Ada satu kategori merchandise yang sepertinya populer dijual di tempat-tempat wisata kondang di Amerika Serikat. Baik itu di Fisherman’s Wharf di San Francisco, di toko-toko suvenir di Hollywood, atau di kawasan-kawasan turis lain di kota-kota besar.
Yaitu suvenir berupa segala hal yang bertema Presiden Donald Trump. Lebih spesifik lagi, suvenir-suvenir yang “meledek” Presiden Donald Trump.
Misalnya. Trump “stress doll” Sebuah bola karet berbentuk kepala Donald Trump. Yang bisa di-squeeze sampai penyet untuk melepas ketegangan. Atau boneka Trump seperti bayi masih berpopok. Atau paling ekstrem: Karpet pintu bertuliskan “Dump Trump” (depak Trump) yang bisa diinjak-injak kalau keluar masuk rumah.
Kalau menonton acara-acara talk show populer di Amerika, juga ada pola serupa: Para host paling kondang secara rutin meledek Sang Presiden. Apalagi, Trump juga sering memberi “umpan” untuk diledek, seperti cuitan-cuitan Twitter-nya yang sering mengundang kehebohan.
Sekarang ini, sepertinya ada syarat mutlak untuk jadi talk show host terkenal. Yaitu harus bisa menirukan suara dan gaya bicara Trump.
Tidak percaya? Cari saja di YouTube. Baik itu Stephen Colbert, Jimmy Kimmel, Seth Meyers, bahkan Trevor Noah (yang bukan orang Amerika), semua sangat “terlatih” dalam menggunakan Trump sebagai bahan ledekan.
Ini pun sebenarnya bukan hal baru.
Hampir semua presiden AS diperlakukan demikian. Bill Clinton dulu sama, George W. Bush sama. Bahkan Barack Obama yang begitu populer pun tidak luput jadi bahan ledekan.
Intinya, menghina presiden bukan hal baru. Dan akan terus terjadi.
Kenapa tidak ada hukumannya?
Perjalanan hukumnya begitu panjang untuk diceritakan. Saya bukan orang hukum maupun lulusan hukum. Tapi di sekolah di Amerika ini selalu disampaikan. Secara sederhana maupun kompleks.
Penjelasan simple-nya: Politikus termasuk public figure. Mereka mendapatkan jabatan dan keuntungan dari publisitas.
Dan di Amerika, hal-hal seperti ini selalu mengacu pada First Amendment (Amandemen Pertama) yang melindungi kebebasan berbicara.
Kasus terbesar yang akhirnya “membiarkan” ini terjadi adalah New York Times Co. v Sullivan pada 1964. Ceritanya panjang lebar, bisa beberapa bab kalau harus ditulis di sini. Dan saya ogah menulis sebanyak itu. Kalau Anda penasaran, silakan research sendiri di era kemudahan informasi ini…
Sebagai informasi, Trump kabarnya sempat ingin melakukan gugatan, tapi pada akhirnya tidak ada kelanjutan. Dunia terus berputar, hinaan terus berlanjut, tidak mengganggu kemajuan negara dan kehidupan sehari-hari.
Akal sehat dan skala prioritas mengalahkan kuping tipis.
Di Indonesia, ledek meledek, menyindir, atau minimal nyinyir ini sebenarnya juga umum bukan? Saya sering mendengarnya sehari-hari. Baik di tempat umum apalagi di warung kopi.
Dan tahun 2019 ini sepertinya memang tahun seperti itu. Mulai sejak sebelum pemilihan, saat pemilihan, juga setelahnya. Soal Perppu lah, soal KUHP lah, dan sekarang soal penyusunan kabinet.
Yang membuat saya bahagia, bagaimana pun rakyat Indonesia menginginkan pemerintahan yang baik. Menginginkan masa depan yang baik. Mungkin masih bingung yang baik itu bagaimana, dan cara mencapainya bagaimana. Tapi yang pasti menginginkan yang baik.
Dan itu tidak bisa instan. Belum tentu bisa sekarang.
Banyak orang punya harapan tinggi untuk pemerintahan kita lima tahun ke depan (walau efektifnya mungkin hanya tiga atau empat, karena setelah itu kita harus mengulangi siklusnya).
Saya bangga melihat ada banyak orang muda diajak terlibat di kabinet. Beberapa saya sangat kenal dengan baik. Mungkin, mereka bisa berbuat banyak. Menjadi “jembatan” untuk pemerintah masa depan yang lebih baik lagi, yang lebih modern lagi khususnya dalam pola pikir.
Tapi, kita tetap harus menginjak bumi. Mungkin saja mereka nanti frustrasi, terbentur oleh hal-hal teknis dan keruwetan yang sudah menumpuk selama begitu lama.
Semoga saja tidak. Semoga Pak Jokowi bisa menjadi “mentor” yang baik. Karena orang muda butuh kebebasan, dan kebebasan itu butuh “perlindungan.”
istimewa
Semoga lima tahun ke depan (atau tiga-empat tahun ke depan) adalah masa-masa yang indah untuk Indonesia. Tapi lebih penting lagi, semoga lima tahun ke depan (atau tiga-empat tahun ke depan) adalah “masa jembatan” yang baik untuk masa depan yang lebih panjang lagi.
Generasi saya sudah termasuk generasi yang harus menanggung segala konsekuensi, apa pun yang terjadi lima tahun ke depan (atau tiga-empat tahun ke depan). Generasi saya tinggal beradaptasi saja dengan segala perubahan dan kemungkinan.
Tapi, saya berharap cukup berhenti di generasi saya saja yang seperti ini. Jangan sampai anak-cucu nanti ikut melanjutkan “tradisi Indonesia” yang tidak mengenakkan itu.
Orang boleh bicara soal ekonomi digital, ekonomi kreatif, dan lain sebagainya untuk tahun-tahun ke depan. Tapi tolong jangan kendurkan perhatian ke dunia pendidikan. Apa pun, ini fondasi utama masa depan.
Jangan sampai ada jurang terlalu lebar antara sekolah A dengan sekolah B. Pemisah pergaulan dari lingkungan A dengan lingkungan B. Saya kangen masa seperti dulu. Saat di sekolah negeri semua masih bergaul jadi satu. Semua agama, semua latar belakang, berbagai etnis.
Kalau fondasi ini bisa ditata dalam beberapa tahun ke depan, semoga masa depan tidak lagi seperti sekarang.
Pendidikan. Pendidikan.
Supaya di masa depan, segala ledekan, hinaan, dan nyinyir jadi lebih berkualitas. Bukan sekadar menghina, tapi menghina dengan solusi konkret. Bukan sekadar jago bikin meme, tapi juga jago bikin grafis dan alur solusinya yang logis.
Pendidikan. Pendidikan.
Supaya tidak ada lagi orang berkuping tipis. Lebih banyak berakal sehat dan punya skala prioritas yang tepat.(azrul ananda)