Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Saya sering bertanya-tanya. Olahraga apa yang paling berat dilakukan? Olahraga apa yang di tingkat dunia paling berat dijalani?

Saya lantas ingat sebuah gambar (meme) yang selalu dibanggakan seorang penghobi serius balap sepeda. Yaitu perbandingan antara atlet sepak bola dengan atlet balap sepeda.

Di gambar atas, ada seorang pemain bola (Brazil) mengerang kesakitan, memegangi tulang keringnya. Tulisannya: "Pretends he is injured" alias "Pura-pura cedera."

Pada gambar bawah, ada seorang pembalap sepeda (Tim Movistar beberapa tahun lalu) dengan baju sobek-sobek dan berlumuran darah karena habis kecelakaan. Tulisannya: "Pretends he is OK" alias "Pura-pura tidak apa-apa."

Teman-teman selalu tertawa dengan gambar perbandingan itu. Para cyclist yang serius (yang bukan cyclist foto-foto atau cangkruk), selalu membanggakan diri sebagai pelaku olahraga yang berat. Bahwa ini olahraga yang benar-benar menuntut dedikasi dan komitmen.

Sebagai pelaku olahraga ini dalam tujuh tahun terakhir, saya sangat bisa memahaminya. Harus rajin bangun pagi, lalu latihan mengikuti program. Jarak jauh zona endurance, latihan interval, menanjak, time trial, dan lain-lain. Belum lagi latihan indoor kalau hujan atau kondisi jalan tidak mengenakkan.

Yang menyebalkan lain: Saya memilih bersepeda untuk menghindari nge-gym. Eh, kalau mau makin kuat sepedaannya, ternyata harus latihan gym juga. Minimal latihan core.

Silakan tanya teman-teman yang gowesnya serius. Mereka paling takut kalau dalam beberapa hari tidak bisa gowes. Berdasarkan pengalaman saya, kalau empat hari saja off, performa bisa langsung melorot. Apalagi kalau habis liburan seminggu, dan lebih menakutkan kalau liburan dua minggu.

Bisa seperti mengulangi. Napas jadi tidak karuan. Kaki jadi kembali gampang capek. Lalu setelah latihan recovery-nya kembali lamban.

Plus, yang lebih menuntut komitmen lebih lagi, adalah soal makanan.

Ya Tuhan. Penghobi sepeda serius makannya bisa mengalahkan supermodel. Intermittent fasting lah, vegetarian lah, no karbo lah, no gorengan, dan lain sebagainya.

Itu baru penghobi serius. Pembalap? Lebih mengerikan lagi.

Sejak 2012, saya dan sejumlah teman hobi bepergian menonton balapan kelas dunia. Sekaligus menjajal rute-rutenya. Tour de France, Vuelta a Espana, Giro d'Italia, Tour of California, Colorado Classic, dan lain-lain.

Tidak jarang, kami ikut program yang disediakan oleh perusahaan yang berafiliasi langsung dengan produsen sepeda atau tim balapnya.

Kami jadi lebih paham lagi betapa sulitnya hidup jadi pembalap profesional, kelas dunia. Semuanya serba dijaga.

Pernah kami ikut program Team Sky (sekarang Team Ineos), yang bisa dibilang tim paling kaya di dunia sekarang. Kami mengunjungi markas perlengkapan tim di Belgia, lalu menginap di hotel yang mereka booking sepanjang tahun, di perbatasan Belgia dan Prancis.

Di sana kami makan menu pembalap. Beberapa teman sampai takut kalau jatah makan kita ikut ditimbang. Beberapa lagi selalu menyempatkan diri "melarikan diri" untuk cari makanan lain di luar hotel.

Kami diceritakan, bahwa pembalap tim waktu itu benar-benar dijaga makannya. Pernah, setelah memenangi sebuah lomba, mereka diberi "hadiah" boleh makan keripik kentang (Pringles).

Senang? Entahlah. Karena hanya boleh makan dua lembar!

Hotelnya pun direnov supaya benar-benar "aman" untuk pembalap. Lantainya benar-benar dibuat anti-selip. Karpet maupun bukan. Khususnya di kamar mandi. "Mesin" para pembalap adalah badan mereka sendiri. Jadi segalanya harus dijaga supaya "mesin" itu tidak bermasalah.

Saya, dan beberapa teman, sempat menjajal "hidup ala orang susah" itu. Berat saya sebelum hobi gowes sempat melambung hingga 85 kg. Kemudian, berkat program latihan disiplin dan menjaga makan, pada 2015 berat saya sempat "istimewa" di angka 68 kg. Tapi menjaganya minta ampun. Apalagi dengan segala kesibukan dan kegiatan, yang menyulitkan untuk menjaga irama latihan dan makan.

Setelah itu, saya menyadari kalau badan saya sudah cukup "enak" di angka 70-73 kg. Dan itu saja makin lama (makin usia) main sulit. Sekarang kalau liburan sedikit naik lagi mendekati angka 80 kg, lalu harus berjuang keras mencapai angka 75 kg.

