hasmi. Saya jadi kangen karya-karya aslinya… (azrul ananda)

Comments (24)

Catatan Rabuan

Shazam dan Tom Hanks

Maklum, sudah lama tidak pacaran. Sabtu malam lalu (30 Maret), istri saya seret pergi ke bioskop. Nonton Midnight. Tapi,...

Welcome To Happy Wednesday 2.0

Sudah lebih dari setahun saya tidak menulis Happy Wednesday, sebuah kolom hari Rabu di mana saya bisa menulis sesuka hat...

20 Tahun Cinta Namie Amuro

Entah ini tulisan sudah terlambat 20 tahun, atau mungkin hanya terlambat setengah tahun. Yang jelas ini dekat dengan mom...

Tergila-gila BlackPink

Yap. Tergila-gila K-Pop. Yap. Tergila-gila BlackPink.