Ramai banget. Pembicaraan dan perdebatan mengenai Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan PB Djarum. Kita bersyukur akhirnya ada penyelesaiannya.
Seperti yang dibacakan oleh Menpora Imam Nahrawi. Bahwa PB Djarum sepakat mengubah nama yang semula Audisi Umum PB Djarum 2019 menjadi Audisi Umum Beasiswa Bulu Tangkis, tanpa menggunakan logo, merek, dan brand image Djarum. Di sisi lain, KPAI sepakat untuk mencabut surat tanggal 29 Juli 2019 tentang permintaan pemberhentian audisi Djarum.
Done. Deal.
Syukur alhamdulillah. Aman damai sentosa.
Tapi apakah ini berarti permasalahan pembinaan olahraga berakhir? Apakah ini solusi terbaik untuk bulu tangkis? Mohon izin, saya punya sedikit uneg-uneg.
Sejak kegaduhan KPAI dan PB Djarum ini mencuat, ada begitu banyak orang meminta pendapat saya. Ada sejumlah media meminta komentar saya. Termasuk CEO-CEO perusahaan-perusahaan dan sejumlah pejabat pemerintahan.
Mungkin karena dunia saya tidak jauh dari pembinaan anak muda dan olahraga. Dan kebetulan, saya punya hubungan dan cerita yang terkait dengan kedua pihak. Begini ceritanya:
***
Dengan KPAI dulu.
Sebagai founder dan CEO PT DBL Indonesia, saya sudah 15 tahun lebih menyelenggarakan liga basket pelajar (SMA dan SMP) di hampir seluruh Indonesia. Kebetulan, sejak 2004, saya sudah punya komitmen pribadi. Bahwa liga pelajar saya tidak mendapatkan dukungan sponsor dari perusahaan rokok, minuman keras, bahkan minuman “berenergi.”
Tentu kami harus pontang-panting mencari partner. Khususnya di awal-awal pembentukan DBL. Karena waktu itu, praktis semua kegiatan olahraga didukung oleh perusahaan rokok.
Pada 2009, sponsor utama kami, PT Astra Honda Motor, mendapatkan surat dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (nama waktu itu). Mereka menyampaikan penghargaan atas keterlibatan Honda di DBL, yang ditulis sebagai salah satu even olahraga terbesar di Indonesia.
Sebab, tampilnya Honda membuktikan bahwa dunia olahraga tidak harus bergantung pada kontribusi industri rokok.
Disampaikan pula, bahwa hasil penelitian Komisi waktu itu menyatakan bahwa 81 persen anak-anak pernah mengikuti kegiatan yang disponsori industri rokok. Dan kegiatan ini berperan dalam inisiasi merokok pada anak-anak, dan menyebabkan anak-anak yang telah berhenti merokok kembali merokok.
Alangkah indahnya surat itu. Sebuah surat apresiasi yang indah.
***
Dengan PB Djarum.
Tidak banyak orang tahu, saya pernah jadi pemain bulu tangkis. Serius. Tidak bohong. Tiga tahun lamanya saya berlatih dan dibina di PB Djarum di Surabaya, di kawasan Tanjungsari. Waktu kelas 5 SD hingga kelas 1 SMP. Salah satu prestasi saya: pernah sampai babak semifinal Porseni SD Surabaya.
Saya sempat naik level dari pembibitan ke pembinaan. Merasakan kerasnya berlatih langsung di bawah mendiang Njoo Kim Bie. Karena rumah saya waktu itu di Rungkut, dan latihannya di Tanjungsari, sesekali saya datang terlambat. Saya pun merasakan “serunya” hukuman berlari mengelilingi gudang rokok beberapa kali.
Itu termasuk masa-masa menakjubkan. Tidak ada tempat latihan badminton lebih membanggakan. Silakan menggunakan dan “membuang” shuttlecock sepuasnya, serta mendapatkan akses menggunakan raket-raket termutakhir zaman itu.
Saya berakhir latihan bukan karena bosan. Bukan karena tidak mampu. Saya berhenti karena sekolah. Waktu SMP saya masuk sore, tidak memungkinkan untuk melanjutkan latihan di Djarum.