Bayangkan kalau jadi pembalap kelas dunia itu. Tinggi badan bisa 190 cm, tapi beratnya hanya 69 kg. Bisa dibayangkan betapa sulitnya menjaga itu!

Saya menulis ini karena memang sedang terkagum-kagum lagi dengan para pembalap sepeda kelas dunia ini. Kebetulan, saya sedang di Adelaide, mengikuti berlangsungnya Tour Down Under, lomba pembuka WorldTour 2020. Bukan sekadar menonton, kami juga "belajar" karena memang ada festival/pameran sepeda seru mengiringi event ini. Bertemu dengan rekan-rekan industri sepeda dari berbagai negara.

Dan, tentu saja, menyempatkan diri gowes melewati rute-rute kondang Tour Down Under. Tahun ini ada bonus, melewati tempat-tempat yang baru saja jadi lokasi kebakaran dahsyat!

Melihat para pembalap itu bisa menambah motivasi untuk terus menjaga kondisi badan kita. Pada Oktober lalu, saya melihat di layar streaming Mads Pedersen dari Denmark merebut gelar juara dunia, setelah tujuh jam balapan di cuaca dingin (sekitar 10 derajat Celcius) dan guyuran hujan lebat.

Pedersen adalah tipe badan "Classic," yaitu bertubuh kekar (untuk ukuran cyclist) karena spesialis lomba-lomba medan berat. Bukan climber yang tipis kurus. Bukan sprinter yang berpaha (tenaga) besar.

Di foto-foto, dia terlihat kekar untuk pembalap sepeda. Ketika foto bersama, ya Tuhan, dia tetap kelihatan kurus! Lebih kurus dari saya. Para sprinter pun bisa bikin kita malu foto bersebelahan. Karena mereka tetap lebih kurus!

Walau kurus dan sering terlihat "kelaparan," para pembalap sepeda adalah orang-orang paling tangguh. Jalanan licin basah? Tetap tidak takut berombongan melaju di atas 50 km/jam, lalu menikung dengan ban yang lebarnya tidak lebih dari 25 mm.

Jatuh? Baju mereka sangat tipis. Kalau beradu dengan aspal, tentu kulit ikut "kalah" dengan kasarnya permukaan jalan. Lihat pembalap MotoGP jatuh tergelincir dengan kecepatan ratusan km per jam? Tidak lagi menakutkan. Lihat pembalap sepeda tabrakan massal? Terlihat jauh lebih menyakitkan.

Dan memang menyakitkan, karena saya sudah merasakan seru/seramnya balapan dan terjatuh kena ampas aspal. Bahu saya juga sudah dua kali operasi hehehe (yang satu karena ditabrak motor sih).

Setelah jatuh, sudah pemandangan biasa melihat mereka kembali berdiri, mengambil sepeda (atau cadangan), lalu melanjutkan lomba. Walau baju tercabik-cabik dan darah berceceran!

Karena inilah, saya termasuk paliiiiiing sebal melihat salah satu bagian dari permainan sepak bola. Yaitu pura-pura cedera atau sakit. Apalagi untuk alasan mengulur-ulur waktu.

Belum lagi bicara soal bayaran. He he he. Pembalap sepeda dengan gaji terbesar, kabarnya, adalah Peter Sagan. Juara dunia tiga kali asal Slovakia. Bayarannya semusim disebut 6 juta Euro. Tidak ada apa-apanya dengan sepak bola! Juga tidak ada apa-apanya dengan ajang lain yang saya gemari: Balap mobil Formula 1.

Setelah membaca ini, mungkin ada penggemar olahraga lain yang protes. Bahwa ada olahraga lain yang lebih berat. Bisa rugby, marathon, triathlon, dan lain sebagainya.

Setiap orang punya pendapat beda-beda, punya persepsi beda-beda. Saya tidak pernah menjelekkan olahraga lain, kecuali mungkin "olahraga" yang badannya tidak banyak gerak, wkwkwkk. Jadi, kita saling menghormati saja lah. Saling respect kalau setiap bidang, setiap dunia, setiap pekerjaan, ada tantangannya sendiri-sendiri...

Berdasarkan pengalaman pribadi: Mereka yang banyak menjelekkan orang/pekerjaan lain biasanya adalah mereka yang tidak mampu melakukannya sendiri...(azrul ananda)

Comments (24)

Catatan Rabuan

Simon Mottram Sang Filsuf Jersey

Salah satu yang paling saya kagumi adalah Simon Mottram, founder merek apparel sepeda Rapha yang akhir November ini meng...

Koh Hay Sang X-Men

Koh Hay usianya sudah 73 tahun. Sejak 2021 lalu, beliau seharusnya menjalani operasi lutut. Total knee replacement. Tapi...

Olahraga (Industri) yang Sehat

Olahraga bisa bikin badan kita sehat. Jiwa kita juga kuat. Jadi pengurus olahraga di Indonesia mungkin bisa punya efek b...

Formula 1 Tidak Selamanya?

Sudah lebih dari 25 tahun ini, bulan Maret membuat saya berdebar-debar dan berbahagia. Karena bulan inilah sesuatu yang...