Menyesakkan sejak menit pertama hingga menit penutup. Menyesakkan tapi menghibur. Sebagai penggemar DC Comics (lebih dari Marvel), saya merasakan apa yang saya harapkan saat nonton Joker beberapa hari lalu.
Saya tidak peduli dengan segala kontroversi yang diberitakan sebelum film itu diputar. Bahwa film ini bisa mengundang kekerasan dan lain sebagainya. Ada banyak film lain yang lebih parah dari ini dan tak pernah diberitakan seperti itu.
Saya anggap segala kontroversi itu sebagai dinamika baru dunia media. Yang sering mengutamakan bagaimana “mengakali mesin” demi mendapatkan klik, mengabaikan segala konsekuensinya, daripada menyampaikan sesuatu yang lebih “benar.”
Saya menonton karena saya penggemar DC. Dan karena karakter Joker itu sejak dulu tidak pernah punya latar belakang yang pasti. Dunia tahu dia adalah musuh terbesar Batman, seseorang yang selalu menginginkan kerusuhan dan kekacauan. Tapi cerita latar belakangnya tidak pernah pasti.
Ada beberapa versinya, tapi secara resmi di komiknya tak pernah ada kepastian. Dan itu keindahan Joker, karena kita tak tahu dulunya dia seperti apa. Salah satu komik Batman paling kondang, The Killing Joke, bahkan mengutip Joker mengatakan: “Kalau saya punya masa lalu, saya memilih masa lalu itu sebagai multiple choice!”.
Plus, Joker itu dalam sejarahnya tak pernah bisa dipercaya. Segala hal yang dia ucapkan punya tujuan mengecoh. Atau mengakibatkan kekacauan. Jadi, kalau Joker yang cerita, harus selalu hati-hati.
Film Joker pun bikin saya penasaran.
Benarkah ini menceritakan masa lalunya?
Dan jangan-jangan, orang menontonnya lalu menangkap ceritanya secara harfiah. Jangan-jangan yang menonton bakal terkecoh oleh sifat dasar Joker yang tak bisa dipercaya.
Spoiler warning. Tulisan ini akan membahas pula ending-nya.
Kalau mengikuti cerita ini secara “polos,” kita semua punya alasan untuk mengasihani Arthur Fleck alias Joker.
Satu, dia adalah korban kekerasan keluarga. Di dalam film diceritakan bagaimana saat kecil dia diadopsi oleh ibunya. Sang ibu memiliki gangguan jiwa, dan membiarkan dia disiksa saat masih kecil. Bahwa dia sering tertawa tidak jelas kurang lebih gara-gara dia pernah mengalami trauma parah di kepala.
Belum lagi kalau ternyata ibunya berbohong tentang masa lalunya.
Dua, dia adalah korban kebobrokan sistem. Kota Gotham sedang parah-parahnya. Sampah di mana-mana tak terurus. Yang kaya semakin terpisah dari yang miskin. Fleck, yang membutuhkan perawatan dan pengobatan, tidak bisa lagi mendapatkannya karena sistem layanan kota dibubarkan.
Tiga, dia adalah korban situasi. Ada-ada saja ketidakenakan yang dialami Fleck. Mau menghibur seorang anak, malah dimarahi ibunya. Mau bekerja benar, malah jadi korban kekerasan.
Ketika dia membunuh tiga bankir di dalam kereta pun sebenarnya juga karena tiga orang “kaya” itu tergolong kurang ajar.
Situasi dan kondisi terus mendorong Fleck ke arah “Joker.” Di penghujung film, dia pun bertransformasi total. Banyak orang yang ikut “tertindas” ikut “terinspirasi” olehnya. Kekacauan pun terjadi di Gotham. Melawan, menentang, menjarahi, dan membunuhi orang-orang berkuasa dan berpengaruh di kota. Termasuk Thomas dan Martha Wayne, orang tua dari Bruce Wayne yang kelak akan menjadi Batman.
Wow. Cerita seperti ini tampaknya memang agak relevan dengan sekarang. Ketika orang turun ke jalan, menyatakan ketidakpuasan kepada mereka yang berpengaruh dan berkuasa.
Itu kalau kita menerima ceritanya secara “polos.”
Masalahnya, kita ini menonton cerita Joker. Dari sudut pandang Joker. Dan harus terus ditegaskan, Joker bukanlah seseorang yang bisa dipercaya.
Dalam film, ditampilkan beberapa kali kalau hal-hal yang dialami Joker bukanlah realita. Di awal film dia berimaginasi menjadi penonton di sebuah acara talk show, dan dia mendapatkan pujian dan aplaus. Lebih krusial lagi, dia tak pernah punya hubungan asmara dengan Sophie, sang tetangga yang cantik.
Jadi, jangan-jangan banyak hal yang terjadi di dalam film ini juga tidak nyata. Apalagi, di penghujung sekali, Joker tiba-tiba sudah berada di dalam Arkham Asylum (rumah sakit jiwa) sedang berbincang dengan seorang psikiater.
Tidak nyambung dengan adegan sebelumnya, saat dia menari-nari di atas mobil polisi menuai sorakan dan dukungan dari mereka yang “tertindas.”
Dan di adegan terakhir itu, Joker mengatakan kalau sang psikiater tidak akan memahami leluconnya. Tidak lama kemudian, tampak Joker berjalan keluar dari ruangan dengan kaki belepotan darah. Kita berasumsi dia membunuh sang psikiater dan berusaha melarikan diri dari Arkham.
Kalau mengikuti sejarah karakter Joker, ada kemungkinan segala kejadian itu adalah cerita atau imaginasinya saja, yang dia sampaikan kepada sang psikiater di akhir film.
Dengan demikian, film ini masih konsisten dengan segala komik Batman. Bahwa Joker tidak punya masa lalu yang jelas. Bahwa masa lalunya adalah multiple choice. Bisa yang itu, tetap masih bisa yang lain.
Jadi, jangan percaya Joker. Anda mungkin baru saja menonton film tentang imaginasinya. Sama dengan segala hal yang kita baca dan tonton di hari-hari seperti sekarang ini. Jangan asal percaya, walau betapa masuk akal atau betapa meyakinkannya cerita itu. Apalagi kalau di baliknya ada tujuan menciptakan kekacauan.
Dan berdasarkan pengalaman hidup saya bertemu berbagai jenis orang, selalu ada Joker di antara kita. Seolah-olah membela, tapi maunya menyesatkan. Seolah-olah pahlawan, tapi maunya memeras. Seolah-olah tersakiti, tapi sebenarnya menipu.
Kembali ke urusan film Joker, saya sama sekali tidak kecewa. Ini film luar biasa. Menyesakkan dari menit pertama hingga menit terakhir. Menyesakkan tapi menghibur. Saya justru akan sangat kecewa kalau Joaquin Phoenix tidak mendapatkan Oscar! (azrul ananda)