Semakin sedih lagi, karena di SMP saya “disia-siakan.” Saya memilih SMP itu karena ada gedung bulu tangkisnya. Tapi saya malah dimasukkan ekstra kurikuler marching band. Disuruh meniup terompet. Ketika minta pindah, tidak bisa ke bulu tangkis. Alasannya penuh. Jadi saya dipindah ke tenis meja.
Sejak saat itu, saya sangat jarang main bulu tangkis. Ini cerminan, sekolah dan olahraga kita belum matching.
Tidak sampai di situ. Di kemudian hari, saya berkenalan dengan Victor Hartono, salah satu penerus di bisnis Djarum. Lewat Victor, saya melihat kalau bagi Djarum, bulu tangkis bukan sekadar alat promosi. Lewat Victor, saya melihat kalau bulu tangkis adalah passion. Saya pernah makan siang dengan dia berdua saja, dan dia datang dengan kaki dibungkus rapat. Dia baru saja cedera achilles, gara-gara main bulu tangkis.
Di dunia ini, saya sudah belajar, niatan promosi apa pun akan selalu dikalahkan oleh passion. Bagi Victor, bulu tangkis adalah passion.
Kebetulan, Victor juga pernah menanyai saya, apakah saya berminat ikut mengelola bulu tangkis. Dia tahu saya aslinya “anak bulu tangkis.” Rupanya, dia tertarik melihat cara saya mengelola liga basket.
Tentu saya tanya kenapa. Maksudnya, kenapa saya.
Jawabannya sangat menunjukkan kalau Victor punya visi dalam hal bulu tangkis. Saya ingat betul omongannya waktu itu. Dia bilang: “Bulu tangkis tidak butuh ketua umum. Bulu tangkis butuh CEO.”
Waktu itu, walau sangat tersanjung, dengan halus saya bilang tidak bisa ke bulu tangkis. Saya sedang sibuk-sibuknya, asyik-asyiknya, mengelola liga basket nasional (National Basketball League atau NBL). Mencoba membenahi liga basket profesional Indonesia. Tidak mungkin saya pindah haluan, dan saya selalu berusaha jadi orang yang konsisten.
Tapi waktu itu saya benar-benar terkesan. Ada passion dan visi dari Victor (dan Djarum) dalam membina bulu tangkis. Bukan sekadar promosi. Sesuatu yang sangat langka di Indonesia.
***
Saya bersyukur, sudah ada solusi dari kegaduhan soal KPAI dan PB Djarum. Dan itu termasuk jalan terbaik.
Saya sempat sangat sedih atas segala perdebatan yang muncul. Baik di media beneran, apalagi di media sosial.
Ketika orang menyerang KPAI, saya sedih. Karena banyak argumen itu tergolong “strawman argument.” Tidak tepat sasaran. Mereka menghujat surat dari KPAI, karena dianggap tidak menghargai kerja keras Djarum selama 50 tahun dalam membina bulu tangkis.
Tapi, yang dilakukan KPAI sebenarnya kan tidak salah. Karena mengacu pada aturan yang jelas.
Di seluruh dunia, ini bukan hal aneh. Batasan rokok berpromosi adalah global. Tahun ini pun ada kasus di Formula 1, yang dulu sangat bergantung pada perusahaan rokok.
Ferrari tahun ini berusaha tampil dengan branding baru, “Mission Winnow.” Itu adalah inisiatif Phillip Morris, induk Marlboro, untuk mengkampanyekan kemajuan teknologi, berkaitan dengan “rokok yang lebih tidak berbahaya.”
McLaren juga didukung oleh raksasa rokok BAT, dengan branding: “A Better Tomorrow.”
Walau tidak ada satu pun merek rokok “Mission Winnow” atau “A Better Tomorrow,” branding keduanya mendapatkan tekanan di sejumlah negara. Termasuk Australia yang menjadi tuan rumah pembuka Formula 1 2019.
Pada akhirnya, walau sempat hilang-muncul, kedua branding itu dihapuskan total oleh Ferrari dan McLaren di sisa musim 2019.
Jadi, sekali lagi, urusan seperti ini berlaku di berbagai penjuru dunia. Dalam skala yang lebih besar. Dalam branding yang jauh lebih halus.
Syukur alhamdulillah, Djarum akhirnya tidak menghentikan upaya pembinaan. Karena ini yang ditakutkan begitu banyak pihak. Bahwa bulu tangkis kita akan langsung memudar begitu penyokong utamanya berhenti.
Yang luar biasa, Djarum bersedia menghapus segala branding. Apakah ini bukti kelanjutan dari passion dan dedikasi selama puluhan tahun? Sangat mungkin.
Terus terang, saya adalah bukti nyata kalau branding rokok tidak melulu menghasilkan perokok. Walau selama tiga tahun berlatih di kawasan pabrik rokok, mendapatkan edukasi bulu tangkis luar biasa di PB Djarum, saya tidak pernah merokok. Seumur hidup saya hanya sekali mencoba, waktu SMP, tapi ya sekali itu saja.
Saya punya sahabat perokok, saya pernah pacaran dengan perokok, tapi saya tidak merokok.
Sebelum ada kesepakatan bersama Menpora, saya sempat punya harapan khusus: Djarum jangan sampai berhenti mendukung, tapi bisa menggunakan merek lain mereka yang sebenarnya juga raksasa dan bisa menggunakan bulu tangkis sebagai alat promosi.
Saya sangat suka bagaimana Blibli.com punya visi agak beda dengan e-commerce kebanyakan. Karena sangat mengutamakan “real business” dan sangat mengupayakan sustainability. Walau ini bukan cara paling mudah.
Saya sangat suka ada Polytron, supaya ada merek Indonesia yang kuat bersaing dengan merek-merek asing di dunia elektronik.
Dan lain-lain.
Tapi keputusan sudah dibuat, angkat topi untuk mereka!
Sekarang, saya ingin menyampaikan poin utama tulisan ini. Dan ini belum ada yang menyinggung atau membicarakan. Padahal ini masalah serius. Dan sudah lama menjadi masalah serius tanpa ada yang membicarakannya, apalagi mencari jalan keluarnya.
Masalahnya adalah: Kenapa sebuah olahraga di Indonesia bisa bergantung pada hanya satu pihak. Bukan hanya bulu tangkis. Juga terjadi pada tenis meja.
Yang lain ke mana aja?
Ini termasuk pada pihak swasta lain. Atau bahkan institusi yang seharusnya 100 persen memikirkan olahraga itu. Bukan sebagai hobi atau sampingan, atau sekadar kendaraan promosi.
Alangkah mengerikannya segala hal yang hanya bergantung pada satu pihak.
Saya berkali-kali menyampaikan ini kalau ditanya tentang bagaimana memajukan olahraga: Prestasi adalah cost. Partisipasi adalah income. Kalau terus dikembangkan, maka partisipasi akan membiayai prestasi.
Segala institusi olahraga, federasi maupun swasta, harus terus memikirkan pengembangan partisipasi dan sustainability. Masa-masa olahraga “disusui” sudah harus dipikirkan jalan keluarnya.
Contoh-contohnya ada. Banyak. Tersebar di kisah sukses di berbagai negara di dunia. Tidak ada satu solusi paling jitu, tapi ada banyak solusi yang bisa dikombinasi atau disesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia. Dan setiap olahraga akan membutuhkan solusi yang berbeda-beda. Tidak bisa disamakan.
Masing-masing institusi tinggal berkumpul, melakukan SWOT Analysis, lalu menyepakati dan memutuskan jalan keluar selama satu, tiga, dan lima tahun ke depan. Menerapkan pelajaran semester satu di segala jurusan bisnis.
Setelah itu, konsisten menerapkannya. Jangan punya “kuping tipis,” gampang goyah oleh omongan dan omelan di era super-berisik ini.
Ya, ya, ya, lebih mudah ngomong daripada melaksanakan. Tapi sudah ada buktinya. Salah satunya sebuah liga pelajar yang sudah 15 tahun lebih berlangsung, terus berkembang secara konsisten. Tanpa uang pemerintah, tanpa bergantung pada satu sponsor.(azrul ananda)