Perasaan saya belakangan sangat sama dengan kebanyakan warga Surabaya yang lain. Siapa ya yang akan menjadi wali kota berikutnya? Kita semua berterimakasih kepada Bu Risma, dan yang kenal saya tentu sudah tidak perlu diceritakan lagi betapa cintanya saya kepada beliau.
Saya berkali-kali menegaskan, bahwa saya sama sekali tidak punya ambisi menjadi gubernur, wali kota, atau jabatan politik apa pun. Saya tidak ingin sama sekali. Tapi, sebagai pribadi, sebagai warga Surabaya yang begitu mencintai kota ini, saya sangat khawatir terhadap masa depannya. Mau dibawa ke mana? Mau jadi apa?
Dan saya selalu bilang, untuk jadi wali kota berikutnya, harus bisa menjawab tiga pertanyaan. Anda siapa? Anda pernah berbuat apa? Dan Anda akan membawa ke mana Surabaya nanti?
Kemudian, muncul Pak Machfud Arifin. Seorang sahabat keluarga lama. Ayah saya termasuk yang mendorong beliau untuk “turun kelas” dan mengabdi sebagai wali kota. Hati saya langsung terketuk.
Pak Machfud bisa menjawab semua pertanyaan itu. Dan, yang paling penting di atas segalanya: Beliau sudah “tuntas” untuk urusan pribadinya. Sudah tidak butuh apa-apa lagi. Sama seperti ayah saya ketika mengabdi dulu.
Pak Machfud tidak butuh jadi wali kota Surabaya. Beliau sudah mendapatkan segalanya. Keluarga beliau juga sudah mapan, tidak akan menjadi masalah untuk beliau saat jadi wali kota.
Tantangan kota masa depan banyak. Bukan hanya menjaga tetap baik atau bahkan menjadi lebih baik. Tantangan kota masa depan adalah bersaing dengan kota-kota lain. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Butuh orang yang total mengabdi, bukan yang masih mencari posisi.
Sepuluh tahun lalu, saya jatuh hati pada Bu Risma. Dan saya bersyukur Bu Risma mampu membawa Surabaya menjadi seperti sekarang. Sekarang, saya menemukan sosok yang seperti ayah saya sendiri. Pak Machfud Arifin.(Azrul Ananda - Warga Surabaya)