Menyerahkan sepatu AZA 6 untuk Perdana Menteri ke-29 Australia Malcolm Turnbull
Entah masih sama atau tidak. Sejak kecil, rasanya ada pelajaran yang selalu mengingatkan. Bahwa Indonesia ini negara yang kaya alamnya. Segalanya ada. Hutan, laut, minyak, dan lain sebagainya.
Kita semua harus bangga. Kita semua harus bersyukur.
Indonesia negara yang besar. Indonesia negara yang akan menjadi salah satu kekuatan utama dunia.
Tinggal tergantung orang-orangnya. Kita bangsa Indonesia.
Nah, ini dia…
Beberapa hari lalu, saya dan beberapa pengusaha serta tokoh muda diajak makan pagi dan berbincang dengan Malcolm Turnbull. Beliau perdana menteri ke-29 Australia, yang masa jabatannya baru berakhir 2018 lalu.
Perbincangan sangat santai, sangat cair. Sama sekali tidak terasa formal dan kaku. Walau kami sempat agak bingung apakah bisa sesantai itu dengan seseorang seperti beliau.
Tidak ada speech panjang.
“Politikus sering membuat orang kecewa. Tapi tidak ada yang lebih mengecewakan daripada seorang politikus yang pidatonya kepanjangan,” gurau Mr Turnbull saat membuka perbincangan, memecah kekakuan.
Dari situ, segala pembicaraan pun mengalir. Satu per satu kami berbicara, mewakili berbagai bidang yang berbeda. Kebetulan, yang diundang pagi itu kebanyakan memang lulusan Australia. Atau sudah punya hubungan bisnis erat dengan Australia.
Tanya jawab pun terjadi, membahas berbagai topik mulai politik hingga --topik paling populer-- ekonomi dan bisnis. Karena Mr Turnbull sendiri memang seorang pebisnis sebelum menjadi Perdana Menteri.
Saya tentu tidak akan membahas semuanya secara detail. Namun, seperti dalam setiap perbincangan dengan seseorang setinggi itu, selalu ada satu statement yang terus mengusik jauh setelah acara berakhir.
Tidak harus sesuatu yang panjang lebar. Tidak harus sesuatu yang spesifik terhadap sebuah tema. Cukup sebuah kalimat yang membuat merenung.
Pada suatu momen, Mr Turnbull berucap kurang lebih demikian: “Waktu masih menjabat sebagai perdana menteri, saya selalu menganggap Australian people (masyarakat Australia) sebagai aset terbesar negara.”
Sebuah pernyataan sederhana. Tapi terus mengusik saya.
Australia negara yang sangat besar dan luas, menjadi benua sendiri. Kekayaan alam sangat ada. Dan penduduknya tidak lebih dari seluruh penduduk Jabodetabek.
Penduduk yang “tidak seberapa banyak” itulah aset terbesar negara. Bukan tanahnya yang begitu luas. Kekayaan alamnya yang juga hebat.
Manusianya. Bukan kekayaan alamnya.
Rasanya, saya sangat jarang mendengar pemimpin Indonesia (level daerah maupun pusat) yang menyatakan warga Indonesia sebagai aset terbesarnya.
Kalau melihat dunia politik kita, kebanyakan masyarakat rasanya bukanlah aset. Melainkan komoditas. Yang diucapkan bisa beda dengan yang diterapkan. Atau bahkan tidak bisa membedakan antara yang diucapkan dengan yang diterapkan.
Penduduk Australia tak lebih dari Jabodetabek. Tapi ada begitu banyak orang hebat dalam berbagai bidang. Hampir setiap film Hollywood sekarang melibatkan orang Australia. Tokoh media dunia berasal dari sana. Tokoh bisnis dunia juga banyak dari sana.
Apalagi di dunia olahraga. Orang yang tak begitu banyak itu sangat bersuara di arena Olimpiade.
Untuk urusan ini (yang merupakan dunia saya), saya ingat betul waktu mendapat undangan pemerintah Australia berkunjung ke Australia Institute of Sport (AIS) di Canberra. Sebuah fasilitas olahraga yang mungkin tidak ada saingannya di dunia. Di mana sebuah kolam renang bisa mensimulasikan kondisi di negara lain tempat bertanding. Di mana seorang atlet bisa berlatih dalam tempat yang iklimnya dibuat sama seperti negara yang akan dituju untuk bertanding/berlomba.
Di sana, seorang pelatih kepala menjelaskan kepada saya, mengapa sports science dan pembinaan fundamental sejak dini adalah kunci kesuksesan olahraga Australia.
“Kalau di Amerika, penduduknya banyak. Kalau seorang atlet gagal, dia dengan mudah bisa ‘dibuang’ dan digantikan oleh yang lain. Di Australia, penduduknya tidak banyak. Jadi kami harus bisa mencetak atlet yang hebat. Karena kami tidak punya pilihan banyak,” tuturnya.
Pembaca yang budiman, semua ini mengarah ke pendidikan.
Seharusnya, di alam demokrasi, masyarakat yang pintar menghasilkan pemimpin dan pemerintah yang pintar. Kemudian, masyarakat yang pintar ini terus menantang pemimpin dan pemerintahnya untuk makin pintar.
Akhirnya semakin pintar, semakin pintar, semakin pintar.
Entah berada di mana siklus “saling menantang” kita berada.
Entah sekuat apa sistem pendidikan kita memperlakukan manusia-manusia Indonesia ini sebagai aset yang harus dikembangkan.
Bertahun-tahun lalu, saya berbincang dengan seorang menteri pendidikan kita. Saya mengeluh betapa tidak konsistennya sistem pengajaran kita. Saking tidak konsistennya, jadwal ujian pun berubah-ubah tidak karuan.
Jawabannya waktu itu bikin saya geleng-geleng kepala sampai sekarang: “Tenang Azrul, saya sudah menyiapkan konsep untuk manusia Indonesia 2045.”
Rasanya sama seperti ada teman yang menjawab “EGP” (emang gue pikirin) kalau saya mengeluhkan suatu hal. Kita semua belum tentu ada pada 2045. Jadi ngapain gue pikirin? (azrul ananda